Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
The Lombok Lodge, satu hari yang lebih gerah dari musim panas di Amerika Pendingin ruangan dinyalakan, dan jendela tinggi dengan korden tertutup tak sempurna mengelilingi penginapan mewah di Pulau Lombok itu. Suhu di luar ruangan lebih hangat, sekitar 26℃, lebih hangat daripada musim panas yang ada di Amerika Serikat tepatnya di kota New York pada bulan Mei. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri ketakutan, aroma alkohol menyengat dari mulutnya, tapi meski begitu dia tidak mabuk sepenuhnya. Punggungnya yang tinggi menghimpit pada tembok, keringat mengucur di kening dan wajahnya. Tubuhnya bergetar karena sudah siap menemui ajalnya, jika perlu. “Siapa kau sebenarnya?” Suara lelaki itu – yang bernama Elang Wibisono– terdengar sangat putus asa dan tercekat. Seperti ada penahan di tenggorokannya, atau sebuah cekikan mematikan yang membuatnya tidak bisa bicara dengan normal. Tapi itu datang dari rasa takut yang memenuhi i
Suhu menjadi turun secara drastis, seolah berniat untuk membekukan Elang yang seperti sekarat di dalam ketakutannya sendiri. Buku jarinya sudah pucat, kulitnya apalagi. Pandangan matanya seperti linglung, deru napas tersendat dan hampir musnah. “Sial! Sial!” geram Elang dalam suara yang teramat lirih. Memaksakan pandangannya yang kabur karena terbenam air mata untuk mendongak tentu bukan perkara yang mudah bagi Elang, apalagi setelah tubuhnya bergetar dan dia mulai merasakan pening yang sangat di kepalanya. Layaknya sesuatu pernah menghantam kepalanya hingga membuatnya gagar otak. Melayang dan hampir tidak sadar adalah efek yang lain. “Jika kau tidak ingin menyakitiku lalu apa yang kau inginkan?” Suara Elang terdengar seperti cicitan tikus yang tengah sekarat, bersama tenggorokannya yang sudah serasa tersumpal oleh sesuatu, yakni ketakutannya sendiri. Bukan tipikal Elang menjadi pengecut dan
“Elang, menikahlah dengan istriku!”Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, k
Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, SurabayaDengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tida
Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs