Share

Kerinduan Hanggara

"Apa kau sudah menemukannya?"

"Sudah, Tuan Muda Mitsuko." Kian menunduk penuh hormat.

Sementara pria yang kini memandang nyalang pada pemandangan kota Den Haag itu seakan menatap sesuatu yang teramat jauh. Sorot mata yang tajam berbanding terbalik dengan seringai tipis yang menghiasi sudut bibirnya. Sudah hampir delapan tahun berlalu, tapi dia tetap mencarinya. Memungut kepingan yang pernah dihancurkan dengan tangannya sendiri.

Berbahagialah dia yang sekarang sedang bersembunyi karena Hanggara Mitsuko belum menemukan keberadaannya.

Jika Hanggara sudah menemukannya, dia berjanji untuk takkan lagi melepaskannya.

Tidak akan!

"Amsterdam, dia tinggal di kota itu selama lima tahun terakhir."

Hanggara mengerutkan kening, tapi tetap mengangguk pelan. Yang terpenting dirinya takkan kehilangan jejaknya lagi kali ini.

"Pastikan kalau kau takkan kehilangan mereka lagi kalau tidak...."

Tanpa perlu melihat, Hanggara tahu kalau Kian menundukkan kepala pertanda mengerti.

"Siapkan semuanya, kita akan ke sana dan memberinya sebuah kejutan."

Kian mendongak. Ingin sekali menyampaikan beberapa hal penting, tetapi sebelum membuka mulutnya Hanggara lebih dulu bicara, "Berikan kejutan yang takkan dia lupa." Hanggara mengangkat satu tangan dan mengibaskannya ke udara.

Kian membungkuk memberi penghormatan sebelum beranjak keluar ruangan. Setelah terdengar pintu ruangannya tertutup, barulah Hanggara menyeka sudut matanya yang basah.

"Selamat datang, duniaku," desah Hanggara lalu tersenyum.

***

"Tidak mau makan ini?" seseorang bersuara lembut tengah menyodorkan sebuah kotak bekal ke arah temannya.

Seorang wanita sedang menekuri angka-angka dan belum ingin beranjak meski rekan kerjanya berulang kali menawari makan siang mereka. Tentu saja dia lapar, tapi sebelum selesai dengan pekerjaan yang satu ini, dia takkan merasa kenyang karena harus fokus pada layar yang menampilkan deret angka dan beberapa bahasa latin yang belum seluruhnya dimengerti.

Wanita itu mengempaskan punggungnya pada bahu kursi. Hari yang sangat melelahkan, rambut yang sudah dia gelung rapi tadi pagi sudah mencuat ke sana kemari. Membuatnya seperti seekor singa betina yang kehilangan kecantikannya.

"Ayolah, makan siang dulu. Kau sudah bekerja keras hari ini, ini ada nasi pecel. Kau pasti suka."

Wanita itu menoleh dan mendapati sekotak nasi pecel di dekatnya. Air liurnya saja sudah mendesak ingin keluar. Dan, bunyi perutnya sudah gemerisik melonglong minta jatah. Lalu, bagaimana dia akan menolaknya? Tentu saja tidak.

"Kau yang terbaik Alina, terima kasih," ucapnya setelah menerima kotak bekal tersebut, Alina mengangguk senang.

"Kembali kasih, ibuku baru saja mengirim beras dan bumbu pecel. Meskipun tinggal di sini cukup lama, tapi lidahku tetap lidah orang Indonesia. Lidah jawa tulen hahaha," jawab Alina terkekeh sambil menikmati lontong gado-gado yang juga ia buat sendiri.

"Aku dengar, besok ada tamu dari negeri sakura. Hm, matanya yang sipit selalu membuatku penasaran. Ah, apa kau sudah menyiapkan gaun pesta untuk menyambut tamu penting?" Alina berceloteh sementara temannya masih sibuk melahap nasi pecel yang sangat sulit didapat di negara ini.

"Senna, tidakkah kau ingin tahu siapa tamu kita? Ehm, Jepang dan sakura. Ah, betapa romantisnya. Ah, ya, tunggu!" Alina mencekal lengan temannya yang hendak melahap sendok terakhir menu makan siang yang terasa nikmat ini. Wajah Alina berubah merona, tapi juga tegang saat menyadari tentang sesuatu.

"Apa?" Senna bertanya dengan raut kesal sebab Alina menghentikan makan siang berharganya.

"Bukankah, Ayah Sven orang Jepang?"

Uhuk! Uhuk!

"Maaf. Maaf Senna, apa aku salah bicara?" Alina dengan raut bersalahnya mengambilkan minum tak jauh dari meja mereka lalu memberikannya pada Senna yang terbatuk hingga terbungkuk-bungkuk.

Senna menahan rasa terkejutnya, Alina..., siapa yang memberitahu wanita ini kalau bukan Pram. Ya, Tuhan. Mulut pria itu memang keterlaluan. Senna tak menyangka, memperistri Alina malah membuat Pram mengatakan segalanya.

"Maaf," cicit Alina.

Senna menggeleng, memaklumi. Tak apa, toh, putrinya juga sudah mulai mencari tahu siapa ayahnya. Namanya. Tinggal di mana. Bekerja di mana dan banyak hal yang ingin diketahui seorang anak berusia tujuh tahun itu.

"Tidak apa-apa, apa Pram sudah menceritakan semuanya kepadamu?" Mau tak mau Senna harus jujur pada dirinya sendiri kalau saat ini hanya sepasang suami istri itulan orang yang paling dekat dengannya.

Alina yang merasa sangat bersalah menggeleng pelan. Jujur saja, Pram memang hanya mengatakan kalau Sven, memang putri kandung Senna, gadis yang terlihat berwajah oriental itu sangat membuatnya penasaran, tentang siapa ayah biologis anak manis itu.

Andai Alina bisa menahan rasa ingin tahunya, mengenai ayah biologis Sven dan juga tidak menggunakan cara egois dengan pura-pura merajuk yang pada akhirnya membuat Pram mau tak mau mengatakan rahasia tersebut. Padahal, Alina dan Senna sudah sangat akrab sejak pertama kali Pram mengenalkannya sebagai sahabat dan saat itu ia juga tahu kalau Senna sudah memiliki bayi.

Astaga, apa yang harus kulakukan? Pikir ibu hamil itu muram.

Sudah lima tahun mereka hidup di negara ini, tetapi sekalipun Senna belum berniat ingin merubah kewarganegaraan meskipun ia mampu melakukannya.

Awalnya, Senna datang ke negara Inggris untuk melanjutkan pendidikannya. Kemudian beberapa minggu di sana Senna bertemu dengan Pram, dan sosok Pram lah yang paling tahu mengenai kondisi Senna saat itu. Mengetahui kehamilan di saat usianya baru sembilan belas tahun dan sedang berada di negeri orang. Bersama Pram, Senna melalui hari-harinya yang menyedihkan berkat sahabatnya itu juga ia bisa melewati masa rentan hingga tidak menimbulkan masalah sampai waktunya melahirkan.

Di negara Ratu Elizabeth tersebut keduanya bertahan hidup, selain berjuang untuk tetap bisa kuliah juga menghidupi anak semata wayangnya.

Usai menyelesaikan pendidikannya, Pram mendapatkan pekerjaan, tetapi harus ke Amsterdam. Saat itu, Senna juga ikut diajaknya.

Di sanalah mereka kembali berjuang sebagai orang baru. Beruntung, Senna memiliki tetangga, seorang wanita paruh baya yang begitu baik hati, dia, Bibi Maria. Wanita yang sudah mereka anggap sebagai ibu, menggantikan sosok ibu kandung yang tidak ada di samping mereka.

Dan, seharusnya Alina tidak meragukan kesetiaan Pram atau malah berpura-pura merajuk.

“Tak apa, jangan dipikirkan,” ujar Senna mencoba menenangkan.

Senna menghela nafas panjang, beruntung kantor tempatnya bekerja baru saja memulai jam makan siang, hanya tinggal mereka berdua saja. Meskipun di negara asing, tempat bekerja keduanya asli milik warga negara Indonesia, bahkan sebagian besar pekerjanya orang dari negeri sendiri. Jadi, jika ada berita sedikit saja bisa dipastikan akan menjadi gosip besar.

Oh, ayolah, semua manusia di dunia ini sama saja. Yang baik akan tetap diam dan menjaga mulutnya agar tak melukai perasaan manusia lainnya, lalu yang nyinyir? Tentu saja takkan mau melewatkan hidangan manis semanis gosip terbaru.

"Pembicaraan ini cukup sampai di sini, boleh, kan?" Pinta Senna menatap raut wajah sendu

Alina, lalu dibalas dengan anggukan meyakinkan.

"Ya, aku janji. Maafkan aku yang sudah lancang bicara."

Senna tersenyum, lalu kembali melahap nasi pecel yang masih tersisa beberapa sendok dalam kotak bekal.

"Ehm, apa Pram sudah pulang? Ini sudah seminggu lebih," Senna mengalihkan topik pembicaraan mereka agar suasana yang tadinya tegang bisa kembali santai.

Alina mendengkus. "Dia masih di sana sampai tiga hari ke depan, aku sudah tanya pada bos, apa boleh cuti. Rasanya sudah rindu berat dan ingin sekali menyusulnya," desahnya sambil mengusap perut buncitnya.

"Demi masa depan kalian, Pram harus bekerja keras agar bisa memberikan kalian kehidupan yang layak dan tentunya tak kekurangan apa pun. Jadi, bersabarlah sedikit lagi. Karir Pram sedang berada di puncaknya, berikan dukunganmu padanya agar Pram tak patah semangat, heum?"

"Kau seperti ibuku saja, tapi kau yang terbaik, Senna terima kasih."

Senna mengangguk. Nasi pecel sudah habis tak bersisa.

"Terima kasih untuk makan siang yang sangat nikmat ini, lain kali aku titip bumbu pecelnya, ya? Aku masih orang Indonesia, dan tak ingin kehilangan lidah ndesoku hanya karena tinggal di sini, kita makan serba roti dan makanan ala Belanda, kau pasti tahulah rasanya," Senna mengangkat bahunya.

"Nanti malam, datanglah ke rumahku, kita makan malam bersama. Ada beberapa menu Indonesia yang takkan mungkin kau dapatkan di sini," undang Alina.

Senna sedikit berpikir kemudian menjawab, "baiklah." Alina tersenyum mendengar keputusan Senna.

Makan malam akan terasa lebih hidup nanti malam, batinnya. "Jangan lupa bawa Sven. Aku sangat merindukannya," ujar Alina yang memang sangat menyayangi Sven.

"Tentu saja," balas Senna sembari tersenyum.

***

Love,

Mahar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status