Share

BAB 6 BOCAH USIL

Cahaya matahari merangkak masuk melalui celah jendela. Aku menutup kepala dengan bantal menghindari sinarnya. Rasa kantuk itu masih ada, aku beringsut duduk untuk mulai berolahraga kecil. Mulai dari menarik kepala ke kanan lalu ke kiri hingga terdengar suara patahan lalu selanjutnya kulakukan hal yang sama pada anggota tubuh lain seperti tangan dan pinggang.

Setelah selesai, aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Menyibak gorden dan membuka jendela. Angin pagi menerpa wajah dan terasa menyejukkan. 

Aku menghirup napas dalam lalu membuangnya, kulakukan berulang-ulang.

Aku menguap lalu memperhatikan jam di dinding kamar. 

Dan,

Jam 9 pagi. Ingin berteriak rasanya namun kutahan. Aku berlari ke kamar mandi tak lupa membawa handuk yang tergantung di belakang pintu. 

Sedikit doyong ke samping hampir jatuh namun posisi-ku jadi kembali ke semula saat berhasil menggapai tembok.

Hufft

Dengan kekuatan penuh kembali berlari ke kamar mandi untuk menyelesaikan ritual mandi dan lain-lain.

___

Saat menuruni anak tangga kedua terbawah, mataku mendapati Mama sedang menonton acara talkshow di televisi dan di tangannya remote.

"Ma, aku izin keluar, ya. Mau kerja," ucapku padanya sembari membenahi letak tas kecil yang agak melorot ke bawah. 

Mama berdiri, menaruh remote di atas sofa. Menatapku kebingungan. 

"Loh? Bukannya Sabtu sama Minggu kamu libur?" tanya Mama dengan wajah bingung. Aku mendekat padanya meraih tangan itu dan menyalaminya.

"Nanti aku jelasin, Ma. Sekarang lagi buru-buru takut telat soalnya!" ucapku pada Mama sembari berlari-lari kecil ke luar rumah. Mama kulihat masih berdiri di sana melihatku pergi dengan tatapan kebingungan.

Sebenarnya soal pekerjaan sampingan ini aku belum memberi tahu Mama dan Alif. Karena sering lupa saat ingin memberitahu. Tapi, tak apa akan ku jelaskan pada Mama selepas pulang bekerja nanti, agar tak terjadi salah paham. Dan mereka tak perlu khawatir dengan keadaanku.

Aku fokus berlari sambil sesekali mengecek jam tangan. Sepertinya bus sudah tak ada jam segini, akan lebih baik jika aku naik angkot saja. Dan, ngomong-ngomong tentang alamat sepertinya aku tak hafal dimana tempatnya.

Kuhentikan langkah saat sudah tiba di halte bus. Membawa tas ke dalam dekapanku untuk mencari kartu kecil petunjuk alamat rumah lelaki itu. 

Aku memperhatikan alamat tertera pada kartu itu dan di sana tertulis komplek perumahan elit jalan bintang dengan nomor rumah 02. Dan sepertinya memang tak terlalu jauh dari sini. 

Dari kejauhan mataku menangkap angkot yang akan segera lewat. Aku melambaikan tangan pada angkot itu tak lama kemudian kulihat angkot itu sudah berdiri di sisi jalan menungguku.

"Kemana, Dek?"

"Perumahan elit jalan bintang, ya, Pak!" ucapku 5 keras pada sang sopir karena suara bising di jalan mengganggu pendengaran.

"Oke, Dek! Naik!"

Kulangkahkan kaki menaiki angkot. Memegang sisi pintu angkot yang tak punya penutup. Pandanganku menyisir ke dalam angkot, ada beberapa orang yang sudah duduk di sana dan beruntungnya masih ada tempat kosong untuk diduduki. 

Pandanganku beralih pada sisi jendela angkot, menggesernya sedikit agar angin bisa masuk dan tak terlalu pengap.

Angkot mulai berjalan, membelah jalanan padat. Aku duduk sembari mendekap ransel di depan badan. Dari dalam sini, kulihat matahari begitu terik walau masih pagi.  Gerah terasa saat angkot mulai penuh menampung penumpang lainnya. 

Yah, aku memang tak terlalu sering menggunakan angkot sebagai transportasi untuk pergi bekerja, lebih sering menggunakan bus karena memang lebih muat untuk banyak orang dan tak terlalu berdempetan. Tapi, kalau masalah gerah aku rasa tak terlalu bermasalah karena sudah biasa.

Sekitar 30 menit perjalanan akhirnya pak supir kembali menghentikan angkotnya. 

"Dek, udah sampe di perumahan elit jalan bintang," katanya sembari menoleh ke belakang dan menatapku. 

Cepat aku berdiri, memburu waktu karena jam sudah menunjuk angka setengah sepuluh. Mengambil uang pas dua lembar berjumlah sepuluh ribuan. 

Aku menyerahkannya saat berdiri di sisi pintu angkot sopir.

"Makasih, Pak!"

"Iya, Dek sama-sama,"

Angkot kembali melaju meninggalkanku berdiri di pinggir jalan. Pemandangan perumahan elit memang sangatlah menakjubkan. Pagar kokoh dengan halaman rumah yang sangat luas juga terdapat sebuah gazebo. Ah, rumah idaman! Kapan aku bisa memilikinya?

Mimpi!

Aku mengelus dada entah untuk apa. Lalu menepuk kuat pipi dari kehaluan yag terlalu tinggi. 

Langkahku berhenti di gerbang pagar bertuliskan nomor dua. Aku mendekat, pagar putih elegan itu sungguh bagus. Kalau saja pagarnya sudah sebagus ini pasti rumahnya lebih dari bagus dan pastinya menakjubkan ... mahalnya.

Aku menyentuh pagar. Mataku menangkap tulisan lainnya, yaitu Mahendra. Sudah kuduga, rumah ini benar milik sang CEO. Aku merapikan penampilan sebelum akhirnya menekan tombol hitam di tembok.

Gerbang terbuka. Memperlihatkan seorang Bapak dengan seragam khas security-nya, serta dengan topi hitam menutup kepalanya dan bapak itu kutaksir berusia 50 tahunan. 

Dia mempersilakanku masuk. Aku sedikit membungkuk untuk berterima kasih padanya dan kulihat bapak itu menarik senyum lalu kembali menutup gerbang. 

Kupercepat langkah agar lekas tiba di teras rumah besar elegan berwarna putih itu karena jarak dari gerbang untuk sampai ke rumah itu agak jauh.

Sesampainya di depan pintu. Rasa lelah menyergap, karena jauh berjalan terburu-buru hanya untuk mencapai teras rumah. 

Akhirnya sampai juga. Lirihku. 

Duk

"Aw," Aku meringis memegang kepala yang terkena hantaman benda agak keras. Menoleh ke belakang, kutemukan seorang bocah berdiri di sisi tembok lainnya, dia terbahak melihatku jatuh terduduk di lantai. Aku yakin ini pasti bocah usil itu yang melempar bola padaku. Pandanganku beralih padanya, perawakan amburadul darinya membuatku yakin dia adalah bocah yang nakal. 

Aku bersungut-sungut kesal.

Kepalaku sedikit berdenyut nyeri saat berdiri. Kuraih bola yang tergeletak tak jauh dariku. Lalu mendekap bola karet agak berat itu agar si bocah tak kembali berulah. 

"Kamu, enggak boleh usil. Nanti, Mama kamu marah," kataku padanya. Kulihat bocah itu berdiri di sana, lalu tak lama kemudian dia berjongkok. Tangan kecil itu ditaruh di atas lutut, seperti sedang menangis?

Isak tangis terdengar keras. Aku buru-buru mendekat padanya memastikan dia baik-baik saja.

"Loh ... loh ... loh. Eh, maaf, Dek. Kamu kenapa nangis? Ada yang sakit?" tanyaku khawatir. Dia menengadahkan wajah memperhatikanku sendu. 

"Nggak!" jawabnya. Lalu pandangannya berubah mengejek dan tertawa terbahak menatapku.

Aku menautkan alis, bingung dengannya. Jadi alasan dia menangis kenapa bambang? 

Kok aku jadi kesal ya?

"Kena tipu ...wlee!" 

Dia bangkit berdiri agak jauh dariku. Menggerakkan tangannya yang berada di telinga sembari menjulurkan lidah mengejekku. 

Aku hanya bisa mengelus dada bersabar sembari menggelengkan kepala. Anak kecil memang seperti itu. 

___

Halo semua, ketemu lagi dengan saya, jadi gimana menurut kalian cerita ini? Yang punya kritik dan sarannya boleh dong tinggalin jejak. Saya juga butuh masukan untuk cerita ini ke depannya, mohon bantuannya semua❤

Sampai jumpa di cerita selanjutnya, salam sayang elra❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status