“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.
“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”
“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.
Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.
“Aku tau, akan tetapi hanya itu kesempatan yang aku miliki” Bergetar karena tubuhnya yang kembali lemah, Aru mencoba untuk menegakkan kepalanya sendiri.
Dimas seolah menyerah. Dia tidak pernah mendapati Aru begitu lemah seperti sekarang ini. Saat keduanya masih duduk di bangku SMA, Dimas tau bahwa Aru memiliki kondisi tubuh paling prima di antara siapa pun.
Tubuhnya yang memang tidak setinggi Dimas selalu saja dipadati dengan aktivitas fisik yang menyehatkan, salah satunya adalah bermain basket. Otot bisep milik Aru akan terpompa sempurna paska bertanding dengan kawan-kawannya, dan itu memberikan kesan sangat macho dan juga sangat sehat, sehingga membuat Dimas sedikit iri pada sahabatnya itu.
Akan tetapi lihatlah sekarang ini. Jangankan otot bisep yang kekar, daging saja sepertinya sudah luruh dan diambil paksa dari tubuh rapuh milik Aru. Sorot mata tajam dan berapi-api milik Aru saat melihat arena basket ini sudah hampir redup sepenuhnya, apalagi kala mengalami keletihan tak terhingga seperti sekarang ini.
Dimas tak bisa melihat lebih jauh dari kesengsaraan Aru untuk saat ini sehingga dokter itu pun berkata, “Kau harus istirahat dulu! Jika kau butuh bantuanku, maka kau harus datang dalam keadaan yang prima karena itu akan membuatmu berpikir jernih dan bisa berkomunikasi dengan baik denganku.”
Awalnya Aru ingin menolak anjuran dari Dimas, akan tetapi kala merasakan tubuhnya semakin lemah saja Aru akhirnya menurut dan patuh. Toh tidak mungkin Aru bisa bertahan lebih lama lagi. Yang akan terjadi jika Aru ngeyel adalah dia yang akan terbujur dan jatuh pingsan. Itu juga akan menambah masalah lagi, padahal kedatangannya ke sini demi menyelesaikan masalah yang sedang dia hadapi.
Akhirnya dengan bantuan ringan dari Dimas yang membopongnya, Aru kini bisa mendapatkan waktu istirahatnya kembali.
Waktu praktek tinggal dua puluh menit lagi, akan tetapi Dimas memaksakan diri untuk menyetir mobilnya secepat yang dia bisa untuk menuju ke rumahnya yang berlokasi tidak terlalu jauh dari rumah sakit di mana dia bertugas.
Di rumahnya itu Dimas menitipkan Aru pada asisten rumah tangannya, dan berpesan padanya bahwa jika ada apa-apa pada Aru maka asisten rumah tangga itu harus segera menghubungi Dimas secepatnya.
Masalah tentang Aru sudah beres, dan bahkan mobil milik lelaki lemah itu sudah berada di pekarangan rumah Dimas setelah Dimas meminta seorang kenalannya untuk membawa mobil tersebut pulang ke rumahnya.
Dimas pun kembali ke rumah sakit untuk memulai tugasnya sebaik yang dia bisa sembari mengatur jadwal setepat mungkin agar dia bisa segera pulang demi menemui Aru dan membahas mengenai usulan gila dari sahabatnya itu.
…
Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pekarangan rumah Dimas yang ditumbuhi berbagai pot bunga besar dengan macam tumbuhan yang beragam kini disinari oleh lampu depan mobil yang menyala terang.
Laju mobil berwarna putih itu sudah semakin mendekat, dan kemudian berlalu sampai ke garasi yang terletak di samping rumah, dan lalu berhenti. Dimas keluar secepatnya dari dalam mobil, membawa peralatan praktek miliknya dan tak lupa mematikan mesin.
Menemui asisten rumah tangga miliknya yang mengatakan bahwa Aru sedang duduk di dalam kamar telah membuat Dimas bergegas menaiki tangga di dalam rumahnya untuk menuju ke kamar tamu yang berada di lantai dua. Sejujurnya Dimas menyarankan agar Aru ditempatkan di kamar tamu lantai satu, karena itu akan memudahkan semua orang dalam merawat Aru. Akan tetapi sepertinya miskomunikasi terjadi di sini.
“Ru? Kau ada di dalam?” ketuk Dimas pada pintu di mana Aru ditempatkan. Sebelum mendengar jawaban apa pun dari Aru, Dimas sudah mendorong kenop pintu dan mendapati Aru yang sedang duduk menghadap jendela kaca tinggi dengan korden yang terbuka. Jendela kaca itu juga sedang terbuka yang mempersilakan angin sore masuk dan membuat udara di dalam ruangan menjadi agak hangat.
“Jika AC-nya terlalu dingin, atau jika kau tidak kuat AC maka kau bisa mematikannya.” Dimas meraih remote AC yang terletak di atas meja di sisi ranjang. Melihat punggung rapuh Aru telah menarik Dimas untuk mendekat bersama kursi kayu yang dia seret bersamanya.
Tubuh Dimas masih dibalut oleh kemeja warna putih dengan motif garis tipis yang dibuat dari bordiran benang, sementara jaket praktek miliknya sudah dihempaskan begitu saja di atas ranjang kamar itu beserta tas kerja warna hitam miliknya.
“Aku tidak kedinginan sama sekali. Malang justru lebih dingin, jadi…” Aru mengedikkan bahu. Kala mengatakan semua itu pandangannya menyorot jauh, seakan sedang ingin mencari sesuatu. Lalu lelaki pucat itu menoleh pelan, “Bagaimana pekerjaanmu? Apa kau terlambat karena sempat mengantarkanku tadi siang?”
“Tidak,” geleng Dimas pelan. “Aku baik-baik saja, dan semuanya berjalan sangat lancar. Berhubung kondisimu sekarang sudah membaik, jadi aku akan menuntutmu untuk menjelaskan padaku semuanya. Semua itu berarti semua, kau tau maksudku kan?”
Aru tau betul, sungguh tau. Dimas sedang menuntut Aru untuk menceritakan semua masalah yang dihadapi oleh Aru tanpa perlu menyembunyikan satu pun di antara semuanya. Dan Aru sama sekali tidak terbebani karena dia sedari awal sudah mempersiapkan diri, dan siap untuk mengulik aib dan juga kelemahannya sekarang ini.
“Aku memang sakit.” Wajah Aru masih menoleh pada Dimas. Kedipan matanya sangat layu seakan dia hampir saja akan pingsan. “Dan aku akan segera menjalani pengobatan. Akan tetapi aku tidak ingin Bela tau bahwa aku mengalami semua ini, semua tragedi ini.” Dada Aru menjadi sangat perih secara tiba-tiba. Bukan karena serangan sakit karena penyakitnya, akan tetapi lebih seperti serangan perih karena luka hati yang menyayat perasaannya.
“Aku tidak ingin Bela melihat kondisiku yang seperti ini, untuk waktu yang lama. Dan aku tidak ingin Bela tau bahwa aku menyimpan penyakit di dalam tubuhku. Aku – aku hanya tidak ingin dia menjadi seperti ibuku.” Aru menghentikan ucapannya sendiri. Sekarang tenggorokannya menjadi sangat berat dan tercekat.
Apa ini? Padahal Aru sudah mempersiapkan dari sebelumnya, padahal Aru sudah berlatih dan juga mengurutkan hal yang harus dia utarakan pada Dimas secara runtut, dan Aru sudah melatihnya berulang kali. Akan tetapi kenapa? Kenapa rasanya masih seberat ini? Bahkan seluruh perih dan rasa sakit yang menghujam tubuhnya seolah bukan apa-apa dibandingkan membicarakan penyakitmu sendiri.
Dimas menarik napas sangat panjang. Menangani pasien yang sedang lemah semangat memang bukan perkara mudah. Akan tetapi sebagai seorang dokter, Dimas akan mengerahkan tenaga agar bisa memberikan motivasi hidup pada seluruh pasiennya. Dan anggap saja Aru adalah salah satu di antaranya.
“Ru, semua manusia itu tidak sama. Tidak pernah Tuhan menciptakan suatu makhluk dalam keadaan yang sama persis. Bahkan sidik jari manusia di seluruh dunia saja berbeda, apalagi kepribadian manusia yang lebih kompleks?
“Aku tau dulu ibumu meninggalkan ayah dan kembaranmu karena mereka mengalami sakit, dan ibumu tidak tahan dengan semua itu maka dari itu ibumu dulu memilih mundur dan pergi begitu saja. Akan tetapi Bela bukan ibumu, Ru, mereka jelas berbeda.
“Jadi aku hanya bisa berkata bahwa kau masih memiliki kesempatan untuk sembuh tanpa perlu meninggalkan Bela secara sembunyi-sembunyi. Sejauh yang kulihat Bela adalah gadis yang sangat baik, bahkan kesan itu sangat melekat di dalam otakku saat kau mengenalkan kami delapan bulan yang lalu. Dari penilaian itu aku tau bahwa dia tidak akan berbuat seperti itu, Bela tidak akan meninggalkanmu.”
Aru tau Dimas hanya sedang menyemangatinya saja. Hal itu dilakukan agar kondisi mental Aru bisa membaik demi bisa melawan penyakit yang sedang dideritanya. Aru sudah hapal semua prosesi ini, dan juga semua rentetan kata yang telah dia dengar saat ini.
Dan dengan begitu keputusan Aru tetap tidak berubah. Dia tetap akan menukar posisinya dengan Elang selagi dirinya menjalani pengobatan demi meraih kesembuhan.
Dengan begini mungkin Aru yang menelantarkan Bela. Akan tetapi Aru melakukannya bukan atas dasar keegoisan, jadi Aru tau bahwa Bela tidak akan pernah membencinya karena hal ini.
***
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan
Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pe
“Halo, Ru? Elang hilang.” Dimas terengah saat mengatakan hal itu. Wajahnya bahkan sudah dipenuhi oleh bulir keringat. Dia sedang mondar-mandir di tempat di mana mobil ringsek Aru digulingkan.Sementara Aru yang masih berada di jalan untuk menuju ke bandara hanya bisa mematung, seolah enggan mempercayai apa yang baru saja dia dengar. “Ini mimpi kan? Aku pasti tertidur di mobil menuju ke bandara lalu memimpikan hal yang tidak-tidak,” bisik Aru pada dirinya tanpa sadar.Sebelum benar-benar meninggalkan Elang dan misi mereka, Aru memang sudah berpikiran negative. Di antaranya adalah bagaimana jika nanti terdapat banyak rintangan yang bisa mengagalkan rencana kali ini?Bagaimana jika sesuatu terjadi atau bagaimana jika Elang tiba-tiba kabur dan mengelabuhi
Elang sudah mulai tersadar walau dia belum ingin memperlihatkannya. Tangannya diikat di belakang punggung sementara mulutnya ditempeli lakban sehingga dia tidak bisa berbicara atau berteriak.‘Itukah penculikku?’ batin Elang yang pelan-pelan membuka mata untuk mengintip. Sekarang dia berada di dalam mobil untuk menuju ke suatu tempat yang tidak Elang ketahui.Saat bersembunyi di hutan Alas Roban, Elang sedang membuat panggilan dengan Dimas. Seperti yang sudah diketahui, Elang sendiri tidak bisa menjawab apa pun karena saking terkejutnya dia saat melihat pistol tiba-tiba ditodong ke kepalanya.Ada dua sosok hitam di depannya saat itu, yang berbadan tegap dan tidak terlalu jelas wajahnya. Keduanya membawa senjata. Satu orang membawa pistol, yang ditodongkan pada Elang, satunya lagi membawa pisau y