Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, Surabaya
Dengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.
Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.
Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.
Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tidak apa-apa?” Dan terdengar ribut-ribut juga bisik penasaran dari penumpang yang lain. Area di sekitar Aru mulai agak teduh karena gerumulan para penumpang pesawat yang mengelilinginya yang kini membentuk bayang-bayang kecil.
Mencoba untuk bersikap baik-baik saja, walau kepalanya sangat pusing dan perutnya serasa mual, tangan Aru melambai lemah, tangan yang sangat pucat kebiruan. “Tidak apa-apa. Saya hanya lapar,” ringis Aru sembari mengangkat sedikit topinya demi memperlihatkan senyuman lesu di matanya.
Setelah memastikan keadaan Aru beberapa kali, para penumpang itu berlalu dan pergi menuju ke tujuan masing-masing. Aru kembali berjalan dengan menyeret kakinya layaknya hewan buruan yang sudah sekarat.
Koper sudah berada di tangan. Genggaman rapuh Aru menunjukkan betapa mengenaskan kondisinya sekarang ini. Kulitnya yang sangat pucat itu memperparah segalanya, juga rambut menipis yang sedang ditutupi oleh topi berwarna hitam.
Ponsel yang berada di tangan Aru tiba-tiba berdering sesaat setelah lelaki bertubuh sangat kurus dan agak bungkuk itu menon-aktifkan mode pesawat pada gawai itu. Tertera nama Bela pada layar ponselnya.
“Halo, Sayang?” sapa Aru. Seluruh kekuatan telah dikerahkan agar istrinya tidak mendengar pekik kesakitan dari mulutnya.
“Halo, Mas? Kenapa belum pulang ? Katanya kemarin Mas mau pulang sekitar jam sepuluh? Ini sudah jam dua belas lebih lho. Padahal aku sudah masak kue untuk kamu, Mas. Nanti keburu dingin dan tidak enak.” Itu adalah suara yang selalu Aru rindukan setiap saat. Sebuah suara dari seorang gadis yang telah dia nikahi tiga bulan yang lalu.
“Iya, Lala Sayang. Aku sekarang sudah berada di dalam taxi untuk pergi ke stasiun. Sebentar lagi aku pasti akan sampai. Sabar ya, Sayangku.” Aru memaksakan senyumannya sendiri. Walau tak menatap langsung pada Bela, istrinya, lelaki itu tetap ingin memberikan cinta dan senyuman pada suaranya. Walau saat ini dia tengah kesakitan, dan hampir ambruk.
“Ok, aku tunggu di rumah ya, Mas? Kalau mau dijemput, Mas bisa bilang saja padaku.”
“Kamu kan masih enam belas tahun, Sayang. Kamu belum punya SIM kan? Jangan coba-coba nakal ya?” Aru merintih pelan dengan memegangi perutnya sendiri. Rasanya seperti mendapat koyakan yang dasyat dan membabi buta di dalam rongga perutnya.
“Hehe,” kikik Bela dengan manisnya. “Aku jemputnya di depan gang kok, itu pun kalau Mas Aru mau. Ya sudah Mas hati-hati ya? Aku ada kejutan untuk Mas di rumah.”
“Kejutan apa?” Aru terhuyung dan hampir limbung. Akan tetapi dia bisa menyeimbangkan kakinya lagi. Sial, dia harus beristirahat sebentar jika tidak ingin benar-benar pingsan. Mata Aru menyipit demi melihat jarak bagian loby bandara. Kira-kira masih seratus meter jauhnya dan diperparah dengan derap kaki sangat lambat miliknya.
“Ada deh. Intinya Mas harus cepat pulang ya?”
“Siap, Ibu Boss!” kelakar Aru memaksakan diri. Tak lama kemudian panggilan dimatikan setelah pasangan suami istri itu mengucapkan cinta satu sama lain.
Perjalanan singkat akan tetapi terasa panjang itu dilanjutkan. Saat Aru hampir menyerah dan memilih untuk menuruti tubuhnya yang hampir ambruk, lelaki itu kembali untuk terus menguatkan dirinya. Sejauh ini Aru telah berhasil, dia juga berhasil meyakinkan Elang untuk membantunya. Dan sejauh ini Aru juga telah berhasil pergi-pulang ke Pulau Lombok dengan selamat. Hanya tinggal sebentar lagi!
“Kuatlah, Aru!” lemah lelaki itu pada dirinya sendiri.
…
Perut yang masih rata, akan tetapi Bela tidak bisa berhenti untuk memandangi dirinya sendiri pada cermin besar yang terletak di dalam kamar mandi. Rambut lurus sebahu miliknya berulang kali dikibas saat menutupi matanya yang bulat dan cantik.
“Perut kecilku, ayo kita tumbuhkan seorang bayi di dalam,” riang Bela pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin. Sekali lagi dia berpose, dengan gaya mathernity shoot yang sudah dia impikan selama ini.. Diam-diam Bela juga sudah menyiapkan rancangan gaun model seperti apa yang akan dia kenakan nantinya.
Setelah puas berpose, Bela segera meluncur menuju ke ruang tamu untuk menunggu kedatangan Aru. Rok selutut motif bunga miliknya berkibar lembut, selembut tapak kakinya yang berjalan pelan menuruni tangga. “Dokter bilang aku tidak boleh sering lompat-lompat, jadi aku harus mulai berjalan pelan sekarang ini. Eh, tapi itu kalau aku sudah dalam keadaan hamil sih. Sekarang aku masih bebas.”
Lalu Bela berdendang kecil. Sifat riangnya kini memenuhi setiap sudut rumah gaya modern di Kota Batu, Malang itu. Sesekali dia cekikikan, dan rupanya dia sedang membayangkan reaksi Aru ketika mendengar kejutan yang akan diberikan kepada suaminya itu.
Mata Bela tidak terlalu fokus sekarang ini, karena efek dari kebahagiaan berlebihan yang memenuhi hatinya. Seluruh objek dipandang sambil lalu, sampai dia tidak menyadari kedatangan seseorang di rumahnya.
Ketika langkah kaki menapak lantai untuk pertama kalinya, setelah berjalan riang menuruni tangga, tubuh Bela terhenti. Matanya yang indah segera membelalak dan lalu tersenyum. Bibirnya yang penuh dan lembut melengkung dengan indah, yang berwarna semerah cerry.
“Mas Aru!” dengking Bela dengan sangat bersemangat. Kakinya berlari secepat yang dia bisa, melupakan niatannya untuk melatih diri agar bisa berjalan lebih lambat sedini mungkin. Roknya berkibar, blouse warna peach miliknya juga terlihat sama. Rambutnya yang tebal dan indah terhempas angin, wajahnya yang sangat cantik mengalihkan dunia.
Tubuhnya yang mungil itu kini jatuh ke dalam pelukan rapuh milik Aru. Hentakan gadis itu hampir merobohkan Aru, jika saja kaki kurus lelaki itu tidak memaksakan diri untuk mengerahkan tenaga di luar batasannya sendiri.
“Mas sudah pulang?” Sebuah pertanyaan retoris sarat akan perhatian dari Bela.
Aru mengangguk pelan. Topinya sudah ditanggalkan, berikut masker kesehatan yang sudah diturunkan dari wajahnya yang pucat dan lemah. “Iya, Sayang. Aku senang melihatmu lagi.” Ada doa yang dipanjatkan Aru saat mengatakan hal itu pada Bela. ‘Aku senang melihatmu lagi.’ bagi Aru berarti, ‘Aku ingin melihatmu lagi dan lagi.’
Senyum kembali terukir di wajah manis milik Bela. “Aku juga. Ayo masuk, Mas.”
Dalam tuntunan gadis berusia enam belas tahun itu Aru menyeret kakinya lagi untuk menuju ke sofa ruang tamu di dalam rumah miliknya. Untuk kesekian kalinya Aru merasa lega karena dia bisa merebahkan punggungnya pada bantalan yang empuk seperti sekarang ini. Rasanya itu bisa menyelamatkan nyawanya hingga seribu tahun lagi.
Bela yang pergi ke dapur untuk membuat teh kini terlihat datang menghampiri Aru. Dari kejauhan Bela akan terlihat secantik peri, dengan sinar cinta kasih tak bersyarat yang mengelilingi sosoknya. Bela juga nampak seperti sebuah keajaiban bagi Aru sendiri.
“Mas, aku bilang kan tadi kalau aku punya kejutan untuk Mas?” Bela menyerahkan dengan lembut teh hangat yang berada di tangannya kepada Aru. Kemudian dengan gerakan telaten Bela mengambil dua helai tissue dari kotak yang tersedia di atas meja. Tissue itu dia gunakan untuk menyeka wajah Aru yang sudah dibasahi oleh keringat.
“Iya. Memang aku sudah boleh mendengar kejutannya sekarang?” tanya Aru setelah menyeruput teh buatan istrinya sendiri. Matanya yang sayu dan hampir padam itu mencoba untuk menyisihkan tenaganya agar bisa memandangi Bela lebih lama, mumpung Aru masih memiliki kesempatan.
“Boleh dong, Mas.” Bela tersipu. Helai rambutnya agak berceceran yang kini menjadi rapi karena Aru yang merapikannya dengan menyelipkannya di belakang telinga Bela. Bela tersenyum karena merasa bersyukur telah memiliki Aru di dalam kehidupannya. “Jadi ujian sudah diumumkan, Mas. Setelah itu kita sudah bisa melakukan program kehamilan untukku. Kita bisa segera punya bayi, Mas.”
Senyuman Bela tak kunjung surut, bahkan lebih kuat dan lebih merekah dari sebelumnya seperti bunga sakura yang mekar di musim semi. Begitu indah dan berseri.
Sementara itu Aru tak merespon apa pun. Ini bentuk kekalahannya yang lain. Selain penyakit yang melandanya, Aru juga belum bisa memberikan Bela seorang keturunan. Dan parahnya kini, Aru berniat untuk menyerahkan Bela pada saudara kembarnya sendiri.
***
Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan