"Ke mana saja kamu baru pulang sekarang?"
Suara bariton seorang pria mengejutkan Starla tepat saat ia masuk mengendap-endap ke dalam rumah. Starla meneguk saliva kasar. Tadi dia pikir, ini masih terlalu pagi bagi pria itu untuk bangun. Lagipula ni masih jam 3 dini hari.
"A...yah belum tidur?" tanya Starla terbata. Lampu ruang tengah masih mati sehingga menyebabkan Starla sedikit kesulitan mencari sosok pria dengan rambut hitam yang sudah mulai beruban. Ada di mana dia?
Pertanyaan Starla terjawab tidak lama kemudian karena lampu tiba-tiba menyala. Mata gadis itu menyipit dan ia pun mendapati Darma berdiri di depan saklar lampu. Pria yang hampir berusia 50 tahun tersebut memakai piyama tidur, matanya melotot tajam ke arah Starla sementara bibirnya merengut tipis.
"Jawab pertanyaan Ayah, dari mana kamu jam segini baru pulang?" desis Darma tajam.
Menunduk, Starla mencengkeram kuat-kuat tas kulit berwarna hitam pemberian dari Bima, pacarnya. Perlahan-lahan, rasa marah yang beberapa jam lalu menggelayut dalam hati berubah menjadi rasa bersalah luar biasa.
"Starla..."
"Maafkan Starla, Ayah," gumam gadis berambut hitam lurus sepinggang itu tanpa berani menatap Darma. Membayangkan apa yang baru saja ia lakukan membuat Starla takut dan ingin menangis. Jika Ayah tau, dia pasti akan sangat marah, pikirnya dalam hati.
"Kamu pergi bersama Bima lagi?"
Mendengar nama lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 3 tahun membuat Starla terpancing. Bima, adalah pria yang berumur 2 tahun lebih tua darinya. Mereka bertemu 3 tahun yang lalu saat jasa Bima sebagai seorang fotografer disewa oleh sebuah perusahaan penerbitan. Saat itu Bima mendampingi seorang reporter majalah bisnis untuk melakukan wawancara dengan manajer di perusahaan tempat Starla bekerja.
Kisah Starla dan Bima mungkin akan terdengar sangat klise seperti kisah romantis yang lain. Sebab mereka berkenalan saat Starla tidak sengaja menabrak Bima yang sedang melintas. Starla yang saat itu membawa dua gelas kopi harus menerima nasib buruk. Cairan berwarna hitam itu tumpah, menyebabkan bajunya basah. Bima cepat-cepat meminta maaf dan meminjamkan jaket yang ia pakai untuk menutupi dalaman yang tercetak jelas dari luar. Maklum saja saat itu Starla memakai kemeja berwarna putih dan bra berwarna merah. Starla mengucapkan terima kasih, meminta nomornya dengan tujuan jika nanti ia sudah mencuci jaket yang Bima pinjamkan, dia bisa segera mengembalikannya pada pria itu.
Hubungan mereka berubah menjadi sangat dekat dalam waktu yang cepat. Bima sering mengirim pesan pendek, menyapa di setiap pagi hari, mengingatkan untuk makan dan masih banyak lali. Terkadang dia juga mengirimi berbagai lelucon atau anime yang mampu membuat Starla tertawa terpingkal-pingkal.
Perhatian Bima yang semakin lama semakin besar mampu menyentuh hati Starla. Gadis itu tidak terkejut menjumpai diri yang akhirnya selalu menunggu sebuah pesan dari pria berambut gondrong itu dan mendapati bibir selalu terkembang setiap mengingat namanya. Terlebih, mereka sering bertemu saat pulang bekerja. Bima sering mengantar Starla pulang dengan alasan ia tidak ingin gadis berpipi tembam itu kelelahan setelah seharian bergelut dengan pekerjaan. Padahal menurut Starla pribadi, pekerjaannya tidak terlalu berat, hanya menyusun laporan keuangan dan lain sebagainya.
Lalu setelah tiga bulan masa pendekatan, mereka pun memutuskan untuk jadian.
"Iya...," jawab Starla lirih.
Terdengar helaan napas berat dari seberang. Darma memang tidak menyukai Bima sejak dulu. Starla tidak pernah tau alasannya karena ayahnya tidak pernah memberitahu dengan jelas. Apakah mungkin karena rambut gondrongnya yang disemir merah? Atau mungkin karena penampilannya yang lebih mirip preman dari pada seorang cowok baik-baik? Tapi, bukankah kita tidak bisa membandingkan penampilan seseorang dengan kepribadiannya?
"Lalu? Ke mana saja dia membawa pergi seorang anak gadis yang masih perawan sampai jam segini?"
Saat mendengar pertanyaan Darma itu, remasan tangan Starla pada tas kulit hitam yang menggantung di pundaknya semakin mengetat. Ia menggigit bibir dan mata Starla mulai memburam karena berkaca-kaca. Jika saja ayahnya tau bahwa dia baru saja memberikan keperawanannya itu pada Bima...
"Starla, jawab Ayah!" seru Darma mulai tak sabar. Ia berjalan ke arah putri semata wayangnya sementara Starla semakin menunduk takut. Dia tidak siap menjawab pertanyaan Darma.
"Apa ini?!" Darma tiba-tiba menarik tangan Starla dan mengangkat kepalanya hingga mendongak. Dia membuat kepala Starla miring ke kiri dan mengamati leher gadis itu. "Apa ini, Starla?"
Stala mengerjab tidak mengerti. Apa maksud Ayah?
Semakin tidak sabar dan gusar, Darma menarik Starla, memaksa untuk mengikutinya masuk ke dalam kamar bernuansa biru muda. Kamar gadis itu.
"Coba lihat ini!" perintah Darma tepat di depan sebuah cermin meja rias.
Starla mengikuti perintah Darma dan terkesiap menjumpai bercak merah di leher. Refleks saja tangannya mulai menggosok. Awalnya pelan lalu semakin cepat. Sia-sia saja. Bukannya hilang, leher Starla malah semakin merah.
"Starla, jelaskan pada Ayah apa yang sudah Bima lakukan sama kamu?" Lagi-lagi Darma bertanya. Nadanya terdengar menuntut. Dan rasa takut pun kembali memenuhi diri Starla.
"I-itu..."
"Jangan bertele-tele!"
"Ayah..." Starla pun mendapati diri sudah menangis. Di dalam tangisan dia berharap jika Darma setidaknya bisa sedikit luluh dan meninggalkannya sendiri di kamar. Agar Ayah tidak memaksanya untuk bercerita. Namun percuma saja, Darma adalah seorang pria yang tegas dalam mendidik. Darma adalah seorang yang jujur dan mempunyai komitmen yang tinggi dalam hidup. Ia selalu disiplin, menjunjung tinggi budaya dan berwatak keras. Karena itulah, Darma tetap ada di dalam kamar putrinya, menunggu sampai Starla selesai menangis.
Setelah kira-kira satu jam lamanya Starla menangis, matanya mulai merasa panas. Starla yakin matanya sudah membengkak merah. Suaranya pun sudah menjadi serak, dan tubuhnya mulai merasa lemas.
Darma masih di sana, duduk di atas kasur dan menunggu tanpa bergeming sedikit pun. Starla sadar jika akhirnya dia tidak bisa menghindar.
"Aku..."
Tuhan, harus mulai dari mana aku menjelaskan semuanya pada Ayah?
Menggigit bibir, takut-takut Starla melihat Darma. Wajah tua orang tua satu-satunya itu terlihat sedikit lelah, membuat Starla semakin jatuh dalam perasaan dosa. Tapi jika dia tidak mulai berbicara, Darma tidak akan pergi dari sini.
"Aku... dan Bima... Kami... Bima menciumku," jelas Starla pada akhirnya dengan terbata.
Hening.
Darma tidak mengatakan apapun selama beberapa menit lamanya.
"Hanya itu?"
Starla mengangguk cepat. Biarlah dia berbohong. Starla hanya tidak ingin membuat Darma marah atau merasa kecewa padanya.
Menatap cukup lama, Darma pun bersuara lagi.
"Kamu tidur sama dia?"
Deg!
Bagaikan ada petir menyambar, jantung Starla berdebum kencang. Tanpa sadar Starla sudah menunduk dan lagi-lagi ingin menangis. Kelemahan terbesar Starla adalah ia tidak bisa berbohong terutama pada Darma.
"Jawab Ayah, Starla. Kamu tidur sama dia?" tekan Darma di setiap katanya. "Katakan yang sejujurnya karena kamu tau Ayah tidak suka segala jenis kebohongan," lanjutnya.
Dengan berat, Starla pun mengangguk jujur. Matanya terpejam karena takut. Kedua tangannya meremas ujung pakaian yang dia pakai.
"KAMU GILA??!! KAMU SUDAH TIDAK WARAS LAGI? KAMU DAN BIMA ITU BELUM MENIKAH TAPI KALIAN SUDAH BERANI TIDUR BERSAMA?!"
Sesuai dugaan, Darma marah besar. Starla kembali menangis.
"Maafkan Starla, Ayah... Maaf... Starla nggak bermaksud untuk ...,"
"Lalu apa maksud kamu, hah?!" sela Ayah cepat. "Apapun itu, kamu sudah mengecewakan Ayah! Apa begini cara Ayah mendidik kamu? Untuk menjadi perempuan murahan? Kamu mau jadi pelacur?!"
Mata Starla membulat, ia menggeleng cepat. "Nggak, Ayah... Starla cuma..."
"Lalu kenapa kamu tidur dengan laki-laki yang bukan suami kamu?!" bentaknya menyela ucapan Starla.
Menyeka air mata cepat, Starla pun memberanikan diri menatap wajah Darma. Hatinya sakit melihat raut wajah pria itu yang tampak terluka karena perbuatan bodoh Starla. Tapi Starla bisa apa? Nasi sudah menjadi bubur. Apapun yang sudah ia perbuat harus ia tanggung jawabkan.
"Kau merusak kepercayaan Ayah sama kamu!"
Kalimat itu menghancurkan hati Starla. Menusuk dalam jantung hingga rasanya Starla susah bernapas. Kalimat itu sudah menjelaskan dengan jelas betapa ia sudah sangat mengecewakan Darma. Ia gagal menjadi putri yang baik dan bisa membanggakan.
Namun, jika ia mengingat kejadian kemarin, ia kembali marah. Di sini, bukan hanya Darma yang kecewa. Starla juga sangat kecewa pada Ayahnya. Oleh sebab itulah ia melakukan hal bodoh ini tanpa pikir panjang. Menyerahkan kesucian yang harus ia jaga untuk suaminya di masa depan. Setidaknya, itulah didikan Darma selama ini.
"Ayah mau tau alasan kenapa aku melakukan ini?" tanya Starla serak, menekan rasa sakit di hatinya jauh ke dalam. Ia menatap Darma.
" .... Karena Ayah menjodohkan aku dengan Pak Danu. Bos ayah yang sudah mempunyai tiga orang istri!"
***
Hai, hai, hai...
Bagaimana dengan bab satu ini? Berikan review kalian ya, agar cerita saya lebih berkembang di selanjutnya. Terima kasih!
"Kamu menguping pembicaraan Ayah?" desis Darma, rahangnya mengetat keras.Starla diam tidak menjawab. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan Darma dengan Pak Danu, atasan Darma yang terjadi melalui telpon. Tapi saat itu, Starla baru pulang kerja. Seperti biasa, gadis itu akan mencari Darma untuk memberitahukan bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi yang didapati oleh Starla justru pembicaraan itu.
NOTE : Maafkan aku yang salah-salah dalam memasukkan nama tokoh. Jadi di Bab awal aku memasukkan nama Gading, bab kedua aku masukin nama Gilang dan bab ketiga ini aku memutuskan (sumpah, nggak nyadar aku salah masukin nama wkwkwk) memberi nama yang lebih simple.B I M ADi antara kalian, ada yang namanya Bima? Kalau ada jangan angkat tangan, sembunyi saja hihihi...Happy Reading!***
Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. K epalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang menit ke menit dan Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit."Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air kapan saja."Iya, Pak.""Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya karena ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.Starla menghela napas. Ia melirik arloji lalu merogoh t
Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata. Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.Kecewa? Tentu saja. Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.Starla menunduk lelah. Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi? Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi. Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.Entah sudah berapa lama Starla menangis, hingga tanpa sadar ia sudah jatuh tertidur dengan posisi duduk menekuk lutut
Wahai pembaca yang budiman, part ini mengandung kekerasan dan adegan dewasa. Bagi kalian yang benar-benar masih di bawah umur dan tidak menyukai segala bentuk kekerasan apapun, jangan baca.Happy Reading!* * *"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla, membuat gadis itu mendongak. Lion pun mendekatkan wajah hingga Starla mampu mencium bau asap rokok dari napas yang keluar dari hidung Lion."Kau pikir aku tertarik dengan uangmu?" bisik Lion. Sementara satu tangan yang lain bergerak, menelusuri kancing dress piyama berbahan satin yang Starla pakai. Lion menyeringai. "... Aku hanya mau tubuhmu."Starla refleks mendorong Lion hingga pria itu jatuh tepat di atas meja. Gadis itu berdiri, lalu segera berlari menuju pintu terdekat.Pintu keluar. Starla harus segera minta tolong.Namun, baru saja ia membuka pintu tersebut, dua orang pria menghadang di sana. Starla tersentak dan mund
Pagi ini menjadi sangat berbeda bagi Starla. Dalam semalam saja kehidupannya sudah berubah 180 derajat. Jika biasanya di jam ini Starla sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap berangkat, kali ini gadis tersebut sedang meringkuk lemah dibalik selimut tebal yang dia tarik dengan sisa tenaganya.Pandangan Starla kosong, menatap tirai putih jendela yang masih tertutup tirai berwarna putih. Matanya terasa panas dan bengkak karena semalaman menangis. Mungkin baru beberapa jam yang lalu air mata itu berhenti dan berubah menjadi sebuah tatapan tak berarti. Starla, meskipun dia merasa kepalanya mulai berdenyut karena tidak bisa tidur, masih berusaha tetap sadar.Suara-suara keributan dari luar kamar tidak mengusik Starla sama sekali. Dia justru mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Starla mencoba memejamkan mata, namun baru beberapa detik, suara pintu kamar sudah terbuka.Starla sama sekali tidak peduli siapa yang sedang masuk. Apapun yang akan terja
Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip. Di batas kehancurannya, dia mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus kemana lagi?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," put
Semua terlambat, saat Starla menyadari bahwa itu bukanlah mobil abang grab yang dia pesan. Gadis itu otomatis melepaskan pegangannya pada koper dan berbalik untuk berlari. Perasaan takut muncul begitu saja kala melihat pria tua itu.Namun, tepat saat itu juga tangannya sudah dicekal dengan cepat. "Kamu pikir kamu mau lari ke mana jalang kecil?"Starla memberontak, berusaha melepas tangannya. Dia mulai berteriak tapi Lion dengan cepat menamparnya keras sampai pandangan Starla terasa berkunang-kunang."Apa yang kamu lakukan?! Lepasin dia!" teriak Bima murka, dia tidak terima pada perlakuan kasar Lion pada Starla."Aku? AKu hanya akan membawa wanita ini bersamaku," jawab Lion santai. Dia tersenyum miring menatap Lion yang berusaha menerobos dua preman yang dia bawa untuk melindunginya."Nggak! Lepasin Starla! Perjanjian kita batal! Aku nggak mau kamu bawa dia, bajingan!" seru Bima."Aku bajingan? Haha! Kamu pikir siapa yang menjual kekasihnya u