Share

Pengertian

"Kak Rania aku mau nunjukin sesuatu."

Rania yang baru saja pulang sekolah segera meletakan tasnya asal dan berjalan menuju adiknya.

"emang ada apaan?" Rania menelusuri ruangan yang pintunya telah ditutup oleh Fani.

"Cerpen Fani bakal terbit di majalah anak dan Fani bakal dapat uang. Nanti, Fani beliin kakak hadiah!"

Fani membuka laptopnya dan menunjukan bukti pengiriman cerpen di email dan sudah di setujui oleh pihak penerbit.

"Wow!! Keren! Sejak kapan  kamu jadi suka nulis?" tanya Rania.

"Udah lama. Sebenarnya, bukan ini aja cerpen Fani yang sudah terbit. Masih ada, tapi nggak Fani kasih tau."

Fani tersenyum menatap Rania. Tampak dari raut wajah Fani tersimpan sesuatu yang tersembunyi. Fani enggan bercerita karena takut salah bicara.

"Tapi kenapa?" tanya Rania karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Fani. Jujur, Fani terlihat jarang bicara. Ia hanya bicara seperlunya, dan hari ini ia menunjukannya pada Rania apa yang Fani sembunyikan.

"Gimana mau dikasih tau? Mama sama papa 'kan pedulinya sama kakak. Mereka juga sibuk ngurusin kakak. Jadi, Fani gimana nunjukinnya?"

Pernyataan dari Fani sukses membuat Rania terkejut. Ia tak menyangka selama ini Fani memiliki pikiran seperti itu. Ia ingin meluruskannya agar Fani tak berpikir kalau mama dan papa mereka pilih kasih.

"Mama dan papa juga khawatir kalau Fani sakit. 'kan sama aja! Mama dan papa takut kehilangan Fani! Jadi, Fani nggak boleh berpikiran seperti itu!" jelas Rania.

"Hah? Nggak salah tuh? Emang kakak pernah lihat Fani sakit?"

"Emang kakak pernah lihat mama dan papa pulang dengan sigap demi lihat aku sakit?"

"Kakak nggak pernah ngerasain jadi aku! Gimana sih rasanya kak?"

Setelah cukup bangak berbicara, Fani menutup laptopnya dan meletakannya di atas meja. Kemudian, ia menatap Rania sebentar.

"aku mau kakak keluar dan istirahat. Takutnya, mama dan papa tiba-tiba pulang!"

Fani menunjuk arah pintu. Ia melihat Rania yang hendak berbicara namun memilih bungkam. Fani menyesal, sebenarnya ia tak ada niat untuk membentak kakaknya itu.

"Maaf, kak" gumam Fani ketika Rania sudah menutup pintu.

Rania berjalan kearah kamarnya dengan gontai, memjit sedikit keningnya, menghela nafas panjang dan menundukan matanya.

Rania membuka lacinya dan melihat banyak pil yang harus ia telan. Rania menutup kembali lacinya, enggan untuk memakan pil tersebut. Hatinya masih sesak akan perkataan adiknya itu. Beban pikirannya bertambah.

"Makan obatnya!"

Rino menyenderkan badannya dipinggir pintu kamar Rania. Rino juga tak lupa menyilangkan  tangannya di dada yang sudah menjadi khas dari diri sepupunya Rania itu.

"Males!"

"cepat!"

"Satu!" Rino memulai perhitungan.

"Iya! Iya! Bawel amat sih!" Rania membuka lacinya kembali dan memakan banyak pil.

"Ini airnya, non" ucap Asisten rumah tangganya itu.

Asisten rumah tangga mereka yang bekerja hanya sampai sore. Hal ini terjadi karena Rania tak ingin diperlakukan seperti bayi yang harus diawasi setiap waktu.

"Makasih, mbok" Rania segera menelan obatnya itu satu persatu. Sudah biasa bagi Rania, jadi dia tak perlu takut meminum obatnya.

Rania bergegas untuk berbenah setelah itu ia memainkan ponsel-nya dan membuka instagram miliknya.

Iseng, Rania mengetik nama "Gamalio Keano"  dan nama itu banyak sekali. Setelah Rania stalking, ternyata itu bukan Gama melainkan orang lain. Hingga ia menemukan satu akun yang tidak memiliki foto profil dan tidak memiliki postingan.

"Hua!!! Yang mana sih Gama? Aku pengen chatan sama Gama!" Rania menutup ponselnya dan membenamkan tubuhnya di selimut. Tangannya mencari-cari  remot Ac yang mungkin berserak entah kemana.

Tok..tok..tok..

"Masuk!"

Fani membuka pintu dan berjalan ke arah Rania. Fani juga membawa koleksi majalahnya untuk ditunjukan kepada Rania.

"duduk sini dekat kakak."

Fani membuka satu persatu majalahnya dan lembar demi lembar halaman majalah itu.

"Dihalaman 49 ada cerpen aku!" ucap Fani.

"Nah, kalau dibuku ini di halaman 12," ucap Fani menunjukan buku satu lainnya.

"Kakak baca, ya. Ini sebagai permintaan maaf Fani" imbuhnya.

Hati Rania terenyah. Ia menjadi merasa bersalah pada adiknya itu. Ini bukan keinginannya memiliki penyakit seperti ini. Ia juga tak ingin diperlalukan seperti bayi.

"Maafin kakak juga. Andai kakak nggak punya penyakit, pasti hal ini nggak akan terjadi." Rania menunduk dan memainkan jarinya.

Melihat kakaknya yang menjadi tidak berdaya, Fani memeluknya.

"Fani yang salah, kak. Fani yang egois!"

Mereka berdua akhirnya berpelukan sejenak.

"Rania...."

"Rania..."

Mendengar ada yang memanggil dari luar. Rania melepaskan pelukan mereka dan pergi menuju suara tersebut.

"Apa sih Desfa!" Ujar Rania.

Desfa langsung memeluk Rania. Raut wajahnya menandakan kalau Desfa sedang tidak baik baik saja. Desfa kelihatan lesu namun ia tetap tersenyum saat berada di sisi Rania.

"Ada apa, Des?" tanya Rania lembut.

"Mau main!"

Rania tau apa yang terjadi pada Desfa. Biasanya, jika Desfa datang dengan tiba-tiba pasti ada sesuatu yang salah.

"Kamu lagi nggak baik-baik aja. Kamu ceritain aja!" tegas Rania.

Desfa menangis seketika. Bandannya bergetar dan nafasnya tidak teratur. Rania memilih diam saja samlau Desfa sendiri yang menceritakannya.

"Anak bibi aku pulang. Dia ngehina aku dari tadi. Dia juga mecahin piring di depan aku dan  nyuruh aku bersihin pecahan itu dengan tangan kosong, hiks..."

Rania tak mampu berkata-kata, sepupunya perempuan Desfa sangatlah kelewat batas. Ia sungguh membenci Desfa karena  Desfa dianggap beban mereka.

"Dia keseringan mengatakan  aku harusnya meninggal sama mama dan papa sewaktu kecelakaan dulu!" Desfa menumpahkan semua kepedihan itu dengan menangis. Sungguh, ia tak kuat jika di perlakukan seperti itu.

"Maaf ya, Des! Aku nggak bisa bilang apa-apa. Kalau kamu mau nginap disini, boleh kok! Yang penting kamu tenangin diri kamu dan jaga pikiran kamu." Rania menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu, berharap ia dapat memberikan energi positif pada Desfa.

"Makasih, Ya. Aku udah agak tenang. Cuman kamu yang pengertian!"

Rania membawa Desfa ke kamarnya dan memberikan Rania air hangat. Ia juga memasang musik kesukaan Desfa agar sahabatnya itu melepaskan penat-nya.

"Hey, hey

You, you

I don't like your girlfriend

No way, no way

I think you need a new one

Hey, hey

You, you

I could be your girlfriend

Hey, hey

You, you"

Mereka menyanyikan lagu Avril lavigne yang sudah mereka hapal. Mereka melompat diatas kasur sambil menari asal.

"Capek"

Mereka terbaring setelah lelah melompat-lompat, namun akhirnya mereka memilih lagu yang akan mereka nyanyikan lagi.

Rania tersenyum memandang Desfa. Ia lega sahabatnya itu akhirnya tertawa lagi. Desfa memerhatikan jam menunjukan pukul enam sore. Ia akan pulang untuk mengambil baju dan bukunya. Ia akan menginap sampai sepupu jahatnya itu pergi.

"Hati-hati!" ucap Rania melihat Desfa pergi dengan berjalan kaki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status