Share

Gadis keturunan barat

Tiga hari sudah lewat, kini gadis berkucir satu dengan senyuman manisnya sudah siap untuk pergi sekolah. Ia bersenandung kecil sembari menunggu Fani selesai memakai sepatunya.

"Yuk, pergi bareng!" ajak Rania.

Bukannya menjawab, adiknya itu malah memasangkan kedua telinganya headphone dan pergi mendahului Fani.

"Fani kenapa, ya?" ujar Rania sembari menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatifnya.

Rania masuk ke mobilnya dan melirik Fani yang menatap keluar jendela.

"Fan!" panggil Rania tetapi adiknya itu tak mendengarkan.

Rania memilih untuk berhenti daripada harus membuat masalah di pagi hari.

"Pak, turunin saya disini!" perintah Fani pada Sopir.

"Kamu mau kemana? Sekolah kamu 'kan belum sampai!"

Fani hanya membalas Rania dengan menaikan satu alisnya.

Hati Rania menjadi tak tenang. Rania mengira-ngira kesalahan apa yang telah ia lakukan. Sesampainya disekolah pun, Rania melamun memikirkan hal itu.

"HEY!!"

Rania membalikkan badannya ketika seseorang merangkul pundaknya. Ternyata itu adalah Desfa.

"Hih, ngejutin aja!"

"Hehe, kamu sih melamun. Mikirin apa neng?" tanya Desfa.

Rania tersenyum, walaupun hatinya masih tak enak,  Rania masih memilih untuk menyimpannya sendiri ketimbang mencurahkan semuanya pada sahabat baiknya itu.

"Aku tahu, Ran. Kamu gak perlu cerita,"

"Kamu tahu apa?" tanya Rania penasaran.

Desfa ingin menceritakan semuanya, namun ia teringat kata-kata Fani untuk tidak menceritakannya.

"Pasti kamu sedih karena nggak ikut MOS!" ujar Desfa.

Rania tersenyum. Setidaknya walaupun Desfa tak menceritakannya, hati Rania akan tetap aman.

"Aku mau main ke rumah kamu, boleh ya?" mohon Rania.

Selama ia bersahabat dengan Desfa, tak pernah sekalipun ia di izinkan masuk ke rumah Desfa. Paling tidak, Rania hanya berdiri di teras ataupun di depan pintu rumah Desfa.

"masih ada kakak sepupuku, males!" tolak Desfa.

"ayolah, plis!"

"Plis"

"Plis"

Desfa menimbang-nimbang, apa yang akan terjadi pada Rania jika ia nekat membawa Rania ke rumahnya. Apa yang akan dilakukan sepupu jahatnya itu.

"Nggak pokoknya! Titik."

Mendengar jawaban itu, Rania berbalik pura-pura meninggalkan Desfa. Ia berbalik sejenak, ternyata Desfa tak kunjung membujuknya. Mau tak mau Rania kembali berjalan ke arah Desfa.

"Jahat banget aku nggak di bujuk,"

"Males, tukang ngambek ngapain dibujuk,"

"ih, Desfa gitu!"

Bel berbunyi, untung saja berbicara sambil berjalan. Kalau tidak mereka harus berlari dan berkeringat untuk sampai ke kelas.

"Kamu nggak sekolah tiga hari. Jadi, kamu ketinggalan berita!" Desfa meletakan tas-nya dan tas Rania bersebelahan. Ternyata, Desfa sudah menjaga kursi untuk Rania.

"Makasih dan Berita nya tentang apa?" tanya Rania.

"Gama duduk sama cewek berkacamata, kamu bisa liat rambutnya blonde itu berarti dia keturunan bule!"

"Tidak bisa di biarkan! Pokoknya Gama itu punya aku titik!"

"No, no! Cewek itu nama-nya Sophian. Dia itu pinter banget pokoknya. Humoris dan bisa buat Gama ketawa!" jelas Desfa.

Rania seketika menatap Gama dan Sophian yang duduk di kursi paling depan.

Rania pun menghampiri mereka. Berpura-pura kenalan dan mencoba menjadi seperti yang dikatakan Desfa mengenai Sophian.

"Hai!" sapa Rania dengan antusias.

"Aku Rania, kamu?"

"Aku Sophian, dan ini--" ucapan Sophian terpotong.

"Aku tahu dia Gama. Aku sudah ketemu dia berkali-kali di sekolah ini bahkan kami tanpa sengaja bertemu di rumah sakit. Mungkin jodoh?" Rania menyisipkan anak rambutnya ke telinga kirinya.

"Wah, berarti kalian dekat?" tanya Sophian.

Rania mengedipkan matanya dan menatap ke kiri dan ke kanan. Ia mengigit bibir bawahnya sambil mengerutkan roknha.

"emm, ya-" gugupnya.

"Kami mau deket! Pdkt" jawab Rania terang-terangan.

"Owhh, kamu marah aku duduk sama Gama?" tanya Sophian spontan.

"nggak kok, mau nyapa aja"

Rania buru-buru kembali ke kursinya, ia mengepalkan tangannya.

"Bodoh banget, sih!" gumam Rania.

Desfa sedari tadi menutup wajahnya dengan buku tulis. Ia tak sanggup menahan malu atas apa yang dilakukan Sahabatnya itu.

"Fiks, aku kalah!"

"Aku nyerah!!"

Rania membenamkan wajah dengan tasnya. Menahan malu dan membayangkan bagaimana wajah-nya tadi.

"Muka kamu udah kayak kepiting rebus, tinggal di makan aja tuh!" ejek Desfa.

"Des, Diam!"

"Bwekk!!" Desfa menjulurkan lidahnya.

"Gitu ya, Des!"

"ssstt, guru Fisika dah masuk!"

Mereka pun berdiri, mengucap salam dan berdoa sebelum memulai aktifitas mereka.

"Baik anak anak, karena ini masih seger-segernya. Gimana kita main game dulu?" tanya Guru fisika dengan rambut pendek.

"Main game!!" jawab semua murid.

"Bagaimana kalau kita main...."

Mereka semua setuju dan bermain hingga mereka rasa cukup.

"Baik, kita akan mulai dari bab pertama. Sebelum itu kita baca terlebih dahulu sambil ibu jelaskan jika ibu rasa ada yang harus di jelaskan!"

"siapa yang mau membaca?"

Guru Fisika itu memilih Sophian yang mengangkat tangannya terlebih dahulu. Sophian membaca seperti pembawa berita, namun lantang dan jelas.

"Berhenti, ibu akan jelaskan. Siapa disini yang pernah mengukur panjang? Pasti pernah kan?" 

"Nah, kali ini kita tidak akan mengenal tentang panjang saja. Namun ada massa, waktu, suhu, intensitas cahaya dan lainnya yang termasuk besaran" guru fisika itu berhenti sejenak, kemudian ia menunjuk Gama untuk menjawab pertanyaannya.

"Apa saja yang termasuk besaran, dan apa satuannya? Sebutkan lima aja deh! Pasti tau kan, waktu smp pernah di pelajari loh" perintah guru itu.

Gama menjawabnya tanpa melihat buku. Terlihat sekali kalau Gama belajar saat liburan. Sepertinya anak rangking satu sudah terlihat.

"Oke, kamu melampaui batas! Ibu kan minta lima. Tapi, nggak apa!"

Guru fisika itu kembali menjelaskannya. Desfa terlihat mengantuk, dan Rania terlihat segar. Fisika kelas sepuluh masih terlihat ramah. Mungkin ketika kenaikan kelas nanti akan menjadi cuek pada mereka.

"aku lebih suka matematika daripada fisika!" terang Desfa.

"Yah, aku suka semua pelajaran dan aku lebih suka Sastra" balas Rania.

Desfa menatap jam dinding itu berharap kekuatan datang mengubah waktu sekejab hingga bel berbunyi dan guru mata pelajaran olah raga datang. Sesederhana itu keinginan Desfa.

"Ini pr kalian, besok pagi harus di kumpul sebelum bel jam pertama. Kumpul di meja ibu. Kalau nggak tahu tanya guru piket"

"Baik, bu!"

Setelah guru fisika keluar, mereka berhamburan keluar ruangan. Khususnya para gadis,  Mereka sudah siap dengan perlengkapan mereka masing masing seperti, baju olahraga, bedak dan pewangi.

Untung saja Rania diingatkan Desfa untuk membawa baju olah raga, jadi dia tak perlu malu.

"Yang mana Rania?" tanya guru olahraga.

Semua orang mencari-cari sosok tersebut sampai mereka berhenti dan melihat Rania mengangkat tangannya.

"Saya pak!"

"Oke, kamu nggak perlu ikut olah raga karena papa dan mama kamu sudah datang kesekolah untuk menyatakan ini.  Kamu belajar teorinya aja ya" ujar Guru itu.

"Baik, pak." jawab Rania lemah.

Pupus sudah harapan Rania untuk ikut pelajaran ini. Padahal yang ada di bayangannya, ia memasukan bola ke dalam ring, bermain raket, lari estafet dan kegiatan seru lainnya. Tapi, kalau melihat keadaannya Rania hanya bisa pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status