Share

Bertemu, kenapa harus?

Angin malam semakin dingin membuat Senna kembali merapatkan mantel bulunya, sudah pukul sembilan malam. Dan, harus bergegas untuk secepatnya pulang. Senna sebenarnya sedikit melupakan janjinya untuk pulang lebih awal dari biasanya. Dia sudah berjanji pada putrinya untuk menemaninya belajar malam ini. Akan tetapi, si bos memberi beberapa tambahan pekerjaan. Esok lusa tamu akan datang dan ingin mengecek beberapa hal. Termasuk bagian pengeleloaan buah-buah segar. Padahal Senna bekerja sebagai akunting di sini. Seharusnya pekerjaan itu bukan untuknya, tak apalah demi sekantong receh dia harus bekerja lebih keras agar bisa mudik awal tahun depan.

Libur natal dan tahun baru akan menjadi hari yang paling ia tunggu. Sejak melahirkan hingga Sven berusia hampir tujuh tahun, Senna belum bisa pulang ke tanah air. Ah, Senna harus mengingat lagi betapa ayah dan ibunya sangat kecewa ketika mengetahui tentang kehamilannya. Ayolah, dia masih berusia sembilan belas tahun kala itu. Seandainya Senna tahu diri, tentu saja peristiwa itu takkan pernah terjadi.
Ah, lupakan saja, Senna berjalan cepat menuju tempat parkir. Setelah menemukan mobilnya dia segera masuk kedalam.
Melirik pergelangan tangan, Senna mendesah pelan. Sven pasti marah kepadanya karena harus terlambat pulang.
Menghidupkan mesin mobil, Senna memutar kemudi. Dia harus melewati area samping gedung agar bisa memotong waktu perjalanan. Senna menghidupkan musik dari ponselnya. Lagu klasik era '90 an mulai mengalun terdengar.

Senna melewati gerbang keamanan.
"Baru pulang?" Tanya petugas keamanan yang cukup di kenalnya. Pria berbadan atletis dengan gigi gingsul yang terlihat sangat manis itu menyapa ramah
"Ya," jawab Senna kemudian dia melanjutkan perjalanan pulangnya.

Di satu sisi sudut gedung berlantai dua tersebut sebuah Range Rover hitam tengah mengamatinya sejak tadi. Menunggu kepulangan Senna. Tentu saja, pria yang kini menatap bagian belakang mobil Senna yang perlahan menghilang tersebut hanya tersenyum dingin.

***

"Mama pulang!" Senna meletakkan mantelnya lalu melepas sepatu dan meletakkannya pada rak di sebelah pintu.

Rumah begitu sepi, meskipun lampu-lampu ruangan masih menyala. Senna segera masuk ke dalam, mengambil air hangat yang terdapat pada termos berukuran besar di atas meja makan lalu menandaskan separuh isi dari gelasnya.
"Sven?" Senna melangkah menuju kamar, begitu pintu kamar terbuka dia tak mendapati buah hatinya di dalam sana. Ah pasti di rumah Bibi Maria. Sven pasti masih di sana.
Mengambil mantelnya kembali, Senna segera melangkah menuju pintu keluar.

Cklek!

Senna terdiam kaku. Nafasnya tercekat sementa jantungnya harus berdenyut nyeri kala menatap sosok yang kini berdiri tegak menatapnya dengan wajah santai.

"Apa kabar?" Suara bariton pria itu menyentak Senna dari keterkejutannya.

"Baik, seperti yang kau lihat." Senna seolah kehilangan kosakata. Namun, dia menekan semua ketakutan dalam dirinya.
Tidak, dia tak boleh terlalu terbawa suasana apa lagi sampai terlihat ketakutan. Senna memperhatikan dirinya sendiri saat Hanggara tidak mengalihkan perhatiannya dari bagian atas tubuh.
Berdehem pelan, Senna mengurai ketidaksopanan Hanggara. Akan tetapi pria itu justru berseringai.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya memecah keheningan yang berlalu beberapa detik yang lalu.
Namun, tetap saja Hanggara bergeming di tempatnya. Tak mendapat respon, Senna pun mengangkat dagu kemudian berjalan menuju ke luar pintu.
"Maaf karena aku harus pergi. Jadi, bisakah memberiku jalan, Tuan?"

Pria tetap saja bergeming, dia berdiri menjulang bak tembok raksasa. Andai Senna tidak terlalu lelah malam ini, mungkin dia masih bisa menendang tulang kering pria itu. Meski tubuh mereka jauh berbeda. Senna yakin dia masih memiliki kekuatan yang sangat cukup hanya untuk sekedar keluar dari pintu ini.

Senna tak takut. Bukankah aku pernah menjadi juara pertama lomba karateka saat masih SMA? Ujar Senna dalam hati.
"Maaf, bisa menyingkir. Kau menghalangi jalanku," ucap Senna yang mulai kesal. Dia harus menjemput Sven sebelum gadis kecil itu bertambah marah karena keterlambatannya.

Tangan pria itu terulur menggeser posisi Senna yang berdiri di tengah pintu rumah yang sedikit terbuka. Dan, salahkan betapa cerobohnya ia, dengan memberi sedikit celah. Pria itu masuk tanpa permisi.

"Hai, kau masuk tanpa permisi, dan itu mengganggu kenyamananku. Aku bisa melaporkanmu karena bersikap tidak sopan!" Nafas Senna terengah karena harus bicara sekeras ini dalam sekali tarikan.

Pria itu duduk dengan kaki bertumpu, punggungnya yang kokoh menyandar pada bahu kursi ruang tamu dengan santai.
"Duduklah," katanya setelah melihat Senna sudah bisa bernafas teratur.

"Apa maumu?" Intinya saja. Buat apa dia harus berbelit-belit? Meskipun dia sangat terkejut dan ketakutan pada awalnya. Tidak. Senna bukan wanita yang akan mencicit terluka sebab perbuatan pria yang kini sedang mengamati sudut ruang tamu kecilnya dengan sikap pongah tak tahu malunya.

"Aku hanya berkunjung ke rumah kekasihku. Well, kamu masih menyukai warna gading ini sejak dulu," lanjutnya, santai.
"Aku memang menyukainya, ini warna favoritku sejak dulu dan aku bukan kekasihmu." Senna menekan kalimat terakhirnya. Dia takkan sudi merasa terintimidasi. Senna adalah wanita yang kuat. Hanya sebuah masa lalu yang kembali datang. Senna tahu pria macam apa di depannya ini. Ah, Senna lupa karena rasa cintanya yang menggila membuatnya pernah bertekuk lutut di depan pria itu.
Pria yang sama. Pria yang sepuluh tahun lalu digilainya.

"Sudah delapan tahun kita tidak bertemu, aku pikir kau akan terkejut melihat kedatanganku, tapi ini sangat mengecewakanku. Kupikir kau akan berlari ketakutan lalu bersembunyi lagi," sindirnya.

Senna menghela nafas dalam, dia tak boleh terlalu emosi. Emosi membuat wajahnya terlihat kusam. Tidak cantik apa lagi akan dengan mudah memperlihatkan dendamnya yang begitu membara.
"Kau sudah menemukanku, apa kau pikir kita masih akan seperti kucing dan tikus. Kau mencariku sedangkan aku tetap dalam persembunyian? Menggelikan." Senna terus menekan debaran jantungnya dan keinginan memukul dada kirinya agar debuman itu tak terasa menyakitkan. Senna tak ingin debaran jantungnya yang memompa kuat, berhenti sejenak saja agar pria yang kini duduk terlalu santai seakan di rumahnya sendiri tak bisa mendengar betapa organ dalamnya bergolak.
Tak hanya jantung, bahkan lambungnya turut menggeliat membuatnya mual.

"Baiklah, sepertinya pertemuan ini cukup sampai di sini. Besok aku akan datang kembali, kuharap kau lebih santai. Ah, wajahmu pucat dan aku merasa menjadi tamu yang jahat."

Senna menggeram marah. Ya Tuhan, apa dia masih bodoh? Sebenarnya apa yang sudah pria itu lakukan padanya sehingga membuatnya bagai keledai dungu. Senna memaki dirinya dalam hati.
Ayolah sudah terlalu lama waktu berlalu. Seharusnya Senna bisa meluapkan frustasinya saat ini.

Pria itu beranjak dari tempatnya duduk. Diperbaikinya jas hitam yang dikenakan. Kemudian matanya menangkap sebuah bingkai foto. Di mana ada anak kecil dan Senna sedang bermain pasir di hamparan sebuah pantai. Mengenakan baju pantai yang terlihat menggemaskan. Ingin sekali Hanggara menyentuh bingkai tersebut, sejenak saja untuk meredam rasa rindunya.
Rahang pria itu mengeras sejenak, tapi segera kembali santai. Sementara Senna seolah tengah menghirup udara beracun. Dadanya sesak. Matanya berkunang. Namun, dia masih sangat sadar. Ia tak boleh kalah.

"Kau tahu pintu keluar. Jadi, keluarlah," ucapnya dingin.

Pria itu memberinya sebuah senyuman. Senyuman yang dulu pernah mendorongnya hingga terjatuh ke lubang tak berdasar.
"Aku akan datang kembali."

Pria itu menatap manik cokelat gelap Senna dengan tatapan—sendu? Ah, Senna harus kembali mengecek kesehatan organ penglihatannya ke dokter mata besok.
Senna terdiam, tubuhnya makin kaku saat pria itu menjulurkan tangan panjangnya. Dengan ibu jari dia mengusap lembut dagu Senna. Hampir menyentuh kulit bibirnya yang bergetar samar.
“Cantik, kau tetap cantik meskipun semakin tua dan aku merindukan eranganmu saat kita bercinta,” bisik Hanggara kemudian dari jarak sedekat itu, bibir pria itu sengaja ditempelkan di pelipis kanan Senna membuat wanita itu tersentak.
Usai memberi seulas senyum, Hanggara kemudian melangkah keluar.

"Tidak! Jangan pernah kembali!" teriak Senna sebelum punggung itu menghilang di balik pintu.

Andai kedua matanya tetap awas, pastilah bisa melihat bagaimana punggung tegap tersebut menegang sesaat setelah Senna mengucapkan kalimat terakhirnya.
Dan, punggung itu benar-benar menghilang saat kakinya lemas, menjatuhkan tubuh mungil Senna pada lantai ruang tamu.
Senna tak pernah menyangka, dia tak suka dengan pertemuan semacam ini. Meskipun jauh sebelumnya sudah mempersiapkan mental dan fisiknya kalau suatu saat mereka akan kembali bertemu.

Namun, bukan begini.

Dan, mengapa keberanian yang sudah dilatihnya ribuan hari mendadak lenyap saat pria itu datang.
Tidak. Senna bukan wanita lemah. Jika pria itu ingin bertemu Sven. Maka dengan sangat mudah akan dia kabulkan. Namun, dia harus mengajukan sebuah syarat.
Dan, pria itu harus menerima syarat darinya.
Menelan ludah kelat, Senna kembali berdiri. Dengan kaki yang masih gemetaran dia berjalan keluar dari rumah.

Senna menghela nafas panjang lalu mengembuskan secara perlahan.

Senna menghapus lelehan bening di sudut mata.

Kemudian dia berjalan sesegera mungkin ke rumah Bibi Maria karena Sven sudah menunggunya.
Sementara pria tadi sudah kembali ke dalam mobil. Menutup wajahnya dengan sepasang telapak tangan.

Pertemuan yang sudah dinantikan selama delapan tahun.
"Aku akan datang kembali, baik kau suka atau tidak," pria itu menghela nafas panjang, mencoba mengurai sesak dan amarah dalam dadanya.

***

Love,

Mahar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status