Share

Chapter 3 : Kabar Perjodohan

Daniel Smith, seorang pria paruh baya yang masih terlihat cukup muda itu kini tengah menatap rintik hujan dari balik kaca ruang tamunya. Tatapan matanya terlihat cukup dalam dan tajam, seolah mampu merobek siapa saja yang berhadapan dengannya. Entah apa yang sedang dipikirkannya sehingga menatap hujan saja bisa sebegitu mengerikannya.

Dean baru saja kembali dari kantor. Jika biasanya dia pulang ke apartemen miliknya, tapi hari ini dia pulang kerumah atas permintaan ibunya.

Hujan yang mendadak turun membuat Dean tiba di rumah larut malam, dan dia tidak terlalu terkejut ketika mendapati ayahnya masih terjaga. Perlahan langkah kakinya mendekati Daniel yang sepertinya memang sudah menyadari keberadaan Dean melalui pantulan kaca yang ada dihadapannya.

"Dimana Dion?" tanya Daniel dengan nada datarnya.

"Apa ayah juga menyuruhnya pulang?" bukannya menjawab, Dean malah balik bertanya.

"Ada yang harus ayah sampaikan pada kalian."

"Aku tidak tahu. Dion tidak menghubungiku hari ini."

Daniel melangkahkan kakinya menuju sofa kemudian duduk diatasnya. Dean yang melihat itu juga segera mengikuti ayahnya. Karena sepertinya memang ada hal yang cukup serius yang akan ayahnya sampaikan.

"Apa ada sesuatu yang mendesak?" tanya Dean yang sedikit penasaran.

"Tidak ada. Hanya perlu memastikan beberapa hal." jawab Daniel ambigu membuat Dean mengernyitkan keningnya tidak mengerti.

"Berapa umurmu sekarang?" Daniel kembali bertanya.

"27," jawab Dean singkat.

"Kapan kau akan menikah?"

Dean menautkan alisnya ketika mendengar pertanyaan Daniel barusan, kali pertama dalam hidupnya ayahnya itu bertanya soal pernikahan kepadanya.

"Aku tidak tahu." jawab Dean sembari meregangkan ikatan dasinya yang tiba-tiba saja terasa sedikit mencekik.

"Kau menyukai seseorang?" ucapan Daniel kali ini juga tidak kalah mengejutkan bagi Dean. Hal yang wajar sebenarnya jika orang tua bertanya tentang pasangan kepada anaknya yang sudah memiliki usia matang tapi ini sama sekali bukan seperti Daniel, karena ayahnya itu sangat acuh terhadap hal seperti itu.

Dean menghela nafas panjang. "Siapapun tidak masalah, selama tidak merepotkan."

"Baguslah, dengan begitu aku tidak perlu repot memilih." Daniel berdiri dan meninggalkan putra sulungnya.

"Siapapun yang kusuka, kurasa aku tidak akan diberi kesempatan memilih." gumam Dean yang kini sudah menyandarkan kepalanya di sofa.

✿✿✿✿✿

Setelah sesi "wawancaranya" dengan Dean, Daniel kembali ke kamarnya.

"Apa Dean menerima tawaran itu?" tanya istrinya yang kini duduk disamping Daniel.

"Aku belum mengatakannya, hanya sekedar menanyakan beberapa hal," jawab Daniel.

"Kenapa?"

"Aku harus mendiskusikannya dengan Dion juga." Daniel menghela nafas pelan.

"Kenapa harus melibatkan Dion? Ku rasa dia tidak akan keberatan dengan pernikahan kakaknya."

"Mungkin,"

"Sayang, kurasa keputusanmu untuk menikahkan Dean adalah hal yang baik. Aku sedikit khawatir karena selama ini dia tidak pernah terlihat tertarik kepada seorang perempuan pun."

"Aku tahu." Daniel menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan.

"Apa sudah ada seseorang yang kau pilihkan untuk Dean? Jika belum, aku akan merekomendasikan beberapa kenalan."

"Sebaiknya tanyakan langsung pada Dean." Daniel menatap istrinya yang kini tengah sibuk melihat-lihat isi galeri handphone untuk mencari beberapa foto kenalannya.

"Dia tidak terbuka tentang hal seperti itu padaku. Kurasa tidak pada semua orang juga, termasuk Dion." Zara merengutkan wajahnya membuat Daniel gemas dan mengacak pelan rambut istrinya itu.

"Kau sudah berusaha keras." Daniel tersenyum dengan tulus.

✿✿✿✿✿

Nara merebahkan tubuhnya diatas sofa dengan kepala berbantalkan paha Nanda. Sejak tadi mereka berdua asik mengobrol, Nara yang tengah manja tidak membiarkan Nanda bersantai sedikitpun. Dia terus menempel pada laki-laki tampan yang menjadi kakaknya itu.

"Kak, aku tidak berbohong. Aku benar-benar punya kekasih." Nara memanyunkan bibirnya karena kesal sejak tadi Nanda terus saja tidak percaya padanya.

"Kalau begitu bawa dia kemari, baru aku percaya." Nanda menatap Nara dengan serius.

"Tidak bisa kak, aku masih ingin merahasiakannya dari ibu dan ayah." bisik Nara pelan.

"Kenapa? Karena kau pasti berbohong. Lagipula mana ada yang mau sama perempuan jutek sepertimu." Nanda tertawa dan mencubit pipi Nara gemas.

"Aku hanya cuek ke orang lain, tapi tidak pada orang-orang yang kusayangi." bela Nara tidak terima.

"Baiklah, tapi berjanjilah untuk tidak terluka karena perasaan." Nanda mengacungkan jari kelingkingnya kepada Nara. Nara mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya ke jari sang kakak. Membuat sebuah tanda perjanjian.

Setelah itu mereka kembali bercanda, saling menggoda, saling meledek, bahkan saling caci maki. Ibu mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala saat melihatnya. Saking asiknya dengan kegiatan mereka, mereka sampai tidak menyadari kehadiran Wina yang tengah menatap mereka dengan tatapan yang lagi-lagi sulit diartikan.

Wina menghela nafas pelan. "Lagi-lagi Nara." ucapnya dalam hati.

"Astaga, aku sudah disini hampir setengah jam dan kalian tidak ada satupun yang menyadari keberadaan ku." Wina mendudukan dirinya di sofa dengan wajah dibuat sekesal mungkin.

Nara terkekeh. "Ya ampun lihat kak, adikmu yang sok manis itu sedang merajuk." tunjuk Nara pada Wina yang langsung dilempar bantal sofa oleh Wina.

"Aisshh, sakit kak. Kau ini datang-datang langsung anarkis." cibir Nara yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Wina.

"Kalian ini setiap hari berantem terus kerjaannya. Gak bosen emang?" Nanda menatap Nara dan Wina secara bergantian.

"Salahkan saja kak Wina yang menyebalkan itu." Nara mendudukan dirinya dan kembali melempar bantal yang tadi sempat Wina lemparkan padanya.

"Memang tidak pernah ngaca gitu kamu Ra?" Wina belum mau mengalah.

"Teruskan saja pertengkarannya. Selama bukan bertengkar karena pasangan ibu tidak masalah." Kali ini Yona ikut bergabung dengan obrolan mereka.

"Never!" Jawab Nara cepat. "Selera kita saja tidak pernah sama dalam hal apapun. Apalagi pasangan." Nara menjulurkan lidahnya kearah Wina.

"Tentu saja ibu," Wina tersenyum penuh hormat kepada Yona. "Hanya saja-- "

"Sebaiknya memang begitu, ibu tidak mau hubungan persaudaraan kalian rusak hanya karena masalah asmara." Yona memandang kearah Wina dengan serius. Entah hanya perasaannya saja atau memang ada sesuatu, akhir-akhir ini Yona sering mendapati Wina menatap Nara secara intens.

Nanda yang menyadari tatapan ibunya mengernyitkan kening. "Ibu tidak perlu khawatir, lagipula ayah pasti memilihkan calon yang berbeda untuk mereka. Jadi hal seperti itu tidak akan terjadi." kalimat Nanda barusan membuat Nara dan Wina menoleh bersamaan kearahnya.

"Jangan lupa jika dirumah ini ada bapak negara yang mengatur semua urusan termasuk pernikahan." Nanda tersenyum miring dan tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Wina. Wina segera mengalihkan pandangannya, entah kenapa dia merasa jika tatapan lembut Nanda sangat mengintimidasi.

Yona berdecih. "Keputusan ayah kalian memang mutlak, tapi ibi berharap kalian akan bahagia dengan keputusan kalian sendiri." Yona mengelus kepala Nara dan membawanya kedalam pelukannya.

"Ibu memang terbaik." Nara tersenyum dalam pelukan ibunya.

Lagi, untuk kesekian kalinya mata Yona menangkap Wina yang menatap Nara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Semoga tidak ada apapun diantara kalian." ucap Yona penuh harap dalam hatinya.

✿✿✿✿✿

Dion menerobos masuk pintu ruangan kerja Dean dengan tergesa-gesa. Entah apa yang membawanya ke sana dengan keadaan seperti itu.

"Kau benar-benar semakin tidak punya sopan santun." sindir Dean tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari dokumen-dokumen yang ada diatas mejanya.

"Persetan. Dean apa tadi malam kau pulang?" Dion menyimpan kedua tangannya di atas meja kerja kakaknya.

"Menurutmu?" Dean sekilas melihat kearah Dion.

"Ibu datang ke kantorku dan dia memarahiku habis-habisan karena aku lupa pulang."

"Urusannya denganku?"

"Oke, bukan itu yang akan aku sampaikan. Ini tentang dirimu. Ayah akan menikahkan mu?" tanya Dion yang mulai serius.

"Apa itu yang ibu katakan padamu?" Dean kembali bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dion yang sebelumnya.

"Ya. Sepertinya ayah sudah punya pilihan. Maksudku, kita semua bahkan tidak tahu kau menyukai perempuan yang mana." Dion membawa dirinya untuk duduk.

"Apa karena alasan itu hingga membawamu kemari dengan tergesa-gesa begini?" Dean kemudian berjalan kearah Dion.

"Kau tahu, aku hanya tak mau kau berakhir dengan orang yang tidak kau cintai. Setidaknya kau harus merasakan jika jatuh cinta itu menyenangkan." Dion menatap Dean.

"Kau pernah jatuh cinta? Setahuku kau hanya bermain-main dengan tubuh mereka." Dean tersenyum miring.

"Aku? tidak lagi, sekarang aku mencintai kekasihku." jawab Dion dengan serius.

"Wohooo, seorang Dion Smith menjalin hubungan serius? Kurasa aku harus memeriksakan telingaku." Dean terkekeh menyindir.

"Aku serius. Dia sangat manis, setiap kali aku berada di dekatnya aku tidak bisa berhenti tersenyum. Dia bukan tipeku tapi dia mampu menghangatkan hatiku. Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya lebih jauh namun dia justru mampu membuatku berhenti meniduri perempuan-perempuan jalang itu. Dia itu benar-benar sudah membuatku gila." Dion terkekeh diakhir kalimatnya.

Dean memutar bola matanya. Dia tidak membantah perkataan adiknya. Namun tiba-tiba pikirannya menerawang pada masa-masa yang telah dia lalui. Jika dipikir-pikir lagi dia memang tidak pernah tertarik atau tergoda dengan yang namanya perempuan manapun. Padahal lingkungannya selama ini dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang visualnya dan kekayaannya tidak terbantahkan.

Tapi beberapa hari lalu, dia tiba-tiba saja tertarik dengan seorang perempuan yang dia katakan sangat bar-bar, namun perempuan dengan lesung pipi itu mampu membuatnya Dean setidaknya mau memperhatikan dia cukup lama.

Dean tersenyum miring. Sepertinya dia akan sedikit menguji perkataan Dion tentang jatuh cinta.

- TBC -

With Love : Nhana

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status