Share

7. Bela Tidak Akan Pernah Meninggalkanmu

“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.

“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”

“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.

Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.

“Aku tau, akan tetapi hanya itu kesempatan yang aku miliki” Bergetar karena tubuhnya yang kembali lemah, Aru mencoba untuk menegakkan kepalanya sendiri.

Dimas seolah menyerah. Dia tidak pernah mendapati Aru begitu lemah seperti sekarang ini. Saat keduanya masih duduk di bangku SMA, Dimas tau bahwa Aru memiliki kondisi tubuh paling prima di antara siapa pun.

Tubuhnya yang memang tidak setinggi Dimas selalu saja dipadati dengan aktivitas fisik yang menyehatkan, salah satunya adalah bermain basket. Otot bisep milik Aru akan terpompa sempurna paska bertanding dengan kawan-kawannya, dan itu memberikan kesan sangat macho dan juga sangat sehat, sehingga membuat Dimas sedikit iri pada sahabatnya itu.

Akan tetapi lihatlah sekarang ini. Jangankan otot bisep yang kekar, daging saja sepertinya sudah luruh dan diambil paksa dari tubuh rapuh milik Aru. Sorot mata tajam dan berapi-api milik Aru saat melihat arena basket ini sudah hampir redup sepenuhnya, apalagi kala mengalami keletihan tak terhingga seperti sekarang ini.

Dimas tak bisa melihat lebih jauh dari kesengsaraan Aru untuk saat ini sehingga dokter itu pun berkata, “Kau harus istirahat dulu! Jika kau butuh bantuanku, maka kau harus datang dalam keadaan yang prima karena itu akan membuatmu berpikir jernih dan bisa berkomunikasi dengan baik denganku.”

Awalnya Aru ingin menolak anjuran dari Dimas, akan tetapi kala merasakan tubuhnya semakin lemah saja Aru akhirnya menurut dan patuh. Toh tidak mungkin Aru bisa bertahan lebih lama lagi. Yang akan terjadi jika Aru ngeyel adalah dia yang akan terbujur dan jatuh pingsan. Itu juga akan menambah masalah lagi, padahal kedatangannya ke sini demi menyelesaikan masalah yang sedang dia hadapi.

Akhirnya dengan bantuan ringan dari Dimas yang membopongnya, Aru kini bisa mendapatkan waktu istirahatnya kembali.

Waktu praktek tinggal dua puluh menit lagi, akan tetapi Dimas memaksakan diri untuk menyetir mobilnya secepat yang dia bisa untuk menuju ke rumahnya yang berlokasi tidak terlalu jauh dari rumah sakit di mana dia bertugas.

Di rumahnya itu Dimas menitipkan Aru pada asisten rumah tangannya, dan berpesan padanya bahwa jika ada apa-apa pada Aru maka asisten rumah tangga itu harus segera menghubungi Dimas secepatnya.

Masalah tentang Aru sudah beres, dan bahkan mobil milik lelaki lemah itu sudah berada di pekarangan rumah Dimas setelah Dimas meminta seorang kenalannya untuk membawa mobil tersebut pulang ke rumahnya.

Dimas pun kembali ke rumah sakit untuk memulai tugasnya sebaik yang dia bisa sembari mengatur jadwal setepat mungkin agar dia bisa segera pulang demi menemui Aru dan membahas mengenai usulan gila dari sahabatnya itu.

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pekarangan rumah Dimas yang ditumbuhi berbagai pot bunga besar dengan macam tumbuhan yang beragam kini disinari oleh lampu depan mobil yang menyala terang.

Laju mobil berwarna putih itu sudah semakin mendekat, dan kemudian berlalu sampai ke garasi yang terletak di samping rumah, dan lalu berhenti. Dimas keluar secepatnya dari dalam mobil, membawa peralatan praktek miliknya dan tak lupa mematikan mesin.

Menemui asisten rumah tangga miliknya yang mengatakan bahwa Aru sedang duduk di dalam kamar telah membuat Dimas bergegas menaiki tangga di dalam rumahnya untuk menuju ke kamar tamu yang berada di lantai dua. Sejujurnya Dimas menyarankan agar Aru ditempatkan di kamar tamu lantai satu, karena itu akan memudahkan semua orang dalam merawat Aru. Akan tetapi sepertinya miskomunikasi terjadi di sini.

“Ru? Kau ada di dalam?” ketuk Dimas pada pintu di mana Aru ditempatkan. Sebelum mendengar jawaban apa pun dari Aru, Dimas sudah mendorong kenop pintu dan mendapati Aru yang sedang duduk menghadap jendela kaca tinggi dengan korden yang terbuka. Jendela kaca itu juga sedang terbuka yang mempersilakan angin sore masuk dan membuat udara di dalam ruangan menjadi agak hangat.

“Jika AC-nya terlalu dingin, atau jika kau tidak kuat AC maka kau bisa mematikannya.” Dimas meraih remote AC yang terletak di atas meja di sisi ranjang. Melihat punggung rapuh Aru telah menarik Dimas untuk mendekat bersama kursi kayu yang dia seret bersamanya.

Tubuh Dimas masih dibalut oleh kemeja warna putih dengan motif garis tipis yang dibuat dari bordiran benang, sementara jaket praktek miliknya sudah dihempaskan begitu saja di atas ranjang kamar itu beserta tas kerja warna hitam miliknya.

“Aku tidak kedinginan sama sekali. Malang justru lebih dingin, jadi…” Aru mengedikkan bahu. Kala mengatakan semua itu pandangannya menyorot jauh, seakan sedang ingin mencari sesuatu. Lalu lelaki pucat itu menoleh pelan, “Bagaimana pekerjaanmu? Apa kau terlambat karena sempat mengantarkanku tadi siang?”

“Tidak,” geleng Dimas pelan. “Aku baik-baik saja, dan semuanya berjalan sangat lancar. Berhubung kondisimu sekarang sudah membaik, jadi aku akan menuntutmu untuk menjelaskan padaku semuanya. Semua itu berarti semua, kau tau maksudku kan?”

Aru tau betul, sungguh tau. Dimas sedang menuntut Aru untuk menceritakan semua masalah yang dihadapi oleh Aru tanpa perlu menyembunyikan satu pun di antara semuanya. Dan Aru sama sekali tidak terbebani karena dia sedari awal sudah mempersiapkan diri, dan siap untuk mengulik aib dan juga kelemahannya sekarang ini.

“Aku memang sakit.” Wajah Aru masih menoleh pada Dimas. Kedipan matanya sangat layu seakan dia hampir saja akan pingsan. “Dan aku akan segera menjalani pengobatan. Akan tetapi aku tidak ingin Bela tau bahwa aku mengalami semua ini, semua tragedi ini.” Dada Aru menjadi sangat perih secara tiba-tiba. Bukan karena serangan sakit karena penyakitnya, akan tetapi lebih seperti serangan perih karena luka hati yang menyayat perasaannya.

“Aku tidak ingin Bela melihat kondisiku yang seperti ini, untuk waktu yang lama. Dan aku tidak ingin Bela tau bahwa aku menyimpan penyakit di dalam tubuhku. Aku – aku hanya tidak ingin dia menjadi seperti ibuku.” Aru menghentikan ucapannya sendiri. Sekarang tenggorokannya menjadi sangat berat dan tercekat.

Apa ini? Padahal Aru sudah mempersiapkan dari sebelumnya, padahal Aru sudah berlatih dan juga mengurutkan hal yang harus dia utarakan pada Dimas secara runtut, dan Aru sudah melatihnya berulang kali. Akan tetapi kenapa? Kenapa rasanya masih seberat ini? Bahkan seluruh perih dan rasa sakit yang menghujam tubuhnya seolah bukan apa-apa dibandingkan membicarakan penyakitmu sendiri.

Dimas menarik napas sangat panjang. Menangani pasien yang sedang lemah semangat memang bukan perkara mudah. Akan tetapi sebagai seorang dokter, Dimas akan mengerahkan tenaga agar bisa memberikan motivasi hidup pada seluruh pasiennya. Dan anggap saja Aru adalah salah satu di antaranya.

“Ru, semua manusia itu tidak sama. Tidak pernah Tuhan menciptakan suatu makhluk dalam keadaan yang sama persis. Bahkan sidik jari manusia di seluruh dunia saja berbeda, apalagi kepribadian manusia yang lebih kompleks?

“Aku tau dulu ibumu meninggalkan ayah dan kembaranmu karena mereka mengalami sakit, dan ibumu tidak tahan dengan semua itu maka dari itu ibumu dulu memilih mundur dan pergi begitu saja. Akan tetapi Bela bukan ibumu, Ru, mereka jelas berbeda.

“Jadi aku hanya bisa berkata bahwa kau masih memiliki kesempatan untuk sembuh tanpa perlu meninggalkan Bela secara sembunyi-sembunyi. Sejauh yang kulihat Bela adalah gadis yang sangat baik, bahkan kesan itu sangat melekat di dalam otakku saat kau mengenalkan kami delapan bulan yang lalu. Dari penilaian itu aku tau bahwa dia tidak akan berbuat seperti itu, Bela tidak akan meninggalkanmu.”

Aru tau Dimas hanya sedang menyemangatinya saja. Hal itu dilakukan agar kondisi mental Aru bisa membaik demi bisa melawan penyakit yang sedang dideritanya. Aru sudah hapal semua prosesi ini, dan juga semua rentetan kata yang telah dia dengar saat ini.

Dan dengan begitu keputusan Aru tetap tidak berubah. Dia tetap akan menukar posisinya dengan Elang selagi dirinya menjalani pengobatan demi meraih kesembuhan.

Dengan begini mungkin Aru yang menelantarkan Bela. Akan tetapi Aru melakukannya bukan atas dasar keegoisan, jadi Aru tau bahwa Bela tidak akan pernah membencinya karena hal ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status