Share

6. Aku Akan Pergi Meninggalkan Bela

Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya.

Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok.

Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya.

Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit. Akan tetapi lemahnya tubuh hingga ke kakinya telah menuntut lelaki itu untuk memperlambat langkah selambat mungkin.

Demi menjaga keseimbangan agar bisa melewati hari ini dengan lancar dan tanpa satu masalah pun, Aru menahan dirinya sendiri untuk tidak bertindak bodoh. Dia sudah dewasa, dan dia tau mana yang harus dipiroritaskan. Jadi dia menahan dengan sekuat tenaga.

Melewati dengan susah payah akhirnya Aru bisa mencapai area lobi, sebuah ruangan sangat luas dengan deret kursi tunggu tak jauh dari ruang resepsionis dan pendaftaran. Kursi kaca didorong Aru dengan agak sempoyongan, tangannya gemetar.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya seorang pegawai berparas cantik dengan pakaian seragam motif batik berwarna biru. Tak jauh dari pegawai itu berdirilah seorang security berbadan sangat gempal, hingga mengingatkan Aru pada tokoh para hero di dalam film box office.

Menyeka keringat di dahinya Aru berkata, “Saya ingin tau di mana ruangan kantor Dokter Dimas. Apakah beliau masih berpraktik di ruang yang sama seperti sebelumnya, yakni lantai dua setelah ruang praktik Dokter Stevan?”

“Benar, Bapak. Ruangan Dokter Dimas masih sama. Silakan pergi ke meja pendaftaran untuk mendaftar agar bisa berkonsultasi dengan Dokter Dimas.”

“Baik. Tapi boleh saya bertanya lagi? Apa Dokter Dimas sudah datang? Karena jika belum saya berniat untuk keluar dan mencari makanan dulu.” Alasan yang berputar-putar dari Aru, dengan tujuan yang sangat sederhana yakni ingin menemui Dimas, sahabatnya sendiri.

Pegawai di meja resepsionis itu mulai memberikan tatapan curiga. Seorang pasien yang hanya ingin berkonsultasi tidak akan bertanya sedetail itu kan? Akan tetapi ketika mengambil sebuah kesimpulan sepihak yang ceroboh adalah usaha melanggar kode etik maka dari itu pegawai tersebut tetap menjawab seramah mungkin.

“Biasanya Dokter Dimas akan datang lima belas menit sebelum praktek dibuka. Silakan menunggu dan mendaftar di meja pendaftaran.” Senyum mengembang dengan sangat ramah dan Aru sadar apa yang sedang dia dapatkan saat ini, yakni peringatan tidak halus bahwa dia tidak diperbolehkan mencari tau lebih jauh. Biar bagaimana pun apa yang dilakukan Aru saat ini memang mencurigakan.

Aru akhirnya menyerah. Mungkin lebih baik dia menunggu saja di kursi tunggu pada koridor di mana Dimas seharusnya lewat. Semoga saja sahabatnya itu tidak akan disibukkan berbagai hal sebelum pergi ke ruangannya, jadi Dimas tidak akan mengambil rute lain yang tidak akan diketahui oleh Aru.

Beberapa langkah diambil dengan pelan, sampai akhirnya mata sayu milik Aru menemukan sosok yang dia cari. Dengan senyuman penuh syukur Aru melambai, “Dim!”

Semua orang yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu pun menoleh demi melihat siapa yang berteriak cukup keras di rumah sakit itu. Pegawai resepsionis di belakang meja tiba-tiba saja menjadi sangat cemas dengan keselamatan Dimas. Maka dari itu dia memanggil security dan memintanya untuk mengawal Dimas jika terjadi apa-apa padanya.

Security bertubuh sangat gempal itu mengangguk patuh. Berlari-lari kecil dia secepat kilat mendekati Aru dengan niatan untuk menahan lelaki bertubuh layu itu. Akan tetapi ketika melihat Dimas ikut melambai demi membalas panggilan Aru akhirnya membuat security tersebut menghentikan langkah kakinya. Matanya memandang bingung dan kemudian menoleh pada pegawai resepsionis untuk memberikan protes singkat.

“Ru? Aru? Itu kau?” Mata sipit Dimas terlihat sulit mempercayai siapa yang dia lihat. Sembari menyambar kacamata di dalam saku jas praktek miliknya, dan lalu mengenakannya, Dimas berjalan cepat untuk mendekati Aru. Sampai akhirnya dokter itu bisa tersenyum lebih sumringah kala akhirnya bisa memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar sahabatnya, bukan orang yang hanya sekedar mirip.

“Apa kabar, Dim? Apa semuanya lancar?” tanya Aru sembari menepuk bahu kurus milik Dimas yang kini memeluknya. Akhirnya Aru bisa menemui sahabatnya kembali setelah sekian lama terpisah karena Dimas melanjutkan studi sembari melakukan praktek di luar negeri. Baru dua bulan lalu Dimas pulang dan memilih untuk mengabdikan diri di rumah sakit pada kota di mana dia dilahirkan.

“Baik, Ru. Aku sangat baik. Kau sendiri bagaimana? Dan kenapa datang tapi tidak mengabariku terlebih dahulu? Padahal kamu langsung bisa datang ke rumahku.” Dimas melepas pelukannya yang agak menyesakkan napas Aru. Tubuhnya yang jangkung dan kurus itu kini seperti membayangi Aru dengan sebuah harapan yang lebih besar dari sebelumnya.

Dengan agak canggung Aru menjawab, “Aku masih belum tau alamat barumu, akan tetapi di sosial media kamu sering upload tentang lokasi tempat praktekmu yang baru, jadi…”

“Ok – ok aku paham.” Dimas kembali menepuk bahu Aru. Matanya yang sudah terbingai oleh lensa kacamata itu kini baru menemukan hal yang salah dari sahabatnya sendiri. Dimas baru  menyadari betapa kurus tubuh Aru sekarang ini beserta punggung yang agak bungkuk seakan dia menahan beban tubuhnya dengan sangat keras. Dan juga kulit sangat pucat milik Aru serta sorot mata awas milik lelaki itu yang kini hilang sepenuhnya.

Entah apa tujuan Aru untuk datang menemui Dimas, akan tetapi dokter itu sepertinya tau bahwa semua itu menyangkut masalah yang sangat serius, seserius kondisi Aru yang saat ini sangat mengenaskan.

Mencoba untuk pura-pura tidak sadar Dimas mengajak Aru, “Aku memiliki jam praktek tiga puluh menit kemudian. Aku sendiri memang sengaja datang lebih awal hari ini, dan sepertinya Tuhan menggerakkan hatiku karena kau akan datang menemuiku.  Jadi ayo bergegas, kau pasti ingin segera bicara kan?”

Langkah kaki panjang dan bergegas milik Dimas kini dibuat agak pelan. Sejatinya lelaki berwajah oriental itu sangat tau seberapa parah kondisi Aru untuk saat ini. Akan tetapi membicarakannya di depan umum  dan meski maknanya tidak tersurat juga bukan hal yang bagus. Aru harus mendapat perlindungan mental dan meyakinkannya bahwa semuanya akan tetap berada di tempatnya dan tertutup rapat.

Menyusuri koridor demi koridor Aru akhirnya berhenti pada sebuah ruangan praktik dengan papan gantung bertuliskan Dr. Dimas Sudjojo di depan pintu. Banyaknya orang yang berlalu lalang semakin membuat kepala Aru serasa tidak nyaman. Jadi setelah mendapat celah sedikit saja dari pintu yang terbuka, Aru segera masuk ke dalam ruangan praktek milik Dimas.

“Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Dimas masih sibuk menata peralatan praktek miliknya. Dokter itu juga mengelurkan beberapa benda dari dalam tas kerja jinjing miliknya. Jas warna putih di tubuhnya dirapikan sekali lagi. “Apa kau ingin membahas mengenai penyakitmu atau hal yang lain? Jika memang soal yang lain maka lekas katakan padaku. Akan tetapi jika ini soal penyakitmu maka aku akan bilang bahwa kau harus cepat mendapat pengobatan!”

Lensa kaca pada kacamata milik Dimas berkilau tertimpa sinar lampu di atas mereka. Bayang-bayang mata sipit milik dokter itu telah jatuh di dalam pandangan berkabut milik Aru. Muncul napas lega dari Aru yang merasa bahwa beban di pundaknya terangkat seluruhnya. Ini mungkin akan lebih mudah dari yang Aru pikirkan.

Menggenggam kepalan tinju dengan erat seraya memompa tekadnya. “Aku akan membahas mengenai masalah lain terlebih dahulu sebelum beralih pada kondisi tubuhku.” Meskipun keduanya saling menyambung satu sama lain, Aru telah memutuskan untuk memprioritaskan Bela di atas kesehatan Aru sendiri. Berhubung tenaga Aru masih cukup banyak, maka dari itu Aru akan menjelaskan peran yang dia harapkan akan dijalankan oleh Dimas kelak.

“Aku akan pergi meninggalkan Bela. Sementara itu aku meminta Elang untuk menggantikan posisiku sebagai suami demi menjaga Bela. Dan aku butuh bantuanmu untuk melancarkan rencanaku, Dim.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status