"Berlutut!"
Suara itu terdengar begitu tegas dan tidak terbantahkan. Erik berdiri dengan jarak tiga meter dari tempat Starla berdiri. Mata Starla bergerak untuk menatap pria itu dan langsung dapat menangkap sosok pria bertubuh tegap dengan iris mata abu-abu tengah menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca.
Sungguh, jika mampu, Starla ingin menolak perintah tersebut. Namun tubuhnya justru berkata lain. Selalu begitu.
"Berlutut di atas kedua lututmu!" tegas Erik lagi. Suaranya berat menusuk hingga terasa merasuk dalam kulit. Dan saat itu juga, Starla melakukan apa yang pria itu mau.
"Good girl," katanya terdengar puas.
Starla tidak akan berbohong jika ada rasa senang tersendiri setiap mendengar Erik berkata demikian.
"Aku tidak ingin kau menatapku, Starla. Turunkan pandanganmu ke lantai, sekarang!"
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kalimat protes, Starla langsung menurut. Ia menunduk, menatap lantai dengan motif kayu yang mengkilat bersih.
"Good," puji Erik, lagi-lagi terdengar puas.
Melalui lirikan mata, Starla dapat melihat kaki telanjang Erik yang perlahan tengah melangkah ke arahnya. Kediaman dan keheningan yang terjadi di antara mereka membuat Starla sempat menahan napas. Perempuan itu mencoba menerka-nerka apa yang mungkin akan Erik lakukan selanjutnya.
"Kau tau apa kesalahanmu?" Erik menyentuh puncak kepala Starla, lalu mengelus ringan rambut hitam panjang sepunggungnya.
"Apa?" tanya Starla sedikit serak. Kedua matanya reflek memejam karena rasa nyaman yang ia dapatkan dari belaian Erik di kepalanya.
Starla sepenuhnya sadar jika tubuhnya selalu memberikan respon penuh terhadap apapun yang Erik perintahkan dan sedang lakukan padanya. Ia tidak dapat menjelaskan kenapa bisa seperti itu tetapi satu hal yang ia tau, bahwa semua terasa begitu pas.
Suara Erik begitu memikat hingga ia tidak bisa membantah. Tatapan Erik begitu menarik perhatian Starla. Dan ... sentuhan Erik ... pria itu menyentuhnya dengan berbagai cara yang ia tidak pernah rasakan pada pria manapun yang pernah ia jumpai dalam hidup. Kadang lembut, kadang kasar. Semua tergantung pada situasi mereka berdua.
"Apa apa, Starla?" desisnya tajam. Elusan yang tadinya lembut berhenti dan berganti dengan sebuah jambakan kuat pada rambut Starla, membuat Starla mendongak hingga menatap mata Erik yang selalu bisa menghanyutkannya.
"Apa, Master Erik?" koreksi Starla segera setengah tanpa sadar.
"Kau akan mendapat hukuman karena itu," kata Erik sembari melepas jambakannya.
Tak bisa dipungkiri, kata 'hukuman' yang keluar dari bibir Erik membuat sesuatu dalam diri Starla bergejolak. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat karena mulai membayangkan beberapa hal yang terlihat menyeramkan namun mampu membuat gairah Starla bangkit dengan cepat.
Mungkin Starla memang sudah gila.
"Peraturan nomor lima. Seorang slave tidak diijinkan untuk berbicara pada siapapun kecuali Master mengijinkan." Erik kembali berbicara. Ia membacakan salah satu dari beberapa peraturan yang ia berikan pada Starla sejak hari pertama ia membeli dan membawanya ke rumah.
"Maafkan aku, Master Erik."
"Dalam satu hari ini kau sudah membuat tiga kesalahan. Apakah aku benar?" tanya Erik penuh penekanan.
"Ya, Master Erik," benar Starla.
"Bagus.
Sekarang sebutkan apa saja kesalahanmu." Erik kembali mengelus rambut Starla, dan Starla menghirup napas dalam-dalam sebelum menjawab."Pertama, aku keluar rumah tanpa ijin darimu. Kedua, aku berbicara dengan orang asing. Dan ketiga, aku tidak memanggilmu dengan nama yang tepat," sebut Starla satu persatu. Saat itu Starla bisa merasakan jika Erik sedang tersenyum.
"Sekarang berdiri," perintah Erik.
Dan Starla pun berdiri.
Erik mundur beberapa langkah hingga ia bisa bebas memandang tubuh telanjang Starla.
Starla langsung menunduk karena malu. Wajahnya memerah dan kedua tangannya mulai bergerak untuk menutupi payudara dan intinya.
"Jangan coba-coba menutupinya dariku, bitch. Aku ingin kau berdiri tegak dan menatapku!" seru Erik tegas.
Mau tidak mau, Starla pun menurut. Ia menghirup napas dalam sebelum menatap gugup ke arah Erik. Kala pria itu memberikan senyum tipis yang menenangkan, Starla mengeluarkan napas. Perlahan, ia pun mulai bisa rileks.
Iris mata abu-abu Erik mulai menjelajah tubuh Starla. Begitu intens dan dalam, sehingga Starla tidak dapat mengontrol debaran di dadanya yang setiap detik semakin kencang. Rasa gugup itu kembali dan terasa semakin kuat. Terlebih saat Erik mulai berjalan mengelilingi tubuhnya. Starla mulai merasa napasnya memburu.
"Kau terlihat begitu ... indah," ucap Erik setelah kembali lagi ke depan Starla. Tatapan penuh kekaguman memancar dari kedua matanya. Oh, hanya dengan tatapan seperti itu, Starla hampir bisa merasakan sentuhan tangan Erik tanpa menyentuhnya secara nyata.
"Sekarang kau akan mendapatkan hukuman yang pantas untukmu. Berbalik, membungkuk ke depan dan berpeganganlah pada meja di depanmu."
Perintah Erik sangat jelas. Starla menurut tanpa bertanya. Sejenak, ia memejamkan mata karena tau bahwa Erik akan memulai hukuman yang ia janjikan. Dan Starla tidak jenis hukuman apakah itu.
Yang jelas, apapun yang akan Erik lakukan padanya, telah berhasil membuat seluruh saraf sensitif Starla bangkit. Menginginkan sentuhan dan belaian dari pemiliknya. Erik.
"Kau siap?" tanya Erik setengah serak.
Starla menggigit bibir lalu mengangguk. Saat ia merasakan sebuah sentuhan tangan yang kuat pada kedua bokongnya, Starla mengerang kecil. Oh, kenapa hanya dengan sedikit sentuhan saja aku sudah merasa ingin meledak? teriak Starla dalam hati.
"Dan aku ingin kau mengitung sampai 30. Jelas?"
Tepat saat itu, suara keras menggema di ruangan ini. Tidak ada jalan kembali untuk Starla karena hukuman telah dijalankan. Sang Master telah meminta budaknya untuk ia kuasai secara penuh.
* * *
Hai, pembaca OBSESSED. Perlu kalian tau jika aku membuat cerita ini hanya untuk kalangan di usia 25 tahun ke atas.
(Sudah aku tag dan rate 25 tahun alias mature konten!)
Alasannya?
Karena ini sudah menyangkut kisah yang lebih dari lifestyle.
Bacaan ini juga diperuntukkan bagi kalian yang OPEN MINDED! Jadi jangan bawa-bawa agama ya.
Lalu jika usia kalian masih di bawah 25 tahun, aku harap kalian mengerti dan berhenti coba-coba membaca. Menurut pendapatku, akan lebih baik jika kalian mengenal vanilla relationship terlebih dahulu sebelum membaca cerita ini.
Just in case, aku hanya tidak ingin meracuni otak polos kalian.
Jika kalian bisa menjalani hidup yang normal dan memang sudah mencintainya, kenapa harus memilih yang ekstrem, benar kan?
So here we are ...
Selamat datang pada para pembaca dewasa,
Selamat datang pada para pecinta BDSM.
"Ke mana saja kamu baru pulang sekarang?"Suara bariton seorang pria mengejutkan Starla tepat saat ia masuk mengendap-endap ke dalam rumah. Starla meneguk saliva kasar. Tadi dia pikir, ini masih terlalu pagi bagi pria itu untuk bangun. Lagipula ni masih jam 3 dini hari.
"Kamu menguping pembicaraan Ayah?" desis Darma, rahangnya mengetat keras.Starla diam tidak menjawab. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan Darma dengan Pak Danu, atasan Darma yang terjadi melalui telpon. Tapi saat itu, Starla baru pulang kerja. Seperti biasa, gadis itu akan mencari Darma untuk memberitahukan bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi yang didapati oleh Starla justru pembicaraan itu.
NOTE : Maafkan aku yang salah-salah dalam memasukkan nama tokoh. Jadi di Bab awal aku memasukkan nama Gading, bab kedua aku masukin nama Gilang dan bab ketiga ini aku memutuskan (sumpah, nggak nyadar aku salah masukin nama wkwkwk) memberi nama yang lebih simple.B I M ADi antara kalian, ada yang namanya Bima? Kalau ada jangan angkat tangan, sembunyi saja hihihi...Happy Reading!***
Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. K epalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang menit ke menit dan Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit."Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air kapan saja."Iya, Pak.""Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya karena ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.Starla menghela napas. Ia melirik arloji lalu merogoh t
Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata. Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.Kecewa? Tentu saja. Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.Starla menunduk lelah. Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi? Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi. Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.Entah sudah berapa lama Starla menangis, hingga tanpa sadar ia sudah jatuh tertidur dengan posisi duduk menekuk lutut
Wahai pembaca yang budiman, part ini mengandung kekerasan dan adegan dewasa. Bagi kalian yang benar-benar masih di bawah umur dan tidak menyukai segala bentuk kekerasan apapun, jangan baca.Happy Reading!* * *"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla, membuat gadis itu mendongak. Lion pun mendekatkan wajah hingga Starla mampu mencium bau asap rokok dari napas yang keluar dari hidung Lion."Kau pikir aku tertarik dengan uangmu?" bisik Lion. Sementara satu tangan yang lain bergerak, menelusuri kancing dress piyama berbahan satin yang Starla pakai. Lion menyeringai. "... Aku hanya mau tubuhmu."Starla refleks mendorong Lion hingga pria itu jatuh tepat di atas meja. Gadis itu berdiri, lalu segera berlari menuju pintu terdekat.Pintu keluar. Starla harus segera minta tolong.Namun, baru saja ia membuka pintu tersebut, dua orang pria menghadang di sana. Starla tersentak dan mund
Pagi ini menjadi sangat berbeda bagi Starla. Dalam semalam saja kehidupannya sudah berubah 180 derajat. Jika biasanya di jam ini Starla sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap berangkat, kali ini gadis tersebut sedang meringkuk lemah dibalik selimut tebal yang dia tarik dengan sisa tenaganya.Pandangan Starla kosong, menatap tirai putih jendela yang masih tertutup tirai berwarna putih. Matanya terasa panas dan bengkak karena semalaman menangis. Mungkin baru beberapa jam yang lalu air mata itu berhenti dan berubah menjadi sebuah tatapan tak berarti. Starla, meskipun dia merasa kepalanya mulai berdenyut karena tidak bisa tidur, masih berusaha tetap sadar.Suara-suara keributan dari luar kamar tidak mengusik Starla sama sekali. Dia justru mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Starla mencoba memejamkan mata, namun baru beberapa detik, suara pintu kamar sudah terbuka.Starla sama sekali tidak peduli siapa yang sedang masuk. Apapun yang akan terja
Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip. Di batas kehancurannya, dia mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus kemana lagi?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," put