Share

4. Kita Bisa Segera Punya Bayi, Mas

Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, Surabaya

Dengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.

Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.

Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.

Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tidak apa-apa?” Dan terdengar ribut-ribut juga bisik penasaran dari penumpang yang lain. Area di sekitar Aru mulai agak teduh karena gerumulan para penumpang pesawat yang mengelilinginya yang kini membentuk bayang-bayang kecil.

Mencoba untuk bersikap baik-baik saja, walau kepalanya sangat pusing dan perutnya serasa mual, tangan Aru melambai lemah, tangan yang sangat pucat kebiruan. “Tidak apa-apa. Saya hanya lapar,” ringis Aru sembari mengangkat sedikit topinya demi memperlihatkan senyuman lesu di matanya.

Setelah memastikan keadaan Aru beberapa kali, para penumpang itu berlalu dan pergi menuju ke tujuan masing-masing. Aru kembali berjalan dengan menyeret kakinya layaknya hewan buruan yang sudah sekarat.

Koper sudah berada di tangan. Genggaman rapuh Aru menunjukkan betapa mengenaskan kondisinya sekarang ini. Kulitnya yang sangat pucat itu memperparah segalanya, juga rambut menipis yang sedang ditutupi oleh topi berwarna hitam.

Ponsel yang berada di tangan Aru tiba-tiba berdering sesaat setelah lelaki bertubuh sangat kurus dan agak bungkuk itu menon-aktifkan mode pesawat pada gawai itu. Tertera nama Bela pada layar ponselnya.

“Halo, Sayang?” sapa Aru. Seluruh kekuatan telah dikerahkan agar istrinya tidak mendengar pekik kesakitan dari mulutnya.

“Halo, Mas? Kenapa belum pulang ? Katanya kemarin Mas mau pulang sekitar jam sepuluh? Ini sudah jam dua belas lebih lho. Padahal aku sudah masak kue untuk kamu, Mas. Nanti keburu dingin dan tidak enak.” Itu adalah suara yang selalu Aru rindukan setiap saat. Sebuah suara dari seorang gadis yang telah dia nikahi tiga bulan yang lalu.

“Iya, Lala Sayang. Aku sekarang sudah berada di dalam taxi untuk pergi ke stasiun. Sebentar lagi aku pasti akan sampai. Sabar ya, Sayangku.” Aru memaksakan senyumannya sendiri. Walau tak menatap langsung pada Bela, istrinya, lelaki itu tetap ingin memberikan cinta dan senyuman pada suaranya. Walau saat ini dia tengah kesakitan, dan hampir ambruk.

“Ok, aku tunggu di rumah ya, Mas? Kalau mau dijemput, Mas bisa bilang saja padaku.”

“Kamu kan masih enam belas tahun, Sayang. Kamu belum punya SIM kan? Jangan coba-coba nakal ya?” Aru merintih pelan dengan memegangi perutnya sendiri. Rasanya seperti mendapat koyakan yang dasyat dan membabi buta di dalam rongga perutnya.

“Hehe,” kikik Bela dengan manisnya. “Aku jemputnya di depan gang kok, itu pun kalau Mas Aru mau. Ya sudah Mas hati-hati ya? Aku ada kejutan untuk Mas di rumah.”

“Kejutan apa?” Aru terhuyung dan hampir limbung. Akan tetapi dia bisa menyeimbangkan kakinya lagi. Sial, dia harus beristirahat sebentar jika tidak ingin benar-benar pingsan. Mata Aru menyipit demi melihat jarak bagian loby bandara. Kira-kira masih seratus meter jauhnya dan diperparah dengan derap kaki sangat lambat miliknya.

“Ada deh. Intinya Mas harus cepat pulang ya?”

“Siap, Ibu Boss!” kelakar Aru memaksakan diri. Tak lama kemudian panggilan dimatikan setelah pasangan suami istri itu mengucapkan cinta satu sama lain.

Perjalanan singkat akan tetapi terasa panjang itu dilanjutkan. Saat Aru hampir menyerah dan memilih untuk menuruti tubuhnya yang hampir ambruk, lelaki itu kembali untuk terus menguatkan dirinya. Sejauh ini Aru telah berhasil, dia juga berhasil meyakinkan Elang untuk membantunya. Dan sejauh ini Aru juga telah berhasil pergi-pulang ke Pulau Lombok dengan selamat. Hanya tinggal sebentar lagi!

“Kuatlah, Aru!” lemah lelaki itu pada dirinya sendiri.

Perut yang masih rata, akan tetapi Bela tidak bisa berhenti untuk memandangi dirinya sendiri pada cermin besar yang terletak di dalam kamar mandi. Rambut lurus sebahu miliknya berulang kali dikibas saat menutupi matanya yang bulat dan cantik.

“Perut kecilku, ayo kita tumbuhkan seorang bayi di dalam,” riang Bela pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin. Sekali lagi dia berpose, dengan gaya mathernity shoot yang sudah dia impikan selama ini.. Diam-diam Bela juga sudah menyiapkan rancangan gaun model seperti apa yang akan dia kenakan nantinya.

Setelah puas berpose, Bela segera meluncur menuju ke ruang tamu untuk menunggu kedatangan Aru. Rok selutut motif bunga miliknya berkibar lembut, selembut tapak kakinya yang berjalan pelan menuruni tangga. “Dokter bilang aku tidak boleh sering lompat-lompat, jadi aku harus mulai berjalan pelan sekarang ini. Eh, tapi itu kalau aku sudah dalam keadaan hamil sih. Sekarang aku masih bebas.”

Lalu Bela berdendang kecil. Sifat riangnya kini memenuhi setiap sudut rumah gaya modern di Kota Batu, Malang itu. Sesekali dia cekikikan, dan rupanya dia sedang membayangkan reaksi Aru ketika mendengar kejutan yang akan diberikan kepada suaminya itu.

Mata Bela tidak terlalu fokus sekarang ini, karena efek dari kebahagiaan berlebihan yang memenuhi hatinya. Seluruh objek dipandang sambil lalu, sampai dia tidak menyadari kedatangan seseorang di rumahnya.

Ketika langkah kaki menapak lantai untuk pertama kalinya, setelah berjalan riang menuruni tangga, tubuh Bela terhenti. Matanya yang indah segera membelalak dan lalu tersenyum. Bibirnya yang penuh dan lembut melengkung dengan indah, yang berwarna semerah cerry.

“Mas Aru!” dengking Bela dengan sangat bersemangat. Kakinya berlari secepat yang dia bisa, melupakan niatannya untuk melatih diri agar bisa berjalan lebih lambat sedini mungkin. Roknya berkibar, blouse warna peach miliknya juga terlihat sama. Rambutnya yang tebal dan indah terhempas angin, wajahnya yang sangat cantik mengalihkan dunia.

Tubuhnya yang mungil itu kini jatuh ke dalam pelukan rapuh milik Aru. Hentakan gadis itu hampir merobohkan Aru, jika saja kaki kurus lelaki itu tidak memaksakan diri untuk mengerahkan tenaga di luar batasannya sendiri.

“Mas sudah pulang?” Sebuah pertanyaan retoris sarat akan perhatian dari Bela.

Aru mengangguk pelan. Topinya sudah ditanggalkan, berikut masker kesehatan yang sudah diturunkan dari wajahnya yang pucat dan lemah. “Iya, Sayang. Aku senang melihatmu lagi.” Ada doa yang dipanjatkan Aru saat mengatakan hal itu pada Bela. ‘Aku senang melihatmu lagi.’ bagi Aru berarti, ‘Aku ingin melihatmu lagi dan lagi.’

Senyum kembali terukir di wajah manis milik Bela. “Aku juga. Ayo masuk, Mas.”

Dalam tuntunan gadis berusia enam belas tahun itu Aru menyeret kakinya lagi untuk menuju ke sofa ruang tamu di dalam rumah miliknya. Untuk kesekian kalinya Aru merasa lega karena dia bisa merebahkan punggungnya pada bantalan yang empuk seperti sekarang ini. Rasanya itu bisa menyelamatkan nyawanya hingga seribu tahun lagi.

Bela yang pergi ke dapur untuk membuat teh kini terlihat datang menghampiri Aru. Dari kejauhan Bela akan terlihat secantik peri, dengan sinar cinta kasih tak bersyarat yang mengelilingi sosoknya. Bela juga nampak seperti sebuah keajaiban bagi Aru sendiri.

“Mas, aku bilang kan tadi kalau aku punya kejutan untuk Mas?” Bela menyerahkan dengan lembut teh hangat yang berada di tangannya kepada Aru. Kemudian dengan gerakan telaten Bela mengambil dua helai tissue dari kotak yang tersedia di atas meja. Tissue itu dia gunakan untuk menyeka wajah Aru yang sudah dibasahi oleh keringat.

“Iya. Memang aku sudah boleh mendengar kejutannya sekarang?” tanya Aru setelah menyeruput teh buatan istrinya sendiri. Matanya yang sayu dan hampir padam itu mencoba untuk menyisihkan tenaganya agar bisa memandangi Bela lebih lama, mumpung Aru masih memiliki kesempatan.

“Boleh dong, Mas.” Bela tersipu. Helai rambutnya agak berceceran yang kini menjadi rapi karena Aru yang merapikannya dengan menyelipkannya di belakang telinga Bela. Bela tersenyum karena merasa bersyukur telah memiliki Aru di dalam kehidupannya. “Jadi ujian sudah diumumkan, Mas. Setelah itu kita sudah bisa melakukan program kehamilan untukku. Kita bisa segera punya bayi, Mas.”

Senyuman Bela tak kunjung surut, bahkan lebih kuat dan lebih merekah dari sebelumnya seperti bunga sakura yang mekar di musim semi. Begitu indah dan berseri.

Sementara itu Aru tak merespon apa pun. Ini bentuk kekalahannya yang lain. Selain penyakit yang melandanya, Aru juga belum bisa memberikan Bela seorang keturunan. Dan parahnya kini, Aru berniat untuk menyerahkan Bela pada saudara kembarnya sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status