Share

3. Salahmu Lahir Bersamaku

 “Elang, menikahlah dengan istriku!”

Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.

“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.

Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.

Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, karena dia memiliki sebuah senjata yang sangat kuat.

Tangannya yang gemetar menyeka keringat yang tak berhenti mengalir di dahinya. Bersama kakinya yang sangat kurus yang dibalut oleh jeans warna biru pudar itu, Aru sudah menghenyakkan tubuh dengan rapuh di atas ranjang. Napasnya tak teratur, dan nampaknya sebentar lagi dia akan pingsan. Akan tetapi sebelum itu terjadi dia harus menyelesaikan misinya.

Mata sayu milik Aru dipaksa untuk terus terbuka, dan dengan gerakan patah-patah lelaki itu mendongak untuk menatap langsung pada mata bengis milik kembarannya sendiri. “Aku butuh bantuanmu.”

“Kau pikir aku peduli?” decih Elang, wajahnya kokoh dengan rahang yang tegas. Nampak guratan keindahan Ilahi yang diberkahkan pada lelaki itu. Sinar mentari yang menuyup telah menimpa kulitnya yang bersinar.

Jika Aru berada dalam kondisi yang sehat, pasti ketampanannya tak jauh berbeda dari Elang. Tapi apa daya, takdir membawanya dalam sebuah keadaan yang membuatnya terlihat seperti mayat hidup : kurus kering, dengan wajah pucat membiru, serta rambut yang nampak tipis dan meranggas.

“Aku sungguh butuh bantuanmu.” Aru menunduk dalam. Peluhnya menetes layaknya banjir dalam mode siaga satu. Mungkin itu akan memberikan bekas yang cukup terlihat di atas ranjang Elang, dan betapa kini Elang memandang jijik pada saudara kembarnya sendiri seolah Aru merupakan antigen mematikan yang menular dan membahayakan, atau lebih rendah daripada itu. “Aku mengalami hal-hal buruk, dan kau harus membantuku untuk menjaga istriku. Maka dari itu…”

“Dua puluh tiga tahun yang lalu,” sela Elang dengan buru-buru, seolah dia tidak ingin kehilangan momen untuk mencelakai Aru dengan menggunakan lidahnya yang mematikan. “Aku mengingat bahwa ada seorang wanita yang memilih untuk meninggalkan suaminya sendiri yang tengah sekarat. Dan wanita itu hanya membawa serta seorang anak lelakinya, sementara anak lelakinya  yang lain telah ditelantarkan.” Elang memandang jauh ke depan, setengah kosong dan juga setengah berapi-api.

Yang pasti Elang tengah terperangkap di dalam masa lalunya sendiri, pada masa ketika dia ditelantarkan oleh ibu kandungnya sendiri yang memilih untuk pergi meninggalkan Elang dan ayahnya. Hanya Aru yang dibawa, hanya anak lelaki yang sehat dan kuat itu yang dibawa. Dada Elang bergemuruh, rasa sedih dan pilu sepertinya memuncak dan membentuk pertahanannya sendiri. Yang tersisa kini amarah.

Aru bergetar, bukan karena kondisi tubuh yang menyiksanya akan tetapi karena rasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun. Ingatan kala Elang menggelinjang dan histeris ketika melihat kepergian ibu dan saudara kembarnya masih membekas di dalam ingatan Aru hingga kini, seperti penyakit yang menggerogoti memori Aru dan seperti racun yang melumpuhkan lelaki itu sedikit demi sedikit.

“Maaf soal itu.” Hanya itu yang bisa Aru katakan, karena hanya itu satu-satunya kata yang terngiang di kepalanya yang dipenuhi oleh keringat untuk saat ini.

“Hidup dengan seorang ayah yang sakit-sakitan itu tidak mudah,” kenang Elang dengan berdecih. Wajahnya memang bengis, tapi matanya sangat terluka. “Aku sangat berjuang keras, karena semua itu harus kulalui di tengah kondisi tubuhku yang tidak prima sejak aku lahir. Tapi untungnya ayah memiliki sangat banyak kekayaan, dia memiliki banyak harta jadi itu bukan masalah karena tak lama setelahnya dia bisa berangsur pulih dari penyakitnya.”

Elang tak berhenti sampai di situ, karena dia meneruskan kembali,” Kupikir semuanya sudah berakhir, hari-hari kelam itu. Tapi ternyata semua itu justru adalah sebuah permulaan.”

Pecutan, pukulan, teriakan, makian, dan terkadang tendangan adalah hal lumrah yang Elang dapatkan dari ayahnya. Itu semua dilakukan untuk mendidik seorang anak lelaki berumur tujuh tahun yang kurus kering dan sakit-sakitan.

Siapa yang tidak terluka? Siapa yang tidak sakit hati? Ketika kau adalah seorang anak yang disisihkan dari dunia karena kondisi tubuhmu, yang kemudian ditelantarkan oleh ibumu bersama seorang ayah yang sangat bengis dalam mendidik anak? Dan parahnya tidak ada yang bisa melindungi Elang kala itu. Kesepian dan ketakutan seorang diri, di tengah negara asing yang tidak dia kenal. Kesepian yang mencekik.

“Aku tau kau sangat menderita,” pekik Aru yang terdengar seperti sebuah batuk yang ganjil, batuk yang tertahan di kerongkongan. Mungkin karena deru napasnya yang tidak teratur itu yang membuatnya seperti itu.

“Tau apa kau soal hidupku? Kau tidak akan pernah tau. Bahkan ketika tujuh belas tahun yang lalu aku datang untuk bersimpuh di depan ibumu. Haha, kau ingat apa yang dilakukan wanita itu kan?” Elang menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang tebal dan kekar. Dia hampir menangis, walau harga diri akhirnya menyelamatkannya.

Aru tak berani menjawab, karena itu adalah kesalahan paling fatal kedua yang telah dia lakukan di kehidupannya sekarang ini.

Kesalahannya yang pertama adalah kala dia mengabaikan Elang yang menjerit histeris dan menyeret langkah kakinya di atas tanah kotor demi mengejarnya dan ibunya. Lalu yang kedua adalah ketika mengabaikan Elang yang ditolak mentah-mentah oleh ibu mereka pada enam tahun setelahnya.

Usia mereka masih tiga belas tahun kala itu. Elang datang dengan kondisi yang lebih baik daripada saat mereka masih kecil. Bahkan dalam satu kali lihat Elang remaja akan mendapat pengakuan sejajar dengan Aru remaja, padahal hal-hal seperti itu nyaris mustahil di masa lalu. Aru selalu unggul pada masa kecil mereka, baik secara fisik, secara psikis, dan hal-hal lainnya.

“Aku jauh-jauh datang dari Amerika, karena malam itu aku mendapat ancaman pembunuhan dari ayah hanya karena aku tidak mau menurutinya untuk masuk sekolah menengah bergengsi di sana. Ck, nasib sialku. Aku kira pelarianku pada ibu kandungku akan membuahkan hasil. Kukira walau di masa lalu aku ditelantarkan, maka saat aku remaja akan sedikit berbeda. Tapi nyatanya sama saja, aku masih ditelantarkan dan bahkan tidak diakui sebagai anaknya.” Tawa Elang menggelegar di seluruh ruangan itu, sebuah tawa perih dan sangat kering. Dadanya seperti terhantam benda tumpul, menohok dan perih.

“Siapa yang bisa percaya akan itu? Aku bukan anaknya? Bahkan orang yang kutanyai di sepanjang jalan pun selalu menyangka aku adalah kau. Wajah kita sangat mirip, dan fisikku yang seperti kayu lapuk sudah berubah menjadi sangat sehat. Itu juga berkat gemblengan ayah yang selalu mencekokiku makanan sehat dan kapsul vitamin. Fisikku memang baik, tapi mentalku sudah hancur, dan semakin hancur sejak saat itu.” Elang seperti meringik. Dia tertawa lagi, tapi justru terlihat menangis, walau tanpa air mata.

“Jika kupikir-pikir semua ini salahmu! Salahmu kau lahir bersamaku! Dan salahmu kau lahir ke dunia!” tunjuk Elang dengan amarah yang menggelegar. Matanya yang terluka sudah dipenuhi oleh api yang menjilat, yang mampu memberikan cipratan bara yang bisa membakar Aru.

Dalam gerakan yang sangat cepat dan tidak terduga, Elang melesat dan seperti melompat ke atas kasur. Tangannya yang berbuku tebal seketika menarik kerah jaket Aru tinggi-tinggi. Mata Elang menyalak liar, dengan penampakan layaknya serigala kelaparan. Di matanya sudah berada sosok Aru yang pucat tak berdaya.

“Aku menderita karenamu, tapi beraninya kau datang dan meminta bantuanku,” gerung Elang seperti seekor predator. Tinjunya terangkat di udara dan siap melayang di wajah Aru.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status