Share

Mendengar Kisah Mami Senna

Senna baru saja menyelesaikan mandinya ketika dilihatnya Hanggara sedang bercanda dengan kedua buah hati mereka. Si Kembar bungsu yang berjenis kelamin sama. Senna tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk memberikan Hanggara kesempatan kedua bisa membuatnya memiliki satu keluarga yang melimpahinya dengan cinta.

"Kenapa masih berdiri di situ? Ke sinilah." Hanggara memberikan isyarat melalui mata agar istrinya mau duduk bersama dengan dirinya. Oh, jangan lupakan, Hanggara begitu merindukan aroma Senna dan ingin segera menyelesaikan semua urusannya dengan cepat bahkan dirinya meminta Kian untuk menggantikan perannya. Bertemu dengan klien dari Eropa, orang-orang yang membutuhkan buah mangganya agar bisa diekspor ke negara mereka. Ada Kane Mitsuko yang sebenarnya sedang menjalankan tugasnya sebagai ahli waris selain dirinya yang kini berada di Moskow, bersama anak dan istrinya.

Yeah, Kane yang jatuh cinta pada sosok Jingga Mahawira, seorang kakak kelas yang bahkan dia buat mengandung sebelum hari kelulusannya agar bisa mendapatkan restu sang kakak yang tidak lain adalah pewaris tunggal Arjun'sResto, Al-Barra. Perjuangan cinta bungsu dari tiga bersaudara selalu gigih dan berakhir sebagai pemenang. Bukanlah Mitsuko jika dia akan mudah menyerah. Sama seperti dirinya yang pernah kehilangan Senna dan buah cinta mereka.

Hanggara ingat betapa tidak tahu dirinya ia ketika dengan sengaja memancing perkara dengan Senna yang telah dibuatnya jatuh cinta pada sosok seperti dirinya di masa lalu.

Sedikit berengsek memang, tapi itulah Hanggara muda.

Hanggara muda terlalu senang berpetualang, seakan memiliki dunianya sendiri di mana ia adalah Tuan bagi semesta kecil yang diciptakannya.

Hanggara sebenarnya juga jatuh cinta pada sosok Senna dan bukan hal mudah untuk meraih hati dan menggenggamnya.

Hanggara butuh usaha sangat keras ketika kesalahan fatal dilakukannya. Ah, ingin sekali ia bercerita kembali mengenai masa-masa itu.

Hanggara berdiri lalu meraih tengkuk sang istri dan mendaratkan bibirnya di sana, bagian dari tubuh istrinya yang bagai candu untuknya.

Hingga sebuah erangan lolos, dan membuatnya harus melepaskan tautan bibir mereka atau jika tidak, dia bisa meremukkan tulang wanita yang rela rahimnya terluka demi mengandung kelima anak perempuannya.

Ya, Hanggara memiliki lima anak perempuan dan yang pertama adalah Sven, perempuan berusia delapan belas tahun yang begitu mirip wajahnya dengan dirinya di masa lalu.

"Adakah yang sedang kau pikirkan?" tanya Senna setelah napasnya kembali normal.

Hanggara melihat kilat basah pada area bibir sang istri, menggunakan ibu jari dia mengusapkan saliva tersebut dengan gerakan seduktif.

Membuat Senna kembali terbuai padahal ia ingin sekali berbagi cerita setelah lama tidak bersua. Hanggara memiliki banyak tanggungjawab yang meskipun menggerakkannya secara langsung, tetapi dia tidak ingin meninggalkan warisan peninggalan sang ayah dan berakhir mengenaskan di tangan orang-orang yang tidak bisa dipercayai. Hanggara memang bukan tipe manusia yang meyakini bahwa hidupmu akan baik-baik saja ketika orang lain masuk dan membangunkan tembok untukmu padahal nyatanya, mereka sedang ingin membangun tembok untuk mereka nikmati sendiri.

"Aku ingat bagaimana kali pertama kau menyentuhku, kau seakan sedang berpikir." Senna membuyarkan lamunan Hanggara. Satu alis pria bermata sipit itu terangkat satu. "Ceritakan, apa yang kau lihat dan rasakan saat itu."

Dan, Senna pun memulai ceritanya. Tentang hubungan mereka di masa lalu.

"Aku ..., hamil."

Kalimat itu tertelan bersama dengan air mata yang ikut masuk ke dalam rongga mulutnya melalui celah bibir yang sedikit terbuka. Gadis calon ibu muda itu membekap mulut dengan dua telapak tangan. Meredam semua gejolak agar tak ia muntahkan.

"Aku mencintaimu...."

Pria itu tak pernah menjawab seruannya. Hanya seulas senyum lalu suara-suara desahan serta erangan dari bibir masing-masing memenuhi ruangan. Aroma sex yang kuat menguar di seluruh kamar pria tersebut menelan sisa kewarasan yang ada.

Calon ibu muda itu bergerak mundur saat melihat dan mendengar sendiri apa saja yang terucap dari bibir yang pernah membuainya dengan kenikmatan surge dunia. Oh, betapa sakit hatinya, cinta tulusnya hanya dianggap sebuah permainan. Mainan yang jika sudah selesai bisa kembali dimasukkan dalam kotak tertutup atau bahkan dibuang begitu saja. Menangis terisak. Merasai hatinya yang diremas dengan cara paling menyakitkan. Satu tangan mengusap perutnya yang datar, naik turun. Mencoba memberi ketenangan pada diri sendiri sebisa yang ia mampu.

“Lupakan dia, jadilah wanita hebat dengan tetap menjalani kehidupan sebaik-baiknya. Mengerti, Senna?”

***

Maka, hari itu juga ia tak pernah melupakan keadaan dirinya yang tidak lebih berharga dari sebuah kata 'PUAS'. Taruhan itu serta nama di belakangnya yang membuat hidupnya seperti saat ini. Bukan tak bisa melupakan jika fakta yang ada lebih mencemaskan. Hari ini dengan membawa sisa kehormatannya calon ibu muda tersebut membuat sebuah keputusan. Menyingkir.

Dan, semoga kali ini ia memilih sesuatu yang tepat untuk dirinya dan bayi dalam rahimnya. Ke mana pun asalkan mereka bisa meredam lara, tak membuat ibu dan ayah terluka serta menutup bisu semua omongan dari tetangga yang tidak pernah tahu kenyataannya tetapi sudah memberikan cap buruk kepada keluarga mereka. Tak apa jika sendiri-tidak, dia sekarang sudah berdua dengan si kecil dalam rahim. Mereka akan bekerjasama, bahu membahu merangkai rumah di masa depan. Kecil saja tak perlu semewah ketika bersama orang tua yang penting ia bisa memberi bahagia bagi calon buah hati tercinta.

Menggeret koper besar, dibawanya seluruh kenangan dengan sisa tenaga yang dimiliki, sekali lagi menatap wujud peri dalam dunia nyata yang tidak pernah sekalipun menggores lara dalam hidupnya, tengah menangis. Dia—Ibu yang telah melahirkannya di dunia yang juga satu-satunya wanita yang sudah dilukainya nampak pasi saat melepas kepergiannya.

Biarkan orang tahu, dia hanya ditinggalkan sebab setelah menerima hasil taruhan dia bukan lagi perempuan yang berharga apalagi saat kehormatan sudah dirampas hingga tidak bersisa. Ah, dunia. Jika tahu akan begini mungkin ia cukup berharap hanya sampai di kandungan sang ibunda saja, tidak perlu dilahirkan agar tidak pernah merasakan sakit yang lama dan panjang. Namun, rupanya semesta menyukai ingar bingar duka dalam hidupnya. Seolah sedang menikmati pesta pora sebab sudah menaklukkan sisa-sisa berharga dalam dirinya.

"Maaf, Ma...."

Hanya dua kata pendek yang bisa meluncur mulus melalui pita suara serak. Sang Ibu tidak melihat kehampaan di sepasang mata berembun miliknya. Sudahlah, jangan membebani orang tua lagi. Cukup sampai di sini saja.

"Jangan kembali kalau belum mendapatkan kehormatanmu lagi!"

Lelaki yang memeluk dan menimang penuh kasih sayang, dulu, kini sama terlukanya dengan sang ibu. Tentu saja dengan kadar yang cukup berbeda.

Wanita itu memaksa kedua tungkainya bergerak, keluar dari rumah.

Dan, di sinilah dia berada pada sebuah gedung bertingkat. Sambutan pertama kalinya diberikan oleh seorang wanita berusia tujuh puluhan, senyum indah terukir di bibirnya yang sudah keriput.

"Apa kau yang berasal dari Indi?" mendengar pertanyaan itu, ia hanya bisa tersenyum tetapi mulutnya tetap saja gatal ingin mengoreksi.

"Maaf, bukan Indi, tapi Indonesia."

Wanita tua itu mengangguk-angguk lalu memintanya mengikuti di belakang. "Kamar ini memang hampir delapan bulan tidak dihuni. Kau bisa menggunakannya. Untuk air dan lampu, aku akan memanggilkan cucu kesayanganku untuk mengganti dan mengeceknya."

Sebuah ruangan tidak cukup lebar tetapi juga tidak sempit, berada di balik daun pintu. Meraba saklar, Senna menambah penerangan dengan menghidupkan nyala lampu ruang tengah yang tersambung sampai ke dapur sederhana di sebelah kiri, di dekat kamar mandi.

Senna akan memulai semuanya dari nol meskipun sendiri tidak apa-apa, dia akan baik-baik saja.

***

Love,

Mahar



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status