Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. K epalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang menit ke menit dan Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit.
"Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air kapan saja.
"Iya, Pak."
"Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya karena ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.
Starla menghela napas. Ia melirik arloji lalu merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Starla mencoba menghubungi nomor Bima namun hanya suara operator seluler yang ia dengar.
Bima... kamu di mana, sih?
"Atau Neng masuk aja ke dalam pos sana! Nanti sakit lho!" Pak Tarjo lagi-lagi memberi tawaran.
"Makasih, Pak. Kayaknya aku pulang aja, deh," senyum Starla.
"Nggak jadi nunggu jemputan?"
Starla menggeleng. "Mungkin yang jemput lagi nggak bisa, Pak."
"Oh. oke. Hati-hati, Neng!"
Starla mengiyakan saja lalu segera meninggalkan pintu gerbang perusahaan. Ia berjalan cepat menuju halte terdekat yang ada, namun baru setengah jalan hujan sudah turun dengan lebat. Mau tidak mau, Starla pun berlari agar segera sampai ke halte dan bisa berteduh.
Sesampainya di halte, Starla mengibaskan rambutnya yang sudah setengah basah, juga mengusap pada seluruh badan agar lebih kering. Angin yang bertiup semakin kencang membuat bibir Starla bergemeletuk. Ia memeluk tubuh, berharap agar bis segera datang. Starla ingin cepat sampai rumah dan ganti baju hangat.
Doa Starla terkabul dengan cepat karena sebuah bis berwarna biru berhenti tak lama kemudian. Starla pun segera masuk dan semakin menggigil kala AC menyambutnya dari dalam bis.
Starla mengambil tempat duduk di dekat jendela. Ia mendesah lega setelah menyamankan diri duduk di atas kursi. Sembari terus memeluk dirinya demi mengurangi rasa dingin, kepalanya menatap pada jalan raya. Hujan benar-benar turun dengan deras.
Cukup lama Starla menatap ke luar jendela hingga rasa kantuk menyergap. Mata Starla sudah siap terpejam saat bis berhenti karena ada salah satu penumpang yang turun. Tapi bersamaan dengan hal itu juga Starla menangkap sosok pria yang sangat ia kenal. Pria itu menyeberangi jalan sembari membawa payung dan kantung plastik putih yang entah berisi apa.
Bukankah itu Bima?
Demi memastikan, Starla menyipitkan mata. Tinggi, postur, siluet, cara berjalan atau apapun itu benar-benar mirip Bima. Jadi Starla menyimpulkan dengan cepat bahwa pria yang ia lihat memang sungguh-sungguh Bima.
Tapi kenapa ia ada di sini?
Starla bingung, dan semakin bingung saat melihat Bima berjalan di trotoar dengan tergesa menuju arah sebaliknya dari rumah.
Bis akan kembali berjalan membuat Starla tersentak. Buru-buru ia bangun dan menekan tombol di sebelah kiri agar supir bis menghentikan laju.
"Kenapa nggak dari tadi?" Supir bis itu tampak sedikit kesal dan Starla mengabaikannya saja. Ia mengeluarkan uang lima ribu dua lembar dan menyerahkannya pada supir bis. Tanpa menagatakan sepatah katapun, Starla segera turun. Tak peduli lagi dengan air hujan yang masih mengguyur cukup deras.
Starla menyeberang jalan dengan cepat, sesekali berteriak memanggil nama Bima yang semakin jauh dari pandangannya. Gadis itu tidak menyerah, ia berlari cepat untuk menyusul pria itu. Dihiraukannya pakaiannya yang sudah basah kuyup.
"BIMA!!" Starla berteriak mengalahkan air hujan. Sia-sia saja, Bima terus beralan tanpa menoleh.
Hingga saat Bima masuk ke sebuah bangunan berlantai dua, kaki Starla berhenti. Ia mengerjab, menoleh demi membaca ulang tulisan dari lampu yang bersinar terang di sisi kiri bangunan.
M O T E L
Perasaan Starla jadi tidak enak. Sekali lagi menatap bangunan berlantai dua tersebut. Untuk apa Bima datang ke tempat ini?
Starla tau jika ia ingin jawaban maka ia harus mencarinya. Starla pun segera masuk ke dalam tempat itu.
Dengan baju basah kuyup, Starla menuju meja resepsionis. Di sana ada seorang wanita gemuk paruh baya yang sedang menonton TV sembari memakan keripik kentang.
"Oh, hai, selamat datang di motel kami!" sapanya begitu melihat Starla. "Mau pesan kamar untuk berapa malam?" Wanita itu berdiri, sedikit kesusahan karena berat badannya yang berlebih. Ia membuka buku tamu siap mencatat sebuah nama.
"Bisa tunjukkan KTP kamu?"
Starla mengangguk. Cepat-cepat merogoh tas dan mengambil dompet yang masih kering karena tasnya merupakan tas kulit dan tahan air.
"Biaya sewa satu malam 250 ribu," terangnya tanpa basa-basi. Ia mengembalikan KTP Starla setelah selesai mencatat dalam buku tamu. "Kamu bisa bayar lebih 100 ribu dan aku bakal ngasih kamu baju kering," tawarnya setelah melihat penampilan Starla yang memprihatinkan.
Starla hanya mengangguk, mengambil dompet dan membayar sebanyak 350 ribu.
"Tunggu sebentar," tukas wanita itu berlalu setelah mengambil uang pembayaran dari Starla. Tak lama kemudian ia sudah kembali dan membawa satu set pakaian kering, juga sebuah handuk kecil.
"Aku tadi nggak bilang ukuran ini cocok dengan kamu, okay? Jadi dilarang protes," tukasnya sembari menyerahkan pakaian yang ia bawa. Semua itu adalah baju bekas milik putrinya yang sudah menikah, jadi tidak masalah ia memberikannya pada orang lain.
Starla menerimanya tanpa banyak bicara. Ia juga mengambil kunci yang diserahkan oleh wanita itu.
Baru saja berbalik untuk mencari kamarnya, Starla kembali menghadap wanita itu. Dalam keraguannya, Starla memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa... ada cowok bernama Bima yang juga menginap di sini?" tanya Starla.
"Bima?" Wanita itu tampak berpikir sejenak. Matanya memicing curiga pada Starla. "Entahlah, aku nggak ingat," jawabnya mengindikkan bahu. "Tapi kalau kamu mau bayar 50 ribu mungkin aku bisa periksa buku tamu."
Starla tau ia sedang diperas, tapi untuk saat ini, mengetahui keberadaan Bima jauh lebih penting daripada apapun. Ia pun akhirnya mengeluarkan uang 50 ribu dan menyerahkannya pada wanita itu.
Wanita itu tersenyum puas.
"Oke, sebutkan ciri-cirinya," tukasnya.
"Dia tinggi, rambutnya panjang disemir merah, dan ... ah, dia baru masuk beberapa menit sebelum aku masuk ke sini."
"Oh, dia!" seru wanita itu. "Ada di lantai dua, kamar nomor 15," lanjutnya. "Tapi ... apa hubungan kamu sama dia?" Ia tampak kepo.
Starla hanya menggeleng tipis lalu segera mengucapkan terima kasih dan meninggalkan meja resepsionis. Ia pun menaiki lantai dua sembari terus bertanya-tanya dalam hati.
Untuk apa Bima ada di sini?
Berbagai pikiran buruk sempat melintas di otak Starla tapi ia segera mengenyahkannya. Ia yakin jika Bima tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Starla percaya pada kekasihnya itu.
Setelah mencari-cari nomor kamar 15, akhirnya Starla menemukannya. Ia berhenti tepat di depan pintu itu dan mendadak hatinya menjadi ragu. Benarkah yang sedang ia lakukan kini?
Perlahan, tangan Starla terangkat. Ia siap mengetuk pintu tersebut. Namun kala kepalan tangannya tinggal satu sentimeter, ia berhenti. Dengan cepat, tangannya meraih handle pintu dan membukanya. Starla sedikit terkejut karena pintu itu tidak terkunci.
Starla menyentakkan kepala, mengahadap depan. Lalu semua pakaian dan kunci kamar yang ia bawa jatuh ke lantai karena pemandangan yang ia lihat.
Ia tidak mungkin salah. Di sana ada Bima dan ia sedang mencumbu dan menindih tubuh seorang perempuan asing di atas kasur.
Bima yang mendengar suara aneh dari arah pintu menoleh dan terkejut melihat sosok Starla ada di sana. Buru-buru ia bangun dari kasur, diikuti perempuan asing tersebut. Meskipun mereka masih memakai baju lengkap, tapi baju tersebut sudah acak-acakan.
Starla menggelengkan kepala, kedua tangannya menutup mulut demi menahan isak tangis yang ingin keluar dari bibirnya. Hatinya terasa sakit melihat penghianatan Bima.
Sebenarnya apa yang salah? Dari mana? Dan sejak kapan Bima menusuknya dari belakang? Kenapa Starla tidak pernah tau hal ini sebelumnya? Berbagai pertanyaan langsung menyeruak da;am pikirannya, menambah rasa sakit bertubi-tubi di dadanya.
"Starla, aku bisa jelasin ini." Bima berjalan mendekat pada Starla, namun seiring Bima mendekat, Starla berjalan mundur menjauh.
"Starla... ini nggak seperti yang kamu-- Starla!!" Bima berteriak begitu Starla langsung berbalik dan berlari meninggalkannya. Ia sudah siap mengejar namun sebuah tangan lemah menahannya untuk pergi. Bima menoleh dan menatap wanita berwajah sayu.
"Kamu sudah berjanji, Bima... Jangan tinggalin aku. Aku takut."
Bima memejamkan mata, rahangnya mengeras. Tangannya pun terkepal kuat. Dalam hati ia sedang berteriak karena rasa bersalah yang luar biasa.
"Maafin aku... Starla."
Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata. Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.Kecewa? Tentu saja. Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.Starla menunduk lelah. Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi? Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi. Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.Entah sudah berapa lama Starla menangis, hingga tanpa sadar ia sudah jatuh tertidur dengan posisi duduk menekuk lutut
Wahai pembaca yang budiman, part ini mengandung kekerasan dan adegan dewasa. Bagi kalian yang benar-benar masih di bawah umur dan tidak menyukai segala bentuk kekerasan apapun, jangan baca.Happy Reading!* * *"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla, membuat gadis itu mendongak. Lion pun mendekatkan wajah hingga Starla mampu mencium bau asap rokok dari napas yang keluar dari hidung Lion."Kau pikir aku tertarik dengan uangmu?" bisik Lion. Sementara satu tangan yang lain bergerak, menelusuri kancing dress piyama berbahan satin yang Starla pakai. Lion menyeringai. "... Aku hanya mau tubuhmu."Starla refleks mendorong Lion hingga pria itu jatuh tepat di atas meja. Gadis itu berdiri, lalu segera berlari menuju pintu terdekat.Pintu keluar. Starla harus segera minta tolong.Namun, baru saja ia membuka pintu tersebut, dua orang pria menghadang di sana. Starla tersentak dan mund
Pagi ini menjadi sangat berbeda bagi Starla. Dalam semalam saja kehidupannya sudah berubah 180 derajat. Jika biasanya di jam ini Starla sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap berangkat, kali ini gadis tersebut sedang meringkuk lemah dibalik selimut tebal yang dia tarik dengan sisa tenaganya.Pandangan Starla kosong, menatap tirai putih jendela yang masih tertutup tirai berwarna putih. Matanya terasa panas dan bengkak karena semalaman menangis. Mungkin baru beberapa jam yang lalu air mata itu berhenti dan berubah menjadi sebuah tatapan tak berarti. Starla, meskipun dia merasa kepalanya mulai berdenyut karena tidak bisa tidur, masih berusaha tetap sadar.Suara-suara keributan dari luar kamar tidak mengusik Starla sama sekali. Dia justru mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Starla mencoba memejamkan mata, namun baru beberapa detik, suara pintu kamar sudah terbuka.Starla sama sekali tidak peduli siapa yang sedang masuk. Apapun yang akan terja
Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip. Di batas kehancurannya, dia mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus kemana lagi?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," put
Semua terlambat, saat Starla menyadari bahwa itu bukanlah mobil abang grab yang dia pesan. Gadis itu otomatis melepaskan pegangannya pada koper dan berbalik untuk berlari. Perasaan takut muncul begitu saja kala melihat pria tua itu.Namun, tepat saat itu juga tangannya sudah dicekal dengan cepat. "Kamu pikir kamu mau lari ke mana jalang kecil?"Starla memberontak, berusaha melepas tangannya. Dia mulai berteriak tapi Lion dengan cepat menamparnya keras sampai pandangan Starla terasa berkunang-kunang."Apa yang kamu lakukan?! Lepasin dia!" teriak Bima murka, dia tidak terima pada perlakuan kasar Lion pada Starla."Aku? AKu hanya akan membawa wanita ini bersamaku," jawab Lion santai. Dia tersenyum miring menatap Lion yang berusaha menerobos dua preman yang dia bawa untuk melindunginya."Nggak! Lepasin Starla! Perjanjian kita batal! Aku nggak mau kamu bawa dia, bajingan!" seru Bima."Aku bajingan? Haha! Kamu pikir siapa yang menjual kekasihnya u
"Kau yakin kau tak ingin mengobati lukamu?"Pertanyaan itu membuat Starla melirik sekilas pada sosok pria yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Cahaya temaram yang berasal dari lampu membuat gadis itu sempat menerka-nerka, kali ini pria seperti apa yang mengantarkan makanannya ke ruangan ini.Karena tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis yang tengah duduk di ranjang kecil sudut ruangan, membuat pria itu tersenyum tipis. Dia meletakkan makan malam Starla di atas meja kecil yang ada di sana.Sekilas, dia mengamati ruangan berukuran 3x3 meter tersebut. Tampak sangat menyedihkan dan suram. Bahkan dia pikir, akan lebih baik tidur di kamar para preman lantai satu. Setidaknya, kamar mereka lebih terang dan lebih lebar dari tempat ini.Tidak ada apapun di kamar Starla melainkan hanya sebuah ranjang lengkap dengan sebuah bantal dan selimut, dan meja kecil yang menempel di tembok. Tidak ada jendela dan sirkulasi udara yang cukup, melainkan hanya sebuah lu
Starla tidak tau sudah berapa lama dia berada di tempat ini, yang jelas cukup lama Lion tidak datang berkunjung untuk menyentuhnya dan itu membuat dia lega. Luka-luka lebam yang dia derita pun sudah berangsur membaik dan hampir hilang sama sekali. Salep yang selalu diberikan Xander ternyata sangat manjur untuk menyembuhkan dan menghilangkan bekas lebam di kulit putihnya.Terdiam dalam sunyi lampu temaram, rasanya sungguh membosankan. Starla rindu sinar terik matahari, rindu melihat bulan dan kemerlap bintang, suara klakson mobil dan bau asap motor, bahkan Starla rindu pada hembusan angin di bawah pohon.Menarik selimut karena tidak ingin membiarkan harapannya membumbung tinggi, Starla memejamkan mata. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya didobrak dengan keras dari luar, membuat Starla otomatis langsung duduk tegak."Starla!"Itu Xander. Dia berjalan cepat menghampirinya dan menarik tangan Starla hingga berdiri."Kita harus pergi dari sini segera,"
Setelah menjalani perjalanan laut selama kurang lebih satu hari lamanya, kapal berhenti di negara jiran. Xander mengajak Starla turun dari kapal dan menaiki sebuah taksi. Tanpa beristirahat, pria itu sudah mengajaknya ke bandara. Entah dengan cara apa pria itu bisa membawanya masuk ke dalam pesawat sebab Starla sama sekali tidak punya identitas maupun pasport."Ke mana kau akan membawaku pergi?" gumam Starla saat pesawat sudah terbang landas. Ini adalah kali pertama Starla naik pesawat dan rasanya benar-benar membuat tubuhnya menegang. Terlebih saat pesawat menukik terbang pertama kali, Starla sampai memejamkan mata karena gugup. Xander yang melihatnya menggelengkan kepala saja kemudian menggenggam tangan Starla untuk menenangkan."Kau takut?" bisik Xander."Tidak," jawab Starla berbohong. Dia membuang muka ke jendela dan melihat pesawat terus menaikkan ketinggian. Jantung Starla berpacu cepat."Kau tidak pandai berbohong.""Aku tidak berbohong!"