Share

BAB 3 BABYSITTER

Layar laptop menggelap. Jemariku mengetuk tepian meja. Jam di dinding hampir menunjuk 11: 10. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku mengusap wajah kasar. 

Sejak masuk kerja tadi fokusku buyar. Tak ada yang bisa kupikirkan dengan kepala jernih. 

Kacau ... kacau ... kacau! 

Tidak juga selesai pekerjaanku dibuatnya. Kasar, kuraih cemilan dalam toples lalu mengunyahnya hingga habis. Setelahnya kembali mengambil lagi makanan itu untuk kembali dikunyah hingga menyisakan toplesnya saja.

Tanganku menggeser mouse. Layar yang tadinya gelap kini menampilkan berbagai macam huruf dan angka yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling. 

Ini gara-gara orang itu. Nyaris setengah hari kupikirkan pesannya. Membayangkan apa yang  mau dilakukan oleh lelaki itu dengan kedatanganku ke ruangannya, membuatku bergidik ngeri mengelus dada, mencoba untuk tetap tenang, lalu mengatur napas.

Sialan memang. 

Sederet pesan yang mampu membuat moodku berubah. Habis sudah, mau apa dia menyuruhku ke ruangannya? Jangan-jangan! 

Hi! Amit-amit!

Mataku tak henti memperhatikan jam tangan. Sedang lembaran kertas di atas meja menunggu untuk segera diselesaikan. Kesal. Tanpa sadar aku memukul meja.

"Lo kenapa, Nad?" tanya Arumi yang baru saja datang dari luar ruang, dia langsung mendekat ke meja kerjaku. Tatapan serius itu membuatku risih. Berkacak pinggang sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku lalu bertanya,

"Ada masalah, Nad?" 

"Enggak, Rum," jawabku sekenanya. Menggeser meja ke belakang. Aku bangkit dari duduk, pergi ke toilet untuk membasuh wajah. 

Aku menoleh kebelakang.

Arumi terlihat  kebingungan masih dengan posisi berkacak pinggangnya.

"Yaudah, gue keluar sebentar ya," ujarnya sembari melambaikan tangan. 

Kuangguki kepala sebagai jawaban 'iya'.

Setelah Arumi pergi. Aku berniat ingin ke toilet. Lama-lama kepalaku terasa panas dan berdenyut. 

Sebagai rekan kerja yang satu ruangan. Aku, Arumi dan Daniel lumayan dekat. Kadang berbicara seperlunya seperti rekan kerja biasa, kadang juga seperti seorang sahabat. Arumi dan Daniel sering berkomunikasi denganku, berbeda dengan Rafi yang hampir hanya saat keadaan yang sangat diperlukan saja dia berbicara padaku. 

Pria berdarah Ambon dengan kulit sawo matangnya serta kacamata yang bertengger di hidungnya itu sangatlah jarang berbicara dan tak suka basa-basi. Sejauh ini, itu yang kuketahui tentangnya.

"Untuk rekap data bulan ini, tolong diselesaikan segera." Rafi menaruh sekotak lembaran kertas di dalamnya. Ketikan pada keyboard kuhentikan. Aku mendongakkan kepala sebentar untuk memperhatikan kotak yang tak terlalu besar itu. Tak lama pandangan kualihkan padanya. Punggung itu semakin menjauh. Ah ... lelaki ini. Bahkan ia tak menoleh padaku. 

Saat itu hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan, sedang Daniel ada urusan dan Arumi baru saja keluar. Lelaki yang tak suka basa-basi dan lebih senang dengan kesendiriannya itu menurutku cukup menarik. Tapi, tak seminarik seorang Davin Adiputra.

Tentang Davin Adiputra. Tak terlalu banyak yang kuketahui tentangnya, meski bisa dibilang aku menyukai sosok hitam manis berlesung pipi itu. Jabatan sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan ternama bukankah itu hebat? Kudengar dia juga punya beberapa cabang perusahaan lainnya di luar negeri. Muda dan bertalenta, gadis mana yang tak jatuh cinta pada sosoknya? Begitu pun denganku. 

Walau hanya angan, tak masalah menyukai seseorang yang tidak akan mungkin bisa didapatkan. Selagi tidak merugikan pihak yang disukai. 

Baru saja menyelesaikan ritual membasuh wajah. Pintu kamar mandi digedor tak sabaran dari luar. Kusahuti dengan kata 'sebentar' namun tetap membuat orang itu tak kunjung menghentikan gedoran.

Aku membuang napas kasar sebelum memutar handle pintu.

"Kamu, dicariin Pak Malik." Arumi memberi kode dengan menggerakkan kepalanya ke kiri, setelah pintu terbuka setengah. Nada suara yang sarat akan kegugupan itu membuatku jadi agak takut.

Kutolehkan pandangan ke kanan. Benar saja, dari bagian belakang punggung yang yang aku yakin siapa dia. Napasku tiba-tiba menjadi manual, bulu kudukku meremang. 

Ragu untuk mendekat. Tiba-tiba saja dari belakang Arumi mendorongku agar lekas menemuinya.

"Cepetan, Nad." Dengan suara yang kecil Arumi protes karena aku tak kunjung mendekat pada lelaki itu.

Aku mengangguk ragu sembari melangkah kan kecil.

Punggung itu berbalik. Memperlihatkan wajah dingin sang CEO. 

Tangannya menunjuk jam tangan lalu memandangku dingin. Kakinya dihentikan ke lantai.

Satu kata yang cocok untuknya 'Mister Creepy' 

Aku tersenyum kecut menyembunyikan rasa khawatir jika saja ditelan hidup-hidup olehnya.

"Maaf, Pak, ada apa ya?" tanyaku pura-pura lupa. 

Susah payah menelan ludah. Kuhindari tatapan menyeramkan miliknya.

"Jangan pura-pura lupa. Ikut saya ke ruangan sekarang." Suara bariton itu terdengar menakutkan di telingaku.

Aku mengangguk mengiyakan, tak lupa menarik senyum saat mata kami saling bertatapan. Wajah lelaki itu sejenak mengalihkan perhatianku. Ekspresi datar dan dingin yang selama ini ia perlihatkan di depan orang banyak tak sama dengan ekspresi menyebalkan saat ia tertawa. Apa dia orang yang berbeda yang dengan yang kulihat tadi? Ah mana mungkin. 

"Saya tunggu." Suara bariton itu kembali memenuhi indra pendengaran. Berat dan maskulin.  

"Baik, Pak." Aku membungkuk badan ke arahnya. Walaupun tak suka dengan sosoknya, sebisa mungkin kubuang jauh-jauh perasaan itu saat berada di jam kerja, sebab di sini aku tidak lebih dari karyawan yang tak memiliki kuasa lebih  untuk melawannya. 

Punggung tegap itu menghilang saat pintu kembali tertutup. Aku menghirup napas banyak-banyak, balas dendam karena daritadi sesak tak cukup udara masuk ke dalam paru-paru. Sebab, tak bisa kulakukan saat makhluk menyeramkan itu ada di ruangan ini. Lemas sudah lutut ini dibuatnya.

Gontai aku berjalan menuju meja kerja, menarik kursi agar lebih dekat denganku lalu mendudukinya. 

Dari arah belakang Arumi memegang bahu kiriku. Seolah mengerti apa yang aku rasakan. Ia memberi isyarat tangan agar aku menarik napas lalu membuangnya, dan anehnya kuikuti. 

"Nah, gimana, udah tenang belum?" tanyanya. Binar mata gadis itu terlihat khawatir.

"Lumayan, uji nyali." Aku mengelus dada. Hem, lumayan rata. 

Kudekatkan kursi pada meja kerja. Lama, kuperhatikan layar komputer data bulanan yang masih berada di sana, untungnya tak kumatikan komputer ini. Sebab kadang sewaktu-waktu komputer ini bisa saja nge-hang, lalu semua data yang sedang dikerjakan hilang tanpa jejak. Yah, kadang begitu, dan hal itu pastinya membuatku terpaksa lembur untuk menyelesaikannya.

Selesai menyimpan data. Aku bangkit, menguatkan diri untuk melangkahkan kaki menuju ruangan sang CEO, atau 'Mr. Creepy'.

Arumi menyemangatiku dari meja kerjanya. Se per sekian detik kemudian kembali sibuk pada komputer di depannya.

Kupandangi jam di tangan. Pukul sebelas lewat, tak lama lagi jam istirahat akan berakhir dan sekarang perutku terasa keroncongan.

Kantin ... Ruang CEO ... kantin ...Ruang CEO

Setelah lama memikirkan jawaban akhirnya kuputuskan belok ke kiri memasuki lift. Menekan lantai terakhir sebagai tujuan utama. Tak kupedulikan seberantakan apa wajahku saat ini, terpenting setelah menemuinya akan kusegerakan makan karena cacing di dalam sini sedang demo karena belum diberi jatah makanan.

Lift berhenti. Kulangkahkan kaki begitu pintu terbuka. Kulewati dua pasangan yang sedang berdiri di luar lift, tampak mereka sedang asyik bercakap-cakap. 

"Nanti malam makan di mana, Sayang?" 

"Terserah, yang penting perginya sama kamu."

Sedikit dari percakapan mereka yang dapat kudengar sebelum pintu lift kembali tertutup. 

Ada sedikit perasaan iri menyusup di dalam sini. 

-Ruang CEO-

Entah kenapa menatap tulisannya saja sudah terasa menyeramkan. 

Aku berdiri di depan ruangan itu. Mencoba setenang mungkin sebelum mengetuk pintu. Sahutan terdengar dari dalam menyuruhku segera masuk. 

Memutar hendel pintu, sengaja kubuka agak lebar pintu itu. Namun, suara bariton itu menginterupsiku untuk menutupnya kembali. 

Aku mengangguk. 

Kututup pintu, tapi tak menguncinya. Hanya  untuk berjaga-jaga saja. Tak baik jika hanya ada dua orang berbeda jenis di dalam satu ruangan. Jika hal tak mengenakkan terjadi aku bisa dengan leluasa untuk melarikan diri. 

"Saya enggak niat makan kamu."

Aku menggigit bibir bawah, berbalik ke arahnya lalu menarik senyum. Raut wajah itu tetap dingin menatapku. 

"Duduk," ucapnya.  

Melangkah mendekat, aku duduk di kursi di depannya. Manik kelam itu fokus pada laptop di mejanya.

Aku menunduk, takut jika mata melihat kemana-mana, dan itu tidaklah sopan. Meremas celana panjang yang kugunakan.

"Saya udah lihat kamu," ujarnya.

Bukannya aku memang di depannya?

"Maksud saya, seminggu yang lalu hari Minggu ...." ujarnya kemudian, tanpa berniat memberitahu kelanjutannya. 

Aku berusaha berpikir keras. Seminggu lalu, aku datang ke panti asuhan untuk memberi sedikit cemilan untuk anak-anak. Sekedar datang untuk menyapa dan bermain lalu pulang. Jadi dia di sana? Tapi setelah kuingat - ingat aku tak melihatnya di panti. Bagaimana bisa dia tau aku di sana?

"Saya lihat kamu dekat sama anak-anak. Dan kelihatannya kamu juga bisa sedikit dipercaya. Saya mau kamu kerja sebagai babysitter untuk anak saya ...." Manik kelam itu berubah teduh. Entah kenapa. Seperti ada yang dipikirannya.

Terkejut setelah mendengar pengakuannya. Ternyata, dia sudah punya anak. Pantas saja jika ia kupanggil dengan  'Bapak'. Karena aslinya memang sudah bapak-bapak.

Katanya sudah sudah punya anak. Pastinya juga punya istri, jadi kenapa tidak istrinya saja yang mengurus? Ah, harusnya aku mengerti orang kaya tak punya waktu bahkan untuk mengurus anak sendiri. Aku paham sekarang.

Tapi, mana bisa. Pekerjanku bahkan tidak punya banyak waktu luang untuk bekerja sampingan.

"Tapi, Pak. Saya kan juga kerja di sini. Terus--" 

Lelaki berahang kokoh itu memotong ucapanku. Disodorkannya sebuah kartu nama.

"Sabtu dan Minggu dari pagi sampe sore. Itu kartu nama saya." tawarnya lagi. Manik kelam itu menatapku lama menunggu jawaban.

Seram.

Aku mencebik.

Bisa saja dia itu memaksa seseorang untuk bekerja untuknya. Dia pikir aku siapa.

Sepertinya daripada harus bekerja sama dengan orang ini. Akan lebih baik jika kutolak tawaran itu, karena bekerja untuknya pastinya membuatku harus bersiap diri untuk banyak bersabar agar tak kehilangan kewarasan karena menghadapi orang dingin nan menyebalkan sepertinya.

"Gimana, mau kan?" tanyanya lagi kali ini nada suaranya agak sedikit bergetar. Lelaki itu berdehem. 

"Maaf, Pak--"

"Terima atau kamu saya pecat." 

Lah, pemaksaan.

Seketika bulu kudukku meremang. Pernyataan singkat itu membuatku kaget. Ingin protes namun kutahan, terpaksa kuluapkan emosi dengan meremas celana kuat-kuat. 

Aku menggigit bibir bawah, tak percaya akan berada pada situasi yang mengancam pekerjaanku. 

"Saya bayar kamu 10 kali lipat dari gaji kamu bekerja di sini, Sabtu Minggu oke." ujarnya lagi. Lelaki ini memutuskan sepihak. Pandangannya beralih pada layar gawai dengan logo apel digigit di belakangnya. Tak lama dia mulai berbicara, tapi entah dengan siapa. 

Uhuk

Aku tak salah dengar? 10 kali lipat. Wah kaya mendadak ini mah. Tak perlu dipikirkan lagi. Menjadi babysitter sepertinya bukanlah hal yang sulit hanya saja mungkin setiap harinya aku akan selalu mendapati wajah menyebalkan ini lebih sering.

"Baik, Pak. Saya mau." 

Aku mengangguk dengan bersemangat. Lelaki di depanku tampak tersenyum sesaat. Lalu kembali ke mode dingin lagi.

"Ah, Pak. Senyum seperti tadi ke semua orang nggak bakal rugi loh."

Aku tersenyum seolah tak merasa bersalah di depannya. Setelah kupikirkan lagi aku keceplosan dan orang di hadapanku sedang menatapku dingin.

Aku menepuk jidat. Lalu meminta maaf karena telah lancang menceramahiya.

"Maaf, Pak ....!"

Alah mak mati aku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status