Share

Sepupu jahat

Desfa pulang untuk mengambil barang pentingnya sebelum menginap beberapa hari di rumah Rania.

Hari sudah gelap, rumah tampak kosong. Mobil milik bibi-nya tak nampak terparkir. Desfa yakin kalau Bibinya sedang pergi.

Perlahan Desfa berjalan meraih knop pintu. Nafasnya tertahan berharap tak ada yang memergokinya. Desfa mengehela nafas saat dilihatnya tak ada sepupunya yang biasa duduk di kursi.

"Uwh, si pungut pulang. Aku pikir sudah mati. Padahal, aku sudah berharap loh"

Sepupu Desfa datang tiba tiba. Ia duduk di kursi menyilangkan kakinya bagaikan model.

Desfa diam saja tidak membalas, ia bahkan langsung pergi ke kamarnya kembali dengan tujuannya.

"Buku, baju, tas, oke. Apalagi ya?" Desfa mengingat-ingat apalagi yang dibutuhkannya.

"Kayaknya sudah semua, deh"

Desfa menggandeng tas-nya dengan bertatih-tatih. Beratnya tas itu sungguh menghambat jalannya keluar rumah.

Bugh...

Skrekk...

Hidung Desfa penuh dengan darah. Tak lupa dengan rambutnya yang sudah digunting asal oleh Fika, sepupu kejamnya itu.

"Sakit, kak!!" erangnya.

"Ya iyalah sakit!!"

Rambut Desfa kini tinggal sebahu. Fika seperrinya belum puas mengacak-acak Desfa. Kini pakaian Desfa digunting hingga modelnya sudah tak beraturan.

"Mumpung mama nggak ada disini, aku mau puas-puasin nyiksa anak pungut!"

Dengan berapi-api, Fika meninju Desfa hingga hampit tak sadarkan diri. Setelah puas, Fika pergi tanpa menyesali perbuatannya itu.

"Aku masih kuat!!" Desfa mencoba berdiri, walaupun jatuh berkali kali setidaknya dia bisa kabur dari lubang buaya.

Desfa akhirnya bisa berdiri dan berjalan normal saat energinya mulai terkumpul. Ia mencari ojek yang beraktivitas di malam hari. Untung saja, rumahnya dejat dengan pengkolan ojek sehingga ia tak perlu bersusah payah berjalan mencari.

"Adik korban aniaya, sebaiknya lapor ke polisi. Bapak bisa bantu jadi wali, kok." pria dewasa itu menatap Desfa dengan tatapan kasihan.

"Nggak usah, Pak. Makasih!"

Sesampainya dirumah Rania, tangis Desfa pecah saat itu juga. Air matanya melunturkan darah kering yang bersemayam di kulit sekitar hidungnya. Belum, lagi lebam di keningnya dan di badannya. Desfa runtuh saat itu juga, di depan pintu rumah Rania.

"Astaga, Desfa!! Kak Rino! Bantuin Rania!" teriaknya.

Rania menepuk pelan pipi kiri dan kanan Desfa, namun tetap saja tak kunjung sadar.

"Apasih, Ran? Astaga temen kamu itu kenapa!" Teriak Rino.

"Mending kakak bantu bopong Desfa ke kamar aku!"

Desfa sempat sadar dirinya di bopong, namun ia terlalu lemah untuk bangkit. Saat sadar tadi ia hanya melihat seorang pria namun pandangannya buram sehingga tak tahu siapa yang menggendongnya itu.

"Lukanya banyak, kakak Coba telepon dokter ya!" Ujar Rino setelah meletakan Desfa diatas kasur.

"iya, kak. Cepetan!" Pinta Rania.

Rania yang sadar kalau pakaian Desfa sudah tergunting tak karuan akhirnya menggantikan pakaian Desfa. Untung saja, Desfa membawa daster, jadi Rania tak perlu susah menggantinya

Tak berselang beberapa lama, dokter keluarga mereka datang dan langsung memeriksa Desfa.

"Gimana dok?" tanya Rania setelah dokter telah usai memeriksa.

"sampai saat ini, pasien menderita depresi ringan. Dia butuh istirahat dan dukungan." ujar dokter.

Sudah satu jam, namun Desfa tsk kunjung  sadar. Rania menaikan suhu AC agar sahabatnya itu tidak kedinginan.

Sambil menunggu Desfa, ia berdiri di Balkon kamarnya. Menghirup udara segar dan memandang pemandangan di atas langit.

"Ada satu bintang yang menarik perhatianku, Bintang Sirius. Aku yakin diriku ibarat bintang Sirius, bersinar paling terang walaupun tahu dirinya akan padam, namun ia akan di kenang selamanya dan menjadi cahaya baru." Rania menengadahkan kepalanya dan bersenandung kecil. Hingga ia bosan dan memilih untuk  tidur.

______________________________

"Ran!"

"Apa?" Rania masih belum membuka matanya.

"makasih ya!" ucap Desfa.

Rania membuka matanya seketika. Ia memeluk sahabatnya  dan menepuk punggungnya.

"Kalau kamu nggak kuat, kamu tinggal disini aja!" pinta Rania.

"Kakak sepupu aku cuman semingguan disini, jadi aku bakal pulang nanti bibi khawatir" jelasnya.

Rania terkadang bingung dengan Desfa. Mengapa ia bisa tahan dengan perlakuan kakak sepupunya itu. Memang iya Bibinya baik, tapi menyembunyikan kejahatan bisa berakibat fatal.

"Aku nggak bisa diam. Aku bakal nyari bukti kekerasan kak Fika dan melaporkannya ke polisi!" Rania mengepalkan kedua tangannya. Keinginannya membara. Ia ingin melakukannya sekarang juga. Membayangkannya hanya membuat darah Rania naik.

"Nggak bisa semudah itu, Ran. Dia psikopat, lacur dan pemabuk! Kamu bisa aja di bawa ketempat bordil!" Desfa memegang tangan Rania untuk menenagkan sahabatnya yang membara itu.

"Emang Bibi kamu nggak berusaha cegah kakak kamu itu?" Pertanyaan ini timbul sejak lama, namun Rania urung dan sekarang Rania bertanya pertanyaan ini.

"Sudah, tapi bibi malah di ancam  di jual ke rumah bordil. Bibi-pun tak bisa berkata apa-apa." jelasnya.

"Makanya, Bibi menganggap aku sebagai anaknya daripada putri kandungnya sendiri. Dari situ, Kak Fika tertelan api cemburu dan dengki. Ia malah ingin melenyapkanku perlahan!"

Waktu menunjukan pukul tujuh Waktu Indonesia Barat. Sudah terlambat untuk bergegas ke sekolah. Lagi pula sahabatnya sedang sakit. Mereka beraktifitas dirumah, termasuk membaca cerpen karya Fina.

"Adik kamu keren! Tulisannya rapi dan ceritanya bermakna. Cocok untuk dibaca anak seusia dia,"

"Yang ini coba kamu baca! Cerpen berjudul Raja dan Sepatu"  Rania menunjukan cerpen itu kepada Desfa.

"Wah, bagus. Tapi, aku selesaikan yang ini dulu."

Rania yang telah membaca cerpen adiknya itu,  kemudian memilih untuk melihat isi keseluruhan majalah.

"Des!"

"Des! Coba liat sini!" panggilnya.

Rania menunjukan foto Gama yang terpampang di halaman sepuluh majalah. Judulnya adalah PUTRA NEGERI: SI JENIUS.

"Ya ampun!!! Aku mau pingsan!" Rania kegirangan hingga ia bangkit dan meraih lacinya dan mengambil gunting.

"Mau ngapain?!" tanya Desfa.

"Mau gunting terus dibingkai." jawab Rania enteng.

Desfa memilih untuk mengamati Rania saja dari pada mengomentari. Toh, namanya juga lagi jatuh cinta. Kalau dibilangin sekali malah makin menjadi.

"Aku belum beli bingkai, jadi aku tempel di album dulu." Rania memakai kursi untuk mengambil albumnya yang berada di atas lemari.

Rania hampir terjatuh karena menahan album di tangannya yang beratnya hampir satu kilogram.  Untung saja ia bisa mempertahankan keseimbangannya, jadi dia tak terjatuh.

"Ya ampun, deg-deg-kan aku, Ran!!!" ujar Desfa.

"Santai, Bro! Kayak nggak kenal Rania aja!"

"tetap aja harus hati hati!" peringatnya.

"iya iya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status