Share

Chapter 6

Kamini yang masih terbuai dengan ciuman Dirandra masih memejamkan mata dan terdiam tak bergerak. Seolah ia pasrah dengan apa yang akan diperbuat oleh Dirandra.

Ingat ..., Ami semua demi Abah.

Tak terasa air mata mengalir dikedua sudut matanya ia teringat jika hanya tinggal sang ayah dan keluarga bibinya saja yang ia punya. Ibunya sudah meninggal terseret arus sungai saat ia kecil dulu. Semua curahan perhatian ayahnya hanya terpusat padanya anak semata wayangnya. Usia ayahnya jelas sudah tak muda lagi sudah menginjak kepala enam.

Dirandra memandang tubuh telentang pasrah Kamini yang berada di bawahnya. Ia mencermati wajah istrinya tersebut dan mengulurkan tangan menghapus air mata disudut matanya. Sakit rasanya tiba-tiba melihat gadis ini menangis, sosok yang sudah menjelma menjadi wanitanya. Dirandra menundukkan wajahnya dan menatap mata Kamini yang mengerjap menghalau air mata yang seakan tak berhenti tumpah.

"Ada apa? Aku bahkan belum masuk kamu udah nangis?"

Oh jadi udah 'kamu dan aku' sekarang. Dirandra tanpa sadar berusaha mengakrabkan diri dengan Kamini.

Kamini hanya menggeleng pelan dan memalingkan wajah kesamping. Ia malu Dirandra melihatnya menangis.

Sedangkan Dirandra merasa Kamini pasti menyesal menikah dengannya tiba-tiba ia merasa jengkel dan posesif. Tanpa peringatan ia menggenggam miliknya dan memasukkan ke dalam inti Kamini.

Kamini terkejut dan menjerit yang kemudian dibungkam oleh serangan bibir Dirandra. Dirandra menciumnya sampai saliva mereka bercampur menjadi satu. Sekalipun Kamini sudah mencengkram bahunya dengan kuat yang pastinya akan meninggalkan bekas. Untung saja Kamini memotong kukunya rapi jika tidak sudah dipastikan bahunya akan penuh dengan bekas cakaran.

Dirandra sengaja mendiamkan dirinya di dalam tanpa bergerak sampai dirasanya Kamini berhenti bergetar dan meronta. Kamini menggeliat karena ia sudah mulai tak bisa mengimbangi cumbuan Dirandra serta sudah mulai sulit bernafas.

Dirandra melepaskan ciumannya dan memandang wajah Kamini yang merona. Air matanya sudah berkurang digantikan oleh bulir-bulir keringat yang memenuhi dahi dan pelipisnya. Dirandra mengusap peluh itu dengan lembut.

"Sakit Tuan, sesak hiks," keluh Kamini.

"Sebentar lagi sudah tidak akan sakit, percaya padaku. Santai ya," jawab Dirandra lembut.

"Lingkarkan tanganmu di leherku, aku bergerak sekarang ya?"

Kamini hanya mengangguk pasrah. Toh semua sudah terlanjur ia tak lagi perawan. Dalam hatinya ia berdoa semoga segera ada janin yang tumbuh di tubuhnya sehingga tidak perlu berlama-lama di sini untuk melayani Dirandra, walaupun tubuhnya tak menolak perlakuan pria tersebut. Ternyata ia tak dingin di atas ranjang.

Dirandra mulai bergerak, akh ... nikmatnya tubuh belia. Sangat rapat, Dirandra merasakan miliknya sedikit ngilu karena ketatnya cengkraman dinding rahim Kamini. Sepertinya ia tak akan bisa berhenti sampai dirinya kelelahan. Dirandra mengulum puncak dada Kamini secara bergantian, mencoba merangsang Kamini agar semakin licin yang di bawah sana. Ia tahu miliknya memang sedikit berbeda dan ukurannya sedikit di atas rata-rata, tentu terasa sesak di dalam tubuh Kamini yang baru pertama kali merasakan seks. Oh, bukan ini bercinta.

Kamini tanpa sadar melengkungkan tubuh bagian atasnya dan semakin melebarkan kakinya hal itu tidak di sia-siakan oleh Dirandra dengan menghujam semakin dalam dan melumat habis dada Kamini yang besarnya tak seberapa, menjejalkan ke dalam mulut dengan kedua tangannya memeluk tubuh Kamini di bawah ketiaknya.

Kedua tangan Kamini mengulur ke atas kepalanya mencengkeram teralis di atas ranjang. Ia mencoba menghalau rangsangan dari Dirandra yang tak henti-hentinya menghujam dirinya dengan tempo yang kadang pelan dan kadang kuat sampai dirinya terguncang-guncang. Ia sudah sampai orgasme yang kelima tetapi tampaknya Dirandra masih tak kunjung selesai.

"Tuan, Ami capek," protesnya.

"Sebut namaku." Dirandra berkata demikian sembari mendorong pinggulnya sampai mentok menyentuh puncak dinding rahim Kamini.

"Ahhh ... Diran!" jerit Kamini.

Deg ...

Kamini seketika membuka matanya, detak jantungnya semakin berpacu dengan kuat. Dalam benaknya ia teringat dengan seseorang bernama Diran. Pria yang kepalanya penuh dengan darah menempel di baju seragamnya karena ia dekap.

Apakah suaminya adalah orang yang sama?

Seketika kepalanya berdenyut sakit sekali mencoba mengingat-ingat. Ayahnya pernah bercerita bahwa ia pernah mengalami kecelakaan dan membuatnya amnesia. Jadi ia tak mengingat kejadian saat terjadinya kecelakaan berlangsung dan orang-orang yang terlibat, akibat adanya benturan di kepalanya.

Dirandra melihat Kamini yang mengerutkan alisnya tanda kepayahan dan sedikit pucat karena kelelahan pikirnya, Diranda akemudian semakin cepat menggerakkan pinggulnya untuk mencapai kepuasannya sendiri.

Setelahnya ia mendekap erat tubuh sang istri dan tanpa melepaskan penyatuannya, membalik tubuhnya menjadi Kamini yang merasa di atasnya dan menyelimuti mereka berdua. Seketika kantuknya pun datang dan ia tertidur, tanpa disadarinya Kamini yang bukannya tertidur tapi jatuh pingsan dalam dekapannya.

Ia memeluk tubuh kurus itu erat-erat seolah takut terpisahkan. Gurat dalam di dahinya seolah-olah menegaskan hal tersebut.

Kamini terbangun dengan kepala yang seperti migren tetapi usapan lembut di punggung dan sesuatu yang mengganjal di pusat tubuhnya seketika membuatnya terjaga.

Lehernya sedikit pegal dikarenakan terlalu lama menghadap ke samping masih bersandar di ceruk leher Dirandra tetapi matanya sudah mulai terbuka.

Dirandra yang merasakan bahwa Kamini mulai bangun menekuk kedua kakinya dan menekan pinggul Kamini, ia sedari malam masih menyatukan diri dengan Kamini mulai bergerak menghujam dengan pelan dan santai membiarkan agar istrinya terbiasa. Dirandra sadar sebenarnya terlalu sering berhubungan intim juga akan mempengaruhi kualitas pserma yang dihasilkan, tetapi hasratnya seolah-olah tidak bisa dikendalikan saat ini, entahlah.

Rasa nyeri saat pertama kali sudah tidak dirasakan Kamini tetapi rasa pegal pada pangkal paha dan pinggangnya yang terasa kaku. Ia sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Dirandra.

"Gerakkan pinggulmu," perintah Dirandra.

Dengan ragu-ragu Kamini mulai menggerakkan tubuhnya, tanpa ia sadari desahan kenikmatan keluar dari bibirnya. Suaranya yang serak khas orang bangun tidur membuat Dirandra semakin semangat dan bernafsu untuk mengisi dirinya dengan spermanya.

"Pelan-pelan Tuan... Penuh sekali," protesnya yang sekarang sudah berada di bawah tubuh Dirandra dengan bantal mengganjal di bawah pinggulnya.

"Aku mau sampai sabar ya." Dirandra mempercepat hujamannya dan menyemburkan spermanya dalam-dalam di rahim Kamini.

Dirandra tak segera melepaskan penyatuannya. Ia mendiamkan sampai nafasnya dan nafas Kamini kembali teratur.

"Lelah hemm?"

"Iyah."

"Kita mandi sama-sama yuk. Lalu sarapan,” ajak Dirandra.

Ia merengkuh tubuh Kamini dan tanpa melepaskan penyatuan mereka menggendongnya ke dalam kamar mandi. Ia menurunkan Kamini di bawah shower dan melepaskan penyatuannya.

Tampak cairannya dan cairan milik Kamini mengalir keluar tetapi hanya sedikit. Dirandra mendesah lega, semoga saja Kamini segera hamil.

Wajah Kamini tertunduk malu dan tampak tidak merasa nyaman karena belum terbiasa dengan keberadaan Dirandra dan keadaannya sekarang.

"Apakah kamu pernah menghitung masa suburmu?"

Kamini mendongak menatap Dirandra, yang dengan pandangan datar dan serius menatap dirinya.

Kamini tampak berpikir dan kemudian mengangguk. "Sepertinya sekarang sampai tiga hari ke depan adalah masa suburku."

Dirandra tersenyum lebar, senyum yang menawan. Seketika jantung Kamini berdebar-debar. Sungguh cepat perubahan mimik wajah Dirandra tadi tampak serius dan menakutkan sekarang tampak bahagia? Benarkah? Ah, tentu saja benar karena masa subur tandanya kemungkinan aku cepat hamil semakin besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status