Share

5. Elang Lebih Cocok Dengan Bela

Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.

Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.

“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.

Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.

Bela yang tadinya sempat menikmati indahnya pemandangan surgawi itu kini baru tersadar. Pura-pura malu dan menutup mata serta wajahnya Bela pun memprotes, “Mas, kenapa tidak pakai baju? Jangan mengotori mataku!”

Di ujung tempatnya berdiri Aru hanya bisa tersenyum kecil. Pelan-pelan melangkahkan kakinya, Aru kini membuka pintu almari kayu di ujung ruangan dan lalu mengambil sepasang baju tidur yang masih baru. Aru mengenakannya dengan sangat lemah. “Katanya kamu ingin segera memiliki anak? Pemandangan begini harusnya kamu mulai membiasakan diri, Sayang.”

Kini Aru duduk tepat di samping Bela, memandangi Bela dengan mata sayu miliknya. Rasa nyeri menyelimuti tubuh Aru apalagi pada bagian leher dan juga ketiaknya. Juga ada hantaman di perutnya. Tapi bersyukurnya dia, karena sejak dia datang ke Lombok dan pulang lagi ke Malang, Aru sama sekali tidak mendapatkan mimisan.

Melirik Bela yang masih menutupi wajahnya, Aru mengulurkan tangan dan menepis pelan kedua tangan lembut milik Bela. Kemudian Aru mencubit lemah dagu istrinya dan meminta secara tidak langsung pada Bela untuk melihatnya. “Kenapa kamu menutupi matamu? Apa tubuhku tidak enak untuk dilihat? Apa kulitku terlalu pucat?”

Pipi Bela seketika menggelembung. Gadis itu lantas mencubit pelan perut Aru hingga membuat lelaki itu merasakan kesakitan yang sangat hebat. Hanya saja Aru bisa menahannya. “Mas Aru kenapa bicara begitu? Bagiku suamiku yang paling tampan, entah dia berkulit pucat atau tidak. Lagi pula Mas mulai harus beristirahat dan mengurangi aktivitas sekarang. Sepertinya Mas mulai tidak sehat, aku hanya tidak mau ada hal buruk terjadi denganmu, Mas.”

Memiliki Bela adalah sebuah karunia paling besar yang dimiliki oleh Aru, walau di tengah penyakit kronis yang dia derita untuk saat ini. Melihat Bela yang mencemaskannya tiba-tiba memberikan semangat yang tak terduga untuk lelaki berusia tiga puluh tahun itu.

“Istriku masih duduk di bangku SMA, masih berusia 16 tahun dan belum punya KTP. Tapi kenapa bicaranya sudah seperti orang dewasa?” pencet Aru pada hidung mancung istrinya sendiri. Kamar tidur yang tadinya terlihat muram, semuram suasana hati Aru yang pasrah dengan masa depan kini tiba-tiba menjadi lebih berwarna dan hangat. Semua itu berkat Bela, berkat ketulusan dan kebaikan gadis itu.

“Meski aku masih SMA dan masih 16 tahun akan tetapi sebentar lagi aku akan menjadi ibu. Jadi aku harus lebih matang mulai dari sekarang agar aku bisa mendidik anak kita dengan baik, Mas.”

Hal yang paling bisa membuat hati Aru meleleh dan tak bisa berkata-kata adalah bagaimana Bela selalu mengusahakan yang terbaik untuk rumah tangga mereka yang baru berusia tiga bulan itu. Bahkan jika dipikir-pikir semenjak mereka berdua dijodohkan, Bela yang akan melakukan lebih banyak berinisiatif demi masa depan mereka sebagai seorang wanita, bahkan tanpa Aru memintanya sekali pun.

Sudut bibir Aru melengkung pelan, nampak berat dan kaku. “Iya, iya, Istriku Sayang. Mau kupeluk?” Aru merentangkan tangannya yang lemah. Walau harus menahan dunia di atas pundaknya Aru akan rela melakukannya asalkan dia bisa melihat Bela bahagia.

Tanpa perlu pikir panjang Bela pun segera berhambur pada dekapan lembut milik Aru. Matanya yang sangat cantik bermanik lembut itu terpejam, menyisihkan pemandangan kamar tidur milik mereka yang didominasi oleh warna putih dan abu-abu.

Merasakan kehangatan tubuh Bela, Aru hampir meneteskan air mata. Bagaimana bisa Tuhan begitu tidak adil? Di saat Aru sudah menemukan kebahagiaan kekal miliknya, dia harus merelakan itu semua demi meraih kesembuhan. Dan di saat kehidupannya akan menjadi sempurna tiba-tiba saja Aru harus menghilang untuk sementara waktu.

“Aku sayang dengan istriku yang manja,” serak Aru sembari mengusap pelan rambut Bela. Semua ingatan mengenai pertemuan mereka kini kembali terbayang. Kenangan-kenangan itu seperti berpusar dan lalu berderet acak di depan mata Aru yang memaksa otaknya untuk menangkap kenangan sebisanya.

Lelaki itu masih ingat pertemuannya dengan Bela satu tahun lalu. Aru masih ingat betapa indah dan murni kecantikan Bela, dengan kulitnya yang seputih susu, dan pandangan matanya yang sangat jernih. Wajahnya yang terus berseri dengan senyuman dari bibir merekah yang bisa membuat jantung Aru berdebar kencang. Aru ingat semuanya, bahkan dia mengingat kala dia tidak bisa menemukan satu kata pun untuk menyapa Bela kala pertemuan pertama mereka. Aru terlalu terpesona kala itu.

Meletakkan semua ingatan itu untuk sebentar, Aru menangkap ingatan lain yang menariknya menuju ke realita yang tengah dia hadapi. Dengan menarik napas yang pendek dan lemah Aru bertanya, “Sayang, apa kamu masih ingat Elang?”

Mata Bela yang tertutup kala merasakan kehangatan penuh milik suaminya kini pun terbuka. “Ingat kok, Mas. Mas Elang itu saudara kembarnya Mas kan?”

Aru mengangguk lirih. Kembali mendekap erat Bela, lelaki itu menyahut, “Benar. Apa saja yang kamu ingat tentang Elang?” Pandangan Aru melompat jauh ke luar, seakan dia tengah memandang ujung pohon mangga yang tumbuh subur di samping rumahnya, dan seakan Aru ingin menemukan satu keajaiban di sana agar bisa membuat hidupnya pulih seperti semula.

Akan tetapi pada kenyataannya dia tengah mengingat Elang. Aru tengah mengingat bagaimana dia mengancam Elang tadi pagi hingga membuat Elang mengurungkan niat untuk meninju dan memusnahkannya.

Bela melirik pada langit-langit, dan mencoba menelusuri ingatannya kembali. “Seingat aku, berdasarkan ceritanya Mas sih, Mas Elang itu waktu kecil sangat kurus dan tidak sehat. Bahkan dia itu bisa terbang jika angin paling lirih mengenainya, aku tau itu perumpamaan kok.” Bela terkekeh pelan. “Aku juga mengingat bahwa ibu (ibu kandung Aru dan Elang yang bernama Bu Yasmin) dulu meninggalkan Mas Elang dan memilih Mas untuk pergi bersama.”

Bela berpikir kembali untuk menggali potongan ingatan miliknya yang tak beraturan dan bercecer di setiap sudut otaknya. Kemudian dia berhasil mengumpulkan beberapa keping dan melanjutkan ucapannya sendiri, “Lalu aku juga ingat bahwa saat remaja Mas Elang yang saat itu harusnya tinggal di Amerika tiba-tiba datang ke rumah ibu dan Mas. Mas Elang bilang dia ingin tinggal dengan kalian. Tubuhnya sudah jauh sangat sehat waktu remaja. Aku hanya ingat itu saja sih, Mas. Kenapa Mas bertanya?”

Aru yang terhanyut dalam kenangan kelam mengenai Elang tiba-tiba tersadar lagi. Jiwa lelaki itu sempat terseret, dan hanya Bela yang bisa menahannya. “Tidak, tiba-tiba aku teringat dengannya saja. Menurutmu sekarang ini bagaimana penampilan Elang? Aku yakin dia sudah menjadi orang besar karena mewarisi perusahaan milik ayah di Amerika. Pasti dia sangat keren dan tampan kan?”

Bela benar-benar serius dalam mempertimbangkan pendapatnya. Walau bagaimana pun Elang adalah kembaran Aru, sekaligus saudara ipar Bela. Meski mereka tidak pernah bertemu akan tetapi Bela tetap menghormati dan menghargai Elang sebagai keluarga. “Kalau saat kecil dia sakit-sakitan dan kurus, lalu ketika remaja dia menjadi sehat berarti, maka besar kemungkinan sekarang dia kekar dan sangat keren sih, Mas. Tipikal lelaki berotot yang digilai banyak wanita.”

Aru menyunggingkan sudut bibirnya. Mengetahui Bela bisa menebak begitu valid entah kenapa telah menyakiti perasaan Aru. Karena pada nyatanya Elang memang tumbuh dengan baik : dengan tubuh yang kekar dan perawakan yang keren. Dan sejujurnya saja lelaki seperti Elang yang lebih cocok bersanding dengan Bela. ‘Bukan lelaki seperti aku,’ batin Aru teriris perih.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status