Share

Masa suram Fani

Lagi-lagi kembali ketempat itu. Tempat yang sebenarnya dinobatkan sebagai tempat yang ingin Rania jauhi, tapi apadaya dirinya yang harus kesana tiap kali tubuhnya lemah.

"Bagaimana anak saya, dok!!"

Terdengar suara samar dari luar ruangan, tak lain adalah ibu dan ayah Rania yang berusaha datang secepat mungkin.

"Anak anda tidak memakan obatnya dengan teratur. Ia juga kelelahan karena melakukan aktifitas berlebihan. Anda pernah saya sarankan untuk membatasi aktifitas putri anda, bukan?"

Vita dan Doni tak mampu menjawab Dokter Rio. Mereka benar-benar tak mampu untuk berpikir. Mereka hanya bisa takut dan cemas pada putrinya itu.

"Rania tiga hari disini dulu. Supaya bisa istirahat. Kamu kan sudah mama bilangin nggak boleh kelelahan!" perintah Vita pada putrinya.

Rania yang baru saja sadar dari pingsannya mau tak mau mendengarkan ocehan mamanya itu.

"Maaf, Ma!" sesalnya.

Vita balas tersenyum. Ia menatap putrinya setelah usai membenarkan selimut.

"kamu ini bikin semua orang khawatir aja!" omelnya lagi.

Mama Rania bertugas untuk menemani Rania hingga kembali normal, sementara yang lainnya dipinta mama Rania untuk pulang beristirahat.

"Nggak apa sendiri, Ma?" tanya Doni berusaha meyakinkan istrinya itu.

"Iya! Pulang gih, tidur!"

Doni pun pulang bersama Rino. Sepanjang perjalanan, Doni hanya mencari tahu mengapa Rania bisa sampai kambuh seperti itu. Padahal, biasanya ia normal.

"Om takut banget kehilangan Rania!" Doni frustasi jika menyangkut soal Rania. Bertahun-tahun ia bekerja keras agar bisa memiliki uang yang melimpah demi mencari pengobatan terbaik.

"Mending Om tenangin diri dulu. Supaya jangan terbawa pikiran. Nanti om sakit." ucap Rino.

Doni membiarkan Rino menyetir mobil karena tak mungkin dengan kondisinya saat ini ia berkendara.

"Jangan kencang-kencang, Ini sudah malam!" peringat Doni.

Rino langsung menurunkan kecepatan seperti yang dipinta pamannya itu.

Setelah sampai di rumah, Doni duduk di ruang tengah untuk menenangkan dirinya.

"Mulai besok kita sewa dua asisten rumah tangga. Kita harus mencari yang mau bekerja dua puluh empat jam!"

" Segera Rino urus,"

"Terimakasih, om tahu kamu bisa diandalkan!" puji Doni.

Fani keluar dari kamarnya dengan mata yang sembab. Ia keluar dan terkejut melihat papa-nya duduk di ruang tengah.

"P-papa..." gugup Fani.

Doni langsung mengalihkan pandangan ke putri bungsunya yang berdiri sepuluh kaki dari tempatnya.

"Kamu menangis?"

Fani mengangguk.

"Kenapa?"

Fani Menggelengkan kepalanya.

"Fani, Kemari!" panggil Doni.

Fani pun berjalan ke arah Doni perlahan. Fani menunduk tak berani menatap Doni yang sulit ditebak raut wajahnya.

Plak!!

"INI PASTI KARENA KAMU!"

Fani menyentuh pipinya yang terasa panas. Kini tangannya juga harus mengelap air matanya itu.

"JANGAN NANGIS KAMU!!"

Fani menangis sesegukan. Ia ketakutan kalau tangan itu menamparnya sekali lagi. Fani lebih memilih menunduk.

"Mulai sekarang jangan pernah kamu berkomunikasi dengan Rania! Kamu seperti pembawa sial saja!" Sembur Doni.

"Ma--maaf, Pa..." lirih Fani.

"Kamu kembali ke kamar!"

Sebelum berbalik, Fani menatap Roni berharap kakak sepupunya itu bisa membela-nya, namun pupus sudah harapan Fani pada Roni yang berdiam saja tanpa melakukan sesuatu.

Fani berjalan limbung. Pandangannya kosong. Pikirannya berkecamuk. Ia meratapi dirinya sendiri yang lahir dikeluarga yang menyedihkan.

"Umur Fani baru tiga belas tahun, tapi kenapa Tuhan beri hidup yang seperti ini!"

"Fani nggak tahu apa apa"

Entah berapa kali Fani memprotes hidupnya pada Tuhan. Fani tak peduli. Ia hanya ingin berlari, tetapi kemana?

Fani melompat ke ranjangnya. Ia menenggelamkan dirinya ke dalam selimut yang sudah menemaninya sejak dulu. Ia sengaja tak menggantinya, karena ia ingin mendengar mama-nya marah dan mengoceh seperti mama pada umumnya, tapi sampai sekarang mimpi itu tetap menjadi mimpi.

Bantal yang menjadi tumpuan wajah Fani, kini asak oleh air matanya.

Tok..tok..tok

Suara ketukan itu tak mampu membuat Fani bangkit. Namun. Ketukan itu terdengar memaksa sampai-sampai Fani harus menyuruh orang itu masuk.

"Ini kak Desfa"

Desfa masuk setelah mendapat izin dari si empunya kamar. Desfa tertegun, kondisi Fani sangat memprihatinkan

"Iya, kak."

Desfa hendak menangis ketika melihat Fani yang mengusao air matanya. Ia tak habis pikir, apakah orang tua Fani tak punya hati memperlakukan putrinya seperti itu.

Desfa jadi teringat kisah lima tahun yang lalu, disaat dirinya melihat keadaan Fani.

Flashback:

5 tahun yang lalu

"Kak Rania harus kejar Fani! Kak Desfa kita lari sama sama ya!"

Kini giliran Rania berlari mengejar targetnya. Rania mempertambah kecepatan berlarinya. Fani dan Desfa gesit sekali sampai-sampai Rania sulit menggapai mereka.

Hosh...hosh...

Rania kehabisan nafas, tetapi ia berusaha untuk berlari dan tak menyadari kalau ia menyandung batu besar sehingga kepalanya terantuk. Rania merasakan hidungnya basah, ia pun mengusap hidungnya dan mendapati cairan merah dari hidungnya. Rania mimisan.

"Arhhggggh...." ringisnya.

Desfa dan Fani berlari ke arah Rania yang terjatuh tak sadarkan diri. Dengan terburu-buru Desfa memanggil sopir dan Fani menelepon papa dan mamanya.

Tak lama kemudian, mereka datang dan membawa Rania kerumah sakit.

Fani ditinggalkan sendirian di rumah. Desfa iba dan ingin menemani Fani di rumah yang besar itu.

"Ini bukan salah Fani kok. Jangan nangis ya,"

"Tapi, papa pasti pukul Fani!"

"Emangnya papa Fani pernah mukul Fani?" tanya Desfa.

Fani mengangguk kemudian ia mengajak Desfa untuk tidur bersamanya.

"Papa sudah pulang, Fani harus bagaimana?" Fani kecil ketakutan setengah mati. Bibirnya bergetar dan telinganya memerah.

"Kamu nggak boleh takut! Ini bukan salah Fani!" peringat Desfa berkali-kali.

Fani terus menatap jendela. Ia melihat papa-nya yang keluar dari mobilnya.

"FANI!!!"

"FANI!!!"

Mau tak mau, Fani keluar walaupun ia ketakutan. Fani tak berani menatap papa-nya itu.

Bugh...

Plak...

"Arrghhh...."

"Sakit, pa!"

"Berhenti, pa!"

Fani memohon sampai menangis darah pun ayahnya mungkin tak akan mengasihaninya. Fani berteriak pun, belum tentu telinga papa-nya mendengar untuknya.

"Kenapa kamu nggak jagain kakak kamu!"

"Fani masih delapan tahun, Fani nggak bisa jagain kakak" jawabnya polos.

"Kamu nggak berguna!"

Fani berlari ke kamarnya saat papa-nya mencoba untuk menamparnya.

Fani menangis sesegukan di sudut kamarnya. Ia sengaja memanjat meja agar bisa mematikan lampu kamarnya.

Desfa yang sedari tadi berada di kamar Fani, hanya bisa membisu.  Mungkin kalau Fani disalahkan Desfa juga harus disalahkan. 

"Maafin, kak Desfa ya!"

Fani tak menjawab. Anak mungil itu hanya bersandar di temboknya memandangi lantai polos yang becek karena ulahnya.

"Fani ini anak papa sama mama, Bukan?"

"Atau Fani anak pungut atau Fani atau..." pikiran polos Fani akhirnya terisi dengan pertanyaan yang tak seharusnya ia tanyakan.

"Fani tidur yuk sudah malam" ajak Desfa.

Fani pun membaringkan tubuhnya di ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

Flashback off

Desfa duduk di pinggir kamar Fani. Ia memeluk Fani yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Hal itu terjadi setelah, mereka berbagi kisah kelam mereka dan menyimpan rahasia masing masing.

"Jangan salahkan Fani, jika Fani pergi." Batin Fani dalam tidurnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status