Share

2. Elang, Menikahlah Dengan Istriku

Suhu menjadi turun secara drastis, seolah berniat untuk membekukan Elang yang seperti sekarat di dalam ketakutannya sendiri. Buku jarinya sudah pucat, kulitnya apalagi. Pandangan matanya seperti linglung, deru napas tersendat dan hampir musnah.

“Sial! Sial!” geram Elang dalam suara yang teramat lirih.

Memaksakan pandangannya yang kabur karena terbenam air mata untuk mendongak tentu bukan perkara yang mudah bagi Elang, apalagi setelah tubuhnya bergetar dan dia mulai merasakan pening yang sangat di kepalanya. Layaknya sesuatu pernah menghantam kepalanya hingga membuatnya gagar otak. Melayang dan hampir tidak sadar adalah efek yang lain.

“Jika kau tidak ingin menyakitiku lalu apa yang kau inginkan?” Suara Elang terdengar seperti cicitan tikus yang tengah sekarat, bersama tenggorokannya yang sudah serasa tersumpal oleh sesuatu, yakni ketakutannya sendiri.

Bukan tipikal Elang menjadi pengecut dan juga lemah seperti sekarang ini. Semasa hidup barunya yang dia lewati, Elang telah mengubah pribadinya dari sosok yang rapuh dan kurus menjadi sosok yang kuat dan digdaya. Dia memang anak dari Tuan Cakra Wibisono, tidak ada yang bisa mengingkari itu, dan tugas Elang adalah membuktikannya.

Tubuhnya sudah jauh lebih kekar daripada masa kecilnya, yang kurus seperti ranting pohon yang mudah patah hanya karena gesekan angin. Wajahnya yang pucat dan tidak terurus menjelma menjadi rupawan dan sangat cerah. Pasir, debu, kulit mati yang kasar, semuanya sudah bersih dari wajahnya di masa kini.

Tubuhnya juga menjulang, penuh nutrisi dari diet sehat yang selalu Elang lakukan. Olahraga tinju juga selalu menemaninya di pagi hari. Menguatkan buku jarinya adalah yang terpenting, agar para musuh tidak akan bisa melukainya, atau setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melukainya.

Dalam kondisi sadar penuh, yakni kala manusia bisa mendengar audiosonik sebesar 20Hz, Elang akan bisa menerjang semua musuh yang berjumlah sepuluh orang sekalipun. Dia akan menghajar mereka, memamerkan siapa itu pewaris tunggal dari Tuan Cakra Wibisono, sekaligus memberikan pembuktian bahwa dirinya telah tumbuh dengan baik.

Akan tetapi kondisinya kini tidak bisa dikata sehat, tidak bisa dibilang sadar. Audiosonik 20Hz sudah lewat dan gagal menembus gendang telinganya. Jadi kelemahan yang kekal sudah mengikat Elang dan gagal melindunginya dari marabahaya.

“Kau…apa kau suruhan dari ayahku?” Seperti orang yang sekarat. Elang gagal untuk bisa berdiri, napasnya juga sudah tak teratur.  Meski audiosonik 20Mz gagal dia dengar dengan baik, akan tetapi dia masih bisa mendengar  dentuman musik yang sayup berasal dari kejauhan. Mungkin itu musik kematian, walau sebenarnya tidak.

 “Apa dia membayarmu untuk ini?” Elang mencoba untuk bangkit. Tubuhnya yang tengkurap di atas lantai yang dingin menusuk kini harus segera terjaga. Dagunya yang menyentuh lantai seperti tertancap sudah mulai terangkat. Kedua tangannya yang seperti patah karena dipiting mulai meraba dataran agar mencari pijakan yang tepat.

Akan tetapi tubuhnya terasa sangat berat, terasa dipancang pada suatu tempat tak kasat mata. BRUKK! Elang ambruk lagi, dan dia mengumpat beberapa kali.

“Bunuh saja aku! Bunuh saja! Jika dia memang kecewa karena pelarianku maka kau bisa mengambil nyawaku sekarang. Apa bedanya dia membunuhku di sini atau di sana? Toh pada akhirnya aku akan mati juga di tangannya.” Elang seperti meringis seolah menahan hujaman di jantungnya sendiri padahal tidak ada orang yang tengah melukainya.

Mentalnya sedang rusak, dia pasti terserang depresi dalam waktu yang sangat lama.

Orang asing – yang dari suaranya adalah seorang lelaki – itu kini kembali mendekat. Cahaya bulan masih jatuh di atas sosoknya, memberikan satu bayangan memanjang layaknya patung paling mengerikan di dunia. Punggung lelaki itu agak bungkuk bersama sosoknya yang lebih mengerikan di mata Elang. Monster!

Dalam satu tarikan yang tiba-tiba terasa sangat cepat, layaknya ledakan menggelegar di langit, tubuh Elang sudah berayun, terhempas menuju ke tembok. Dorongannya agak tersendat walau pada akhirnya Elang tetap terhimpit.

Krak! Sepertinya tulang punggung miliknya memprotes keras atas hantaman yang dia terima karena berbenturan dengan dinding.

Mata Elang yang rapuh tiba-tiba mendongak, seolah itu adalah satu hal yang harus dia lakukan jika dia tidak mau mati. Pada saat itu Elang secara samar mampu mencium aroma obat yang menyengat dari tubuh lelaki yang menahannya pada dinding.

“Ini aku,” desis lelaki asing itu, yang secara cepat sudah membuka tudung kepalanya sendiri. Seperti sebuah tirai yang menutup tiba-tiba tersingkap, atau layaknya sebuah jubah yang ditanggalkan. Misteri itu akhirnya terungkap dengan Elang yang membeku dan nyaris tidak bisa mempercayai matanya yang setengah mabuk.

“Kau…” Suara Elang berhenti di udara, mungkin tertahan oleh kenyataan yang tengah berpusar di sekelilingnya. Matanya yang serasa sangat berat kini sudah tidak bisa ditahan lagi, apalagi kala dia melihat hal gila yang sangat sulit dipercaya. Elang melihat wajahnya sendiri pada lelaki asing itu! Elang pingsan seketika.

Elang mual kala dia benar-benar terbangun. Perutnya seperti mendapat tinju yang sudah mengguncang sistem pencernaannya. Seluruh makanan dan alkohol sudah memanas di dalam, bersama suhu tubuhnya sendiri. Namun kala semua itu mencapai di pangkal tenggorokan Elang semuanya terhenti dan tertahan, muntah pun gagal terjadi. 

Lelaki asing berwajah sama dengannya itu kini duduk di tepian ranjang. Jaket berwarna hitam polos masih melekat di tubuhnya yang agak bungkuk. Rambutnya penuh peluh, dengan kulit pucat pasi, hampir seperti mayat.

“Kau sudah bangun?” tegur lelaki asing itu. Kepalanya menoleh secara perlahan pada sosok Elang yang beringsut dan masih mengerjabkan mata tak percaya. Mata sayu lelaki asing itu berkedip pelan. “Ada sesuatu yang harus kau lakukan di sini.”

“Kau –“ tuding Elang tertahan. Menyadarkan dirinya penuh, lalu Elang menggeleng dan mengusap kasar kedua matanya, seolah dia ingin menghapus dua organ itu dari tubuhnya sendiri. “Bagaimana kau tau aku di sini?” Suara tinggi rendah tak beraturan dari Elang kini sudah memadat dengan solid, seperti sebuah baja. Dingin dan mengancam.

Itulah Elang yang sebenarnya, pada mode sadar secara penuh. Dia adalah seorang CEO bengis yang mampu mematahkan tulangmu agar kau bisa mati seketika itu juga jika kau berani menyentuh ujung helai rambutnya tanpa izin.

Kerapuhan di mata Elang tadi malam, atau mungkin kesengsaraan yang tergambar di wajahnya sudah musnah sepenuhnya. Sekarang semuanya terbalut dengan aura dingin yang menusuk, dan mampu membunuh siapa pun dan membuat renik paling kecil sekali pun bisa mati.

“Itulah Elang yang kulihat selama ini,” komentar lelaki asing itu. Tubuhnya berdiri walau dengan usaha yang sangat besar. Kedua kakinya mungkin agak lumpuh karena ada getar dan juga ayunan yang tak perlu pada sosoknya yang kurus mengenaskan.

Elang berdecih, setengah mengejek. “Aku heran kenapa kau bisa berubah seperti ini. Akan tetapi aku senang melihat perubahanmu. Dunia memang harus berputar secara adil kan?” Elang ikut berdiri, jaga-jaga saja jika nanti lelaki asing itu menyerangnya tiba-tiba dengan senjata.

Rasa mual sudah terlupakan. Bersama setelannya yang kasual berupa kaos oblong saja, Elang sudah berdiri tegap, melipat kedua lengan di depan dadanya yang bidang. Dia adalah cetakan sempurna dari seorang lelaki.

“Jadi kenapa kau ke sini, Saudara Kembarku?” decih Elang. Senyum puas tergambar di wajahnya yang bengis. Matanya yang tadi malam digenangi air mata tiba-tiba memerah, seolah letusan api membakar semua sudut dari bola matanya.

Tanpa rasa takut, Elang mendekat. Dia menyisiri sosok tubuh Garuda Wibisono yang tak lain adalah saudara kembar Elang sendiri.

Garuda, dari namanya saja lelaki itu sudah mendapat cinta yang lebih dari orang tua Elang selama ini. Apa karena dari lahir Elang sudah lebih rewel dan harus mendapat perawatan ini dan itu agar bisa selamat? Garuda, nama yang terlihat sangat kuat dan berjaya bukan?

Tapi lihatlah kini, nasib telah berada di dalam genggaman Elang. Seorang saudara kembar yang dulu dia cemburui ternyata kini terlihat sangat mengenaskan. Lubang hidung Elang yang runcing dan sempit itu terlihat menarik udara kuat-kuat, mencoba menikmati kemenangannya di dunia.

Aru atau Garuda memberanikan tekadnya. Peluh yang banyak menetes sampai membuat rambut lepek dan tipis miliknya kini semakin membanjiri sosoknya. Tubuhnya juga sudah basah, nampak dari kaos warna abu-abu miliknya yang membentuk motif pulau abstrak tak karuan. Kedua tangan Aru gemetar, dengan kuku jarinya yang memutih. “Elang, menikahlah dengan istriku!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status