Share

2. Gairah

Sepanjang hari yang cerah ini, Leon tidak melepas perhatiannya dari gadis bergaun putih berjalan di atas rerumputan di antara keluarganya yang hadir. Kenangan dua tahun lalu pada gadis pemberi payung itu tidak pernah luput dari benak Leon. Bagaimanapun, dia seseorang yang beradap dan tentu tahu apa itu ucapan terima kasih.

Leon pernah berpikir untuk mencari gadis kumuh itu dan menampungnya di salah satu panti asuhan milik keluarganya, tapi niat itu Leon urungkan. Dan lihatlah, betapa takdir kehidupan begitu enjoy mempermainkannya, sekarang gadis itu ada di sini, bahkan telah menyandang status sebagai istrinya.

Leon merasakan luapan amarah yang tidak terbendungkan. Bukan hanya kepada orangtuanya yang telah merencanakan semua ini, tapi juga kepada dirinya sendiri karena menyetujui hal itu dengan mudah. Sekarang setelah dipikir-pikir, Leon menyesali keputusannya. Elsa berusia 16 tahun. Leon selalu merasakan kepalanya berdenyut sakit setiap kali mengingat fakta itu.

Gairahnya...

Leon menggeram, bagaimana dia bisa memiliki gairah sebesar ini pada gadis belia seperti Elsa Putri? Tubuhnya sangat mungil, Leon masih ingat ketika mereka berdiri berdampingan tadi dan tinggi Elsa hanya sampai pada dadanya saja. Kulit mereka juga tampak sangat kontras pada perbedaan, Elsa berkulit putih pucat, sedangkan Leon cokelat tan seolah dia baru saja kembali sehabis berjemur di pantai.

Rambut gadis itu hitam panjang, mengilap lebat, dan Leon tidak bisa berhenti penasaran akan bagaimana rasanya helaian rambut itu menyelip di antara jemarinya, apakah sehalus kelihatannya?

Lalu mata Elsa berwarna senada dengan rambutnya, hitam kelam yang jernih. Hidungnya mancung dengan bibir ranum. Dan wajahnya dibingkai oleh rahang kecil yang tampak rapuh, Leon lagi-lagi penasaran akan bagaimana rasanya ketika tangannya menangkup wajah Elsa, apa tangannya yang besar ini akan menutup habis wajah itu, atau bagaimana? Leon nyaris terkekeh memikirkannya jika saja dia benar-benar kehilangan akal dan berpikir bahwa Elsa adalah istri normal untuknya.

Tidak, Elsa Putri, atau (dengan sangat enggan Leon mengakui) Elsa Fernandez, adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya hadir di dalam kehidupan Leon. Pernikahan ini hanya semata-mata sebuah formalitas belaka. Entah apa tujuan orangtuanya sampai memiliki rencana seperti ini. Leon tidak seputus asa itu dalam memilih pasangan. Seriously?! Usianya baru saja 27 tahun. Yang artinya usianya terpaut 12 tahun dengan sang istri. Gila!

Ya, gila, karena untuk sesaat Leon nyaris membenarkan bahwa dirinya seorang paedofil. Hasrat yang menghantam tubuh Leon ketika pertama kali menatap mata istrinya, akan lenyap begitu saja dalam beberapa hari. Sama seperti ketika dia bersama kekasih-kekasihnya yang lain.

Dia hanya perlu mengabaikan kehadiran Elsa dalam hidupnya, atau dia juga bisa memanfaatkan gadis naif itu jika mau. Tapi tidak. Memiliki gairah dengan seorang gadis belia berusia 16 tahun ini saja sudah terasa sangat salah, Leon tidak akan melakukan lebih dari itu.

Kepala Leon pusing, dan dia percaya segelas kafein akan membantu.

***

Keluar dari kamar mandi, Elsa mendapati mami mertuanya tengah duduk di ranjangnya sambil memainkan ponsel.

Elsa berdehem dan Maya pun mengalihkan pandang menuju gadis itu. Maya tersenyum lembut.

"Pakaian kamu yang lain sudah mama pindah dan rapihin ke kamar Leon, malam ini kamu nggak perlu lagi tidur di sini. Kalian sudah sah, jadi kamu tidur sekamar sama Leon, ya."

Telinga Elsa langsung berdengung oleh alarm penuh antisipasi setelah Mami Maya menyelesaikan ucapannya. Elsa tidak mengerti kenapa dia harus sekamar dengan Leon, bukankah tidak apa-apa jika mereka memiliki kamar masing-masing? Bukankah hal itu lebih baik? Di rumah, dia bahkan tidak pernah melihat Ayahnya memasuki kamar Mamanya, lelaki itu selalu tiduran di sofa atau memilih kamar tamu.

Kesadaran itu menghimpit Elsa, bahwa keluarga ini berbeda. Jauh... jauh... sangat jauh berbeda dari lingkungan keluarga yang selama ini menjadi tempatnya tumbuh. Tentu saja Elsa harus sekamar dengan Leon dan seperti yang Mami mertuanya katakan kemarin, Elsa harus belajar menjadi istri yang baik karena gadis itu bukan lagi remaja seperti sebelumnya, di usia belia itu Elsa harus belajar mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri.

Dan apakah Elsa harus melakukannya malam ini?

Maya menyadari kecemasan di wajah Elsa dan langsung bangkit untuk mengusap bahu menantunya, menenangkan.

"Jangan terlalu dipikirin, Sayang. Mami tahu ini pasti juga sulit untuk kamu, tapi percayalah... Leon bakal jadi suami yang baik untuk kamu. Dia nggak akan melakukan sesuatu hal diluar kehendak kamu. Mama juga sudah berbicara dengannya sebelum ini. Kamu jangan khawatir, oke?"

Elsa tidak mengerti maksud dari perkataan Mami mertuanya, tapi dia juga tidak membantah, dan dengan patuh menganggukkan kepala.

Maya lagi-lagi menampilkan senyum hangatnya khas keibuan, dan Elsa tidak berbohong bahwa senyuman sekecil itu mampu menghilangkan seluruh khawatir yang tadi membasuh tubuhnya. Senyum keibuan yang tidak pernah Elsa dapatkan dari sosok ibunya sendiri.

"Aku ngerti, Ma."

"Syukurlah kalau begitu. Kamu pasti lelah, malam ini kamu istirahatlah dengan baik."

Elsa memang sangat kelelahan. Dan dia nyaris menangis mendengar perkataan penuh perhatian itu. Sepertinya mulai sekarang dia harus membiasakan diri berada di lingkungan barunya ini. Elsa memiliki firasat bahwa hal itu tidak akan sulit. Satu-satunya kendala adalah... suaminya.

[to be continued] 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status