Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.
Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.
“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elang telah mendapat banyak kesulitan karenamu dan karena ibumu. Jikalau pun dia mau mengambil peran ini, bukan tidak mungkin dia hanya akan mengalihkan perhatianmu agar bisa melakukan sesuatu yang buruk di kemudian hari,” kobar Dimas kala mereka masih membahas mengenai rencana tersebut.
Aru nampaknya sudah menyiapkan semua jawaban yang akan dia berikan, mengingat betapa penuh persiapan lelaki lemah itu. Apalagi kala mendapati bahwa sekarang tubuhnya semakin lemah dan perlu mendapatkan perawatan. Aru harus segera bergegas. “Aku sudah mengancam Elang. Jika dia tidak mengambil peran ini, dan jika dia tidak melakukannya dengan baik maka aku akan melaporkannya pada ayah. Dia sedang melarikan diri di sini, dan aku bisa membongkar semuanya. Aku tidak sungguh-sungguh akan melaporkannya, akan tetapi aku tetap harus memiliki ancaman yang kuat agar bisa menarik kemauannya di sini.”
Sekarang Aru nampaknya mulai ragu. Di sepanjang jalan menuju ke rumahnya lelaki lemah dan kurus itu terus merenung tanpa henti. Matanya yang kacau dan sangat suram saat ini hanya memandang ke luar jendela, pada pemandangan persawahan yang diterpa angin di perbukitan itu.
Di belakang kemudi ada seorang kenalan Dimas yang diminta dokter itu untuk pergi mengantarkan Aru pulang dari Surabaya ke Malang, mengingat bahwa kondisi Aru sedang tidak baik dan Dimas tidak akan membiarkan hal itu begitu saja. Sementara di belakang mobil Aru, ada mobil lain yang akan memulangkan si pengemudi kembali ke Surabaya.
Rasanya tidak enak hati sudah merepotkan banyak orang, dan bagaimana nanti dia akan menjelaskan ini semua pada Bela? Pasti Bela akan bertanya kenapa Aru harus diantar pulang oleh orang lain. Hal paling mendukung lainnya adalah betapa pucat wajah dan kulit Aru sekarang. Ini tidak boleh dibiarkan. “Mas, nanti turunkan aku di tempat yang aku tunjuk ya?”
Si pengemudi terlihat kebingungan. “Tapi kata Dokter Dimas saya diminta untuk mengantarkan Mas Aru sampai ke rumah. Kalau Dokter Dimas tau bisa dimarahi saya, Mas.”
“Ya sudah kalau begitu jangan sampai Dimas tau, ya? Saya sangat minta tolong, Mas, sekali ini saja.”
Akhirnya pengemudi itu pun menyerah dan menuruti permintaan Aru.
Dalam waktu 1 jam 38 menit mereka sudah sampai di bibir perbatasan kota Malang. Tol Pandaan dijadikan rute paling sempurna untuk mengantarkan Aru untuk saat itu. Selang sekitar lima belas menit mobil Aru berhenti tepat setelah lelaki itu meminta pengemudi untuk menghentikan laju mobil.
Kini kedua orang itu bertukar tempat. Aru yang sudah menjadi lebih bertenaga karena beristirahat sebentar di belakang kini siap memacu mobilnya. Di tengah perjalanan menuju ke rumahnya banyak pikiran berlalu-lalang di dalam kepalanya, salah satunya adalah mengenai rencana yang akan dia lancarkan. Untuk sesaat Aru ingin membatalkan semuanya.
Pesan meluncur dari nomor Aru kepada nomor milik Elang. Isinya adalah tanggal dan waktu yang harus Elang tepati untuk melakukan perjalanan dari Pulau Lombok ke Kota Surabaya. Aru sudah mengatur semuanya dengan matang, termasuk apa yang akan dia lakukan di tengah jeda waktu yang ada.
Sesampainya di rumah Aru mendapati rumahnya kosong karena Bela masih berada di sekolah. Memeriksa pekerjaannya dengan sangat cepat, Aru akhirnya bisa merebahkan diri dengan sangat nyaman di atas ranjang setelah mampu menyelesaikannya.
Matanya berkedip sayu tatkala pandangannya jatuh pada atap langit-langit rumahnya yang berwarna putih. Jendela tinggi yang dibuka memberikan sirkulasi yang baik di dalam kamar, korden sempat berayun seakan menghibur kesedihan Aru yang entah sampai kapan bisa bertahan hidup.
Tak lama kemudian Aru pun tertidur, mungkin karena terlalu lelah setelah berada di sebuah perjalanan yang panjang, walau semuanya tidak dilakukan dalam satu hari penuh karena kemarin malam dia sempat menginap di rumah Dimas. Akan tetapi berada di luar rumah dan berjauhan dengan Bela telah membuat keletihan di tubuhnya semakin terasa saja.
Saat bangun Aru mendapati Bela sudah duduk di kursi belajarnya yang diletakkan di sudut ruangan, berdekatan dengan jendela. Mengamati kegigihan Bela dalam belajar demi meraih nilai yang tinggi meski dia sudah menikah telah memberikan kebanggaan bagi Aru.
Aru beringsut bangun, gerakan lembutnya ternyata mampu menarik perhatian Bela. Gadis cantik dengan kulit kenyal dan manis itu pun menoleh. Matanya seketika berbinar dengan senyum merekah tanpa henti di bibir ranumnya. “Mas Aru sudah bangun?”
Gadis itu beranjak untuk mendekati suaminya sendiri. Setelan kasual yang melekat di tubuh Bela tidak menurunkan kadar kecantikan dari gadis itu. Bahkan pada outfit paling sederhana sekali pun Aru akan tetap jatuh cinta kepada Bela.
Aru mengangguk pelan. Matanya serasa perih untuk dipaksa terbuka. “Aku mau mandi, Sayang. Bisa tolong siapkan air panas?”
Bela mengangguk patuh. Dalam gerakan lembut layaknya dewi gadis itu sudah berlalu ke kamar mandi untuk menyiapkan air panas di dalam sana. Sementara menunggu Aru memeriksa isi ponselnya. Di dalamnya berisi beberapa pesan dari para kolega yang menanyakan mengenai ketersediaan layanan yang dipesan, lalu ada pesan dari Dimas yang menanyakan posisinya sekarang. Akan tetapi dari kesekian pesan itu tidak ada satu pun pesan balasan dari Elang.
Diam-diam Aru diliputi kecemasan, jika ternyata apa yang dikatakan oleh Dimas benar bahwa Aru tak seharusnya mempercayai Elang. Akan tetapi tidak ada cara lain selain itu, jadi Aru mencoba untuk menumpukan setengah harapannya pada saudara kembarnya sendiri.
Setelah mandi Aru memeriksa keadaan Bela. Ketika melihat bahwa Bela masih sibuk dengan aktivitas belajarnya, Aru memilih untuk membuka laptop untuk menelusuri pekerjaan tertunda miliknya. Lelaki itu juga menyiapkan materi yang akan dia berikan pada Elang agar kembarannya itu bisa mempelajari jenis usaha yang dikembangkan oleh Aru untuk saat ini. Semua itu dilakukan demi tindakan preventif saja.
Pada jam makan malam Bela mengajak Aru untuk segera turun ke meja makan untuk menikmati hidangan yang dimasak sendiri oleh Bela. Mereka bercengkerama, dan lalu bercakap-cakap dengan sangat manis.
Setelah makan malam, Bela melanjutkan aktivitas belajarnya, mengingat bahwa ujian semakin dekat maka dia tidak bisa menyia-nyiakan waktu.
Melihat Bela yang tidak memberikan banyak perhatian pada Aru tentu membuat hati Aru menjadi lebih lemah dan sensitif. Aru ingin menarik Bela, merengkuh gadis itu demi menghentikan aktivitas belajarnya yang sangat tekun. Dengan kata lain Aru ingin dunia Bela berfokus padanya.
Mencoba untuk lebih bersabar dengan menyibukkan diri di tengah pekerjaannya, akan tetapi pada akhirnya Aru sudah tidak bisa melepaskan sosok Bela yang memunggunginya dari jauh. Aru menginginkan Bela, sekarang.
Jadi Aru pun menutup layar laptop miliknya dan memanggil, “Sayang? Masih lama belajarnya?” Suara Aru menjadi sangat lemah jika menaikkan tekanan pada tenggorokannya sendiri, terdengar seperti nada sumbang yang sangat pelik untuk didengar.
Bela pun menolehkan kepalanya dengan gesit. “Sebentar lagi, Mas. Ini aku tinggal mencocokkan hasil pekerjaanku saja kok.” Bela melambaikan pensil miliknya di udara dan kemudian melanjutkan belajarnya.
Karena sudah tidak sabaran lagi, Aru yang sudah lebih bertenaga dari sebelumnya kini mendekati Bela. Menarik sebuah kursi terdekat untuk merapatkan diri pada tubuh Bela. Tanpa pemberitahuan apa pun Aru merengkuh tubuh Bela dan menjatuhkan wajahnya pada tengkuk leher gadis itu. Aru hanya merindukan Bela, sangat, terlebih ketika mengingat bahwa sebentar lagi lelaki itu harus melepaskan istrinya sendiri.
***
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
“Aku hanya minta cium, Sayang. Bolehkah aku mencium bibirmu? Kita tidak pernah melakukan itu bahkan setelah menikah kan?” serak Aru di sela pelukan hangat miliknya. Dia kini agak mengangkat kepalanya, memandang pada bulu mata lentik Bela yang menjatuhkan bayang-bayang indah di wajahnya. Aroma Bela begitu manis, dan juga begitu harum. Aru menenggelamkan wajahnya kembali.Bela memang merasa lebih lega sekarang, akan tetapi pergerakan Aru tetap membuatnya tidak nyaman apalagi ini kali pertama seorang lelaki menyentuhnya sejauh ini. Walau pun orang yang menyentuhnya sekarang adalah suaminya, bukan berarti Bela bisa tenang sepenuhnya. Karena itu Bela segera berkata, “Mas, boleh lepaskan dulu pelukannya? Dan jangan ciumi leherku.”Aru mengernyit dan seketika itu juga dia menghentikan ciumannya yang dalam. Kepala dan
Elang sudah mengenakan setelan baju miliknya, yang sama persis dengan milik Aru hanya saja terdapat banyak sobekan dan lebam di sana-sini. Elang juga sudah mengenakan riasan agar nampak lebam dan terluka parah. Dia menjadi mual saat melihat drama yang akan dia lakukan, terutama ketika semua ini bertujuan untuk mengamankan hati seorang gadis.Aru hanya menghela napas. Dengan pandangan layu dia memandangi Elang yang sudah menjauh dan tidak terlihat di kegelapan. Mungkin Elang sudah benar-benar pergi dan lenyap di dalam hutan, dan sebentar lagi dia akan segera menggantikan Aru setelah ini. Wajah Aru meremang karena cemas.“Halo, Dim? Sorry, tadi aku tinggal sebentar untuk berbicara dengan Elang. Aku sudah di mobil dan siap berangkat ke bandara. Kau sendiri bagaimana?” tanya Aru yang sudah memasuki mobil dan memasang sabuk pe
“Halo, Ru? Elang hilang.” Dimas terengah saat mengatakan hal itu. Wajahnya bahkan sudah dipenuhi oleh bulir keringat. Dia sedang mondar-mandir di tempat di mana mobil ringsek Aru digulingkan.Sementara Aru yang masih berada di jalan untuk menuju ke bandara hanya bisa mematung, seolah enggan mempercayai apa yang baru saja dia dengar. “Ini mimpi kan? Aku pasti tertidur di mobil menuju ke bandara lalu memimpikan hal yang tidak-tidak,” bisik Aru pada dirinya tanpa sadar.Sebelum benar-benar meninggalkan Elang dan misi mereka, Aru memang sudah berpikiran negative. Di antaranya adalah bagaimana jika nanti terdapat banyak rintangan yang bisa mengagalkan rencana kali ini?Bagaimana jika sesuatu terjadi atau bagaimana jika Elang tiba-tiba kabur dan mengelabuhi
Elang sudah mulai tersadar walau dia belum ingin memperlihatkannya. Tangannya diikat di belakang punggung sementara mulutnya ditempeli lakban sehingga dia tidak bisa berbicara atau berteriak.‘Itukah penculikku?’ batin Elang yang pelan-pelan membuka mata untuk mengintip. Sekarang dia berada di dalam mobil untuk menuju ke suatu tempat yang tidak Elang ketahui.Saat bersembunyi di hutan Alas Roban, Elang sedang membuat panggilan dengan Dimas. Seperti yang sudah diketahui, Elang sendiri tidak bisa menjawab apa pun karena saking terkejutnya dia saat melihat pistol tiba-tiba ditodong ke kepalanya.Ada dua sosok hitam di depannya saat itu, yang berbadan tegap dan tidak terlalu jelas wajahnya. Keduanya membawa senjata. Satu orang membawa pistol, yang ditodongkan pada Elang, satunya lagi membawa pisau y
Begitulah akhirnya. Elang yang tadinya ingin kabur dari dua orang asing yang berusaha membunuhnya justru malah berhasil dibebukan hingga pingsan. Lalu saat membuka mata dia justru sudah berada di dalam mobil bersama dua orang asing itu.“Dia masih pingsan?” kata salah satu lelaki asing itu.Sekarang hari mulai fajar. Semburat merah terlihat di kejauhan. Tapi tetap belum mampu menampakkan cahaya yang terang, yang mungkin bisa menampakkan sosok Elang. Tapi toh itu tidak ada gunanya karena Elang digulingkan hingga kepalanya tidak akan nampak dari luar.“Sepertinya masih. Kau takut dia bangun? Bius saja lagi!” jawab rekannya, yang mengemudi.“Tidak. Nanti saja jika sudah kepepet. Kau tau kan kebanyakan bius juga tidak baik. Kita harus membawanya hidup-hidup tanpa terluka agar kita bisa mendapatkan bayaran yang setimpal.” Tercium uap asap rokok setelah lelaki itu berbicara. Sementara Elang yang sudah sadar