Share

Kenyataan Pahit

Kejadian di kantor membuatku semakin ingin mencari cara agar Arini segera bisa melihat kelakuan ibunya. Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena nafsu ibu mertua yang kegenitan.

Malam ini sudah aku rancang semua percakapan, berharap tak ada salah paham yang membuat Arini berpikir aku tidak menyukai keberadaan ibunya di rumah ini. 

Terkadang aku merasa tak leluasa dalam berpendapat, mengingat kembali rumah yang kutempati adalah hasil jerih payah Arini. Meski Arini tak pernah mengungkit ataupun menyinggung, tetap saja aku punya rasa tak enak jika harus banyak komplain.

Malam ini, setelah makan malam aku langsung pamit masuk ke kamar lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Berharap Arini segera menyusulku ke kamar. Benar saja, dia masuk dengan membawa wedang jahe hangat dan minyak kayu putih di tangan.

Ah, dia memang istri yang super. Menerima penghasilan yang kuberikan tanpa mencibir, melayaniku tanpa banyak mengeluh, dan yang pasti ia begitu perhatian padaku.

"Mas, ini wedang jahenya cepet diminum. Habis itu aku kerokin badannya, biar rada enakan. Kamu ini pasti masuk angin karena tadi pulang nggak kamu pake jaketmu."

"Iya, Dek. Mas lupa jaketnya ketinggalan di kantor karena tadi sore buru-buru turun. Kan tau sendiri ibu sudah nungguin." Kembali aku beralasan, padahal lupa karena panik.

"Terimakasih, ya, Dek. Maaf kalau Mas sering merepotkanmu." Kuterima gelas yang ada di tangan Arini, ia tersenyum kemudian duduk di sebelahku.

"Maaf juga kalau ibu bikin Mas malu." Suara itu sedikit tertahan, kulihat ia menundukkan wajah begitu dalam. Ada sesuatu yang sepertinya ia pendam dan sangat membebani.

Aku raih jemarinya yang saling bertaut memainkan ibu jari. Jelas kekhawatiran itu ia rasa, mungkin saja ia selama ini memendamnya sendiri.

"Dek, kenapa kita nggak carikan saja suami untuk Ibu?" ucapku hati-hati.

Arini mendongakkan wajah, bola maniknya menatap lekat seolah ingin menembus pikiranku. Aku mencoba tersenyum, berharap ia tak salah mengartikan ucapanku.

"Maksud Mas, kalau Ibu menikah ia akan punya kehidupan sendiri bersama suaminya. Syukur-syukur yang bisa mengubah Ibu ke arah yang lebih baik."

"Ibu sudah gagal empat kali, Mas. Apa iya dia masih mau membina rumah tangga lagi?" jelasnya seraya membuang pandangan jauh ke luar jendela kaca.

"Apa? Empat kali?" Sontak mata ini membeliak kaget dengan pernyataan Arini.

"Dulu, Ayah adalah orang yang mampu. Usahanya berkembang dengan pesat, namun ada yang berbuat jahat pada Ayah dan berniat membuat Ayah bangkrut." Masih dengan tatapan menerawang, Arini bercerita.

"Pria itu merebut Ibu dari Ayah setelah berhasil menghancurkan usaha Ayah. Bahkan saat itu Ayah sempat depresi." Ada gurat kesedihan tergambar di wajah sendunya.

"Darimana kamu tahu cerita itu?"

"Paman yang menceritakan semuanya, itu kenapa Paman mendidikku begitu keras agar aku tidak seperti Ibu."

"Lalu Ayahmu?"

"Ayah sempat dirawat di rumah sakit jiwa, tapi setelah itu kabur dan tak tahu lagi kemana." Kembali Arini menunduk dalam, ia menyembunyikan bulir bening yang tak mampu ia tahan.

Kurengkuh tubuh Arini ke dalam pelukan, isak tangis itu terdengar menyayat. Ternyata banyak luka dalam hati yang ia simpan selama ini. Kegetiran akan pahitnya hidup dapat kurasakan dari tumpahnya air mata saat ini.

"Sudah, Dek. Jangan diingat lagi jika itu membuat kamu terluka."

"Arini sekarang ini hanya punya Ibu, Mas. Apa iya Arini harus menyuruh Ibu pergi lagi?" Tubuh Arini makin terguncang karena sedu sedan tangisnya.

Bagai ditimpuk batu, pertanyaan Arini membuatku kembali mengurungkan niat untuk bicara lebih lanjut. Skak mat.

Baiklah, aku akan memutar otak lagi. Saat ini tak memungkinkan untuk memaksa Arini menuruti saranku. Rasa kehilangan kasih sayang orang tua membuat Arini begitu lemah.

"Sebentar, Dek. Aku ambilkan minum dulu, ya. Biar kamu lebih tenang." Arini hanya mengangguk mendengar ucapanku dan membiarkan kakiku melangkah keluar kamar.

Baru saja hendak mengambil gelas di dapur, wanita jelmaan itu muncul tanpa kuduga. Ia bersandar pada dinding dekat pintu dengan melipat tangan di dada dan kaki kanan menumpu pada dinding.

"Bagaimana usahamu, Danu? Berhasil mempengaruhi Arini?" cibirnya dengan santai.

"Apa maksud Ibu?"

"Kamu pikir aku nggak dengar semua yang kamu bicarakan ke Arini? Aku tahu kamu ingin menyingkirkan aku karena kamu punya tujuan untuk menguasai harta Arini."

Lagi-lagi mata ini membulat demi mendengar tuduhan itu. "Astaghfirullah, Bu. Bagaimana bisa Ibu menuduhku seperti itu?"

"Sudahlah, Danu. Kamu itu sama sepertiku dulu yang hanya menginginkan harta suami demi kesenangan di luar sana. Dan Arini itu sama bodohnya seperti suamiku, hahaha ...."

Sungguh untuk kesekian kalinya mata ini kembali membeliak mendengar pernyataan yang keluar dari wanita bernama ibu mertua itu. Bagaimana dengan begitu ringan ia bicara seperti itu tanpa beban dan tanpa penyesalan.

"Sayangnya aku bukan anda, aku mencintai Arini dari hati."

"Kita lihat saja. Karena lambat laun Arini pasti akan menyadari itu. Oh ya, aku juga akan berhasil membuatmu bertekuk lutut di hadapanku, Danu."

"Dasar wanita gila!" ketusku sembari berlalu dari hadapannya.

****

Pagi ini ada yang berbeda. Saat tiba di meja makan, kulihat ibu mertua sudah duduk manis di sana. Pemandangan yang cukup langka. Ia memakai pakaian yang tertutup meski tanpa hijab.

Sikapnya juga lebih ramah ke Arini. Sungguh ini tak biasa. Tampak Arini tersenyum manis ketika wanita itu menyendokkan nasi ke piring untuknya.

"Ini, Sayang. Kamu harus makan yang banyak. Hari ini Ibu sengaja bangun pagi, masak untuk anak dan menantu kesayangan Ibu." Sudut mata itu masih saja melirikku dan tersenyum penuh arti.

"Terimakasih, Bu. Harusnya Ibu nggak usah capek-capek masak. Biar Arini aja yang lakuin."

"Kamu sudah capek kerja, masa harus capek kerjaan rumah juga? Oh iya, Arini. Hari ini Ibu mau bersih-bersih rumah, kamarmu nggak usah dikunci, ya?"

Mendengar itu, aku memicingkan mata. Mencoba menganalisa apa rencana dari wanita kesepian itu. Jangan-jangan mau memasang perangkap. Pikiranku kembali menerka-nerka apa yang akan ia lakukan.

"Nggak usah, Bu. Aku nggak mau Ibu kecapaian."

"Arini, jangan perlakukan Ibu seperti ratu di rumah ini. Ibu malu, Nak. Ibu bukanlah Ibu yang baik untukmu. Biarkan Ibu menebus waktu yang telah Ibu sia-siakan selama ini." Tiba-tiba rinai bening telah mengalir di pipi wanita licik itu.

"Baiklah, Bu. Tapi Ibu harus janji nggak boleh terlalu capek. Arini nggak mau Ibu sakit."

"Iya, Sayang." Wanita itu menyeka air mata dengan punggung tangan.

Dasar wanita ular ... pandai sekali dia bermain drama. Sudah persis tokoh antagonis dalam cerita film di layar kaca ikan terbang. Kok ada wanita macam itu di dunia nyata.

Setelah Arini pamit berangkat kerja dan menghilang dari pandangan, aku segera kembali masuk ke rumah. Kuedarkan pandangan mencari sosok wanita jelmaan itu di semua ruang. Dari ruang tengah, belakang, dan kamarnya tidak kutemukan juga.

Kemana wanita itu? Aku harus memberi peringatan padanya agar tak melampaui batas. Aku tak ingin ambil resiko atas kelangsungan pernikahanku dengan Arini.

"Sialan!" umpatku seraya menendang tembok karena tak berhasil menemukannya.

Kulihat jam bulat di dinding sudah bergerak maju, jika kuteruskan mencari pasti aku akan terlambat ke kantor. Kuputuskan untuk segera mengambil tas kerja di kamar.

Baru saja kuraih tas yang tergeletak di atas nakas, pintu kamar tertutup dengan keras. Sialan! Wanita itu ternyata sembunyi di balik pintu kamarku. Ia memanfaatkan kelengahanku.

"Kenapa mencariku, Danu?" Pertanyaan konyol yang ia lontarkan membuatku semakin muak.

Ia tak pedulikan muka merah padamku. Justru tangannya malah memasukkan anak kunci ke dalam belahan dadanya. Langkahnya mendekat dengan membusungkan dada, menantang hasrat lelakiku.

"Bu, tolong jangan nekad." Debaranku semakin tak karuan.

"Arini sudah berangkat, jangan khawatir. Aku tidak ingin meminta lebih, hanya minta bibirmu saja untuk pagi ini. Boleh, ya?" 

Bagai terkena sihir tubuhku mematung, bahkan ketika bibir sensual itu memagut bibirku. Melumat dengan penuh gairah. Sejenak benar-benar aku menikmati sensasinya, namun sejurus kemudian akal sehatku kembali.

Kudorong dengan keras hingga wanita itu terjengkang ke belakang dan anak kunci terjatuh, dengan sigap kuraih dan segera lari menuju pintu. Sebelum benar-benar langkah ini pergi, kubalikkan badan untuk melihat wanita yang masih terduduk di lantai itu.

Bukan rasa sakit yang ia tunjukkan, justru senyum penuh ejek yang menyembul dari sudut bibirnya. "Pergilah, Danu. Masih banyak waktu untuk membuatmu lebih menikmati," ucapnya tanpa rasa malu.

Aku melangkah gontai. Antara rasa sesal karena tak mampu menolak dan rasa ingin yang mulai menggoyahkan hati. Keberuntunganku hanya satu, logika masih bersarang di otakku. Sedangkan godaan itu semakin lama semakin menggila.

Perlukah kupasang cctv untuk memberi bukti pada Arini tentang kelakuan ibunya? Lalu, bagaimana jika Arini tahu hal yang sebenarnya? Bisakah ia menerima kenyataan bahwa ibunya adalah pelakor yang siap merusak rumah tangganya?

Entahlah. Semua sekarang berputar di kepalaku, seperti ribuan semut yang membuat pandangan buram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status