Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.
Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.
“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.
Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Bela yang tadinya sempat menikmati indahnya pemandangan surgawi itu kini baru tersadar. Pura-pura malu dan menutup mata serta wajahnya Bela pun memprotes, “Mas, kenapa tidak pakai baju? Jangan mengotori mataku!”
Di ujung tempatnya berdiri Aru hanya bisa tersenyum kecil. Pelan-pelan melangkahkan kakinya, Aru kini membuka pintu almari kayu di ujung ruangan dan lalu mengambil sepasang baju tidur yang masih baru. Aru mengenakannya dengan sangat lemah. “Katanya kamu ingin segera memiliki anak? Pemandangan begini harusnya kamu mulai membiasakan diri, Sayang.”
Kini Aru duduk tepat di samping Bela, memandangi Bela dengan mata sayu miliknya. Rasa nyeri menyelimuti tubuh Aru apalagi pada bagian leher dan juga ketiaknya. Juga ada hantaman di perutnya. Tapi bersyukurnya dia, karena sejak dia datang ke Lombok dan pulang lagi ke Malang, Aru sama sekali tidak mendapatkan mimisan.
Melirik Bela yang masih menutupi wajahnya, Aru mengulurkan tangan dan menepis pelan kedua tangan lembut milik Bela. Kemudian Aru mencubit lemah dagu istrinya dan meminta secara tidak langsung pada Bela untuk melihatnya. “Kenapa kamu menutupi matamu? Apa tubuhku tidak enak untuk dilihat? Apa kulitku terlalu pucat?”
Pipi Bela seketika menggelembung. Gadis itu lantas mencubit pelan perut Aru hingga membuat lelaki itu merasakan kesakitan yang sangat hebat. Hanya saja Aru bisa menahannya. “Mas Aru kenapa bicara begitu? Bagiku suamiku yang paling tampan, entah dia berkulit pucat atau tidak. Lagi pula Mas mulai harus beristirahat dan mengurangi aktivitas sekarang. Sepertinya Mas mulai tidak sehat, aku hanya tidak mau ada hal buruk terjadi denganmu, Mas.”
Memiliki Bela adalah sebuah karunia paling besar yang dimiliki oleh Aru, walau di tengah penyakit kronis yang dia derita untuk saat ini. Melihat Bela yang mencemaskannya tiba-tiba memberikan semangat yang tak terduga untuk lelaki berusia tiga puluh tahun itu.
“Istriku masih duduk di bangku SMA, masih berusia 16 tahun dan belum punya KTP. Tapi kenapa bicaranya sudah seperti orang dewasa?” pencet Aru pada hidung mancung istrinya sendiri. Kamar tidur yang tadinya terlihat muram, semuram suasana hati Aru yang pasrah dengan masa depan kini tiba-tiba menjadi lebih berwarna dan hangat. Semua itu berkat Bela, berkat ketulusan dan kebaikan gadis itu.
“Meski aku masih SMA dan masih 16 tahun akan tetapi sebentar lagi aku akan menjadi ibu. Jadi aku harus lebih matang mulai dari sekarang agar aku bisa mendidik anak kita dengan baik, Mas.”
Hal yang paling bisa membuat hati Aru meleleh dan tak bisa berkata-kata adalah bagaimana Bela selalu mengusahakan yang terbaik untuk rumah tangga mereka yang baru berusia tiga bulan itu. Bahkan jika dipikir-pikir semenjak mereka berdua dijodohkan, Bela yang akan melakukan lebih banyak berinisiatif demi masa depan mereka sebagai seorang wanita, bahkan tanpa Aru memintanya sekali pun.
Sudut bibir Aru melengkung pelan, nampak berat dan kaku. “Iya, iya, Istriku Sayang. Mau kupeluk?” Aru merentangkan tangannya yang lemah. Walau harus menahan dunia di atas pundaknya Aru akan rela melakukannya asalkan dia bisa melihat Bela bahagia.
Tanpa perlu pikir panjang Bela pun segera berhambur pada dekapan lembut milik Aru. Matanya yang sangat cantik bermanik lembut itu terpejam, menyisihkan pemandangan kamar tidur milik mereka yang didominasi oleh warna putih dan abu-abu.
Merasakan kehangatan tubuh Bela, Aru hampir meneteskan air mata. Bagaimana bisa Tuhan begitu tidak adil? Di saat Aru sudah menemukan kebahagiaan kekal miliknya, dia harus merelakan itu semua demi meraih kesembuhan. Dan di saat kehidupannya akan menjadi sempurna tiba-tiba saja Aru harus menghilang untuk sementara waktu.
“Aku sayang dengan istriku yang manja,” serak Aru sembari mengusap pelan rambut Bela. Semua ingatan mengenai pertemuan mereka kini kembali terbayang. Kenangan-kenangan itu seperti berpusar dan lalu berderet acak di depan mata Aru yang memaksa otaknya untuk menangkap kenangan sebisanya.
Lelaki itu masih ingat pertemuannya dengan Bela satu tahun lalu. Aru masih ingat betapa indah dan murni kecantikan Bela, dengan kulitnya yang seputih susu, dan pandangan matanya yang sangat jernih. Wajahnya yang terus berseri dengan senyuman dari bibir merekah yang bisa membuat jantung Aru berdebar kencang. Aru ingat semuanya, bahkan dia mengingat kala dia tidak bisa menemukan satu kata pun untuk menyapa Bela kala pertemuan pertama mereka. Aru terlalu terpesona kala itu.
Meletakkan semua ingatan itu untuk sebentar, Aru menangkap ingatan lain yang menariknya menuju ke realita yang tengah dia hadapi. Dengan menarik napas yang pendek dan lemah Aru bertanya, “Sayang, apa kamu masih ingat Elang?”
Mata Bela yang tertutup kala merasakan kehangatan penuh milik suaminya kini pun terbuka. “Ingat kok, Mas. Mas Elang itu saudara kembarnya Mas kan?”
Aru mengangguk lirih. Kembali mendekap erat Bela, lelaki itu menyahut, “Benar. Apa saja yang kamu ingat tentang Elang?” Pandangan Aru melompat jauh ke luar, seakan dia tengah memandang ujung pohon mangga yang tumbuh subur di samping rumahnya, dan seakan Aru ingin menemukan satu keajaiban di sana agar bisa membuat hidupnya pulih seperti semula.
Akan tetapi pada kenyataannya dia tengah mengingat Elang. Aru tengah mengingat bagaimana dia mengancam Elang tadi pagi hingga membuat Elang mengurungkan niat untuk meninju dan memusnahkannya.
Bela melirik pada langit-langit, dan mencoba menelusuri ingatannya kembali. “Seingat aku, berdasarkan ceritanya Mas sih, Mas Elang itu waktu kecil sangat kurus dan tidak sehat. Bahkan dia itu bisa terbang jika angin paling lirih mengenainya, aku tau itu perumpamaan kok.” Bela terkekeh pelan. “Aku juga mengingat bahwa ibu (ibu kandung Aru dan Elang yang bernama Bu Yasmin) dulu meninggalkan Mas Elang dan memilih Mas untuk pergi bersama.”
Bela berpikir kembali untuk menggali potongan ingatan miliknya yang tak beraturan dan bercecer di setiap sudut otaknya. Kemudian dia berhasil mengumpulkan beberapa keping dan melanjutkan ucapannya sendiri, “Lalu aku juga ingat bahwa saat remaja Mas Elang yang saat itu harusnya tinggal di Amerika tiba-tiba datang ke rumah ibu dan Mas. Mas Elang bilang dia ingin tinggal dengan kalian. Tubuhnya sudah jauh sangat sehat waktu remaja. Aku hanya ingat itu saja sih, Mas. Kenapa Mas bertanya?”
Aru yang terhanyut dalam kenangan kelam mengenai Elang tiba-tiba tersadar lagi. Jiwa lelaki itu sempat terseret, dan hanya Bela yang bisa menahannya. “Tidak, tiba-tiba aku teringat dengannya saja. Menurutmu sekarang ini bagaimana penampilan Elang? Aku yakin dia sudah menjadi orang besar karena mewarisi perusahaan milik ayah di Amerika. Pasti dia sangat keren dan tampan kan?”
Bela benar-benar serius dalam mempertimbangkan pendapatnya. Walau bagaimana pun Elang adalah kembaran Aru, sekaligus saudara ipar Bela. Meski mereka tidak pernah bertemu akan tetapi Bela tetap menghormati dan menghargai Elang sebagai keluarga. “Kalau saat kecil dia sakit-sakitan dan kurus, lalu ketika remaja dia menjadi sehat berarti, maka besar kemungkinan sekarang dia kekar dan sangat keren sih, Mas. Tipikal lelaki berotot yang digilai banyak wanita.”
Aru menyunggingkan sudut bibirnya. Mengetahui Bela bisa menebak begitu valid entah kenapa telah menyakiti perasaan Aru. Karena pada nyatanya Elang memang tumbuh dengan baik : dengan tubuh yang kekar dan perawakan yang keren. Dan sejujurnya saja lelaki seperti Elang yang lebih cocok bersanding dengan Bela. ‘Bukan lelaki seperti aku,’ batin Aru teriris perih.
***
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan
Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pe