Meski sudah tiga bulan berlalu sejak kepergian Arsya mengejar gelar Magister-nya di kota istimewa Yogyakarta. Akan tetapi tanpa kehadiran Arsya di sisinya masih terasa asing bagi Anjani. Sang suami yang terbiasa berada di dekatnya kini menghilang sampai waktu yang tak ditentukan.
Anjani mengusap perutnya yang mulai menonjol, kehadiran jabang bayinya seolah menggantikan sosok Arsya yang selalu menemaninya kemana pun.
Mata Anjani menatap lesuh layar laptopnya. Sudah dua hari dirinya tidak tidur demi merevisi draft skripsi. Anjani tidak boleh lengah, ia harus cepat menyelesaikan skripsinya, dengan begitu ia bisa cepat lulus dan menyusul Arsya ke Jogja.
“Sabar ya, Nak. Bunda janji sebentar lagi kita akan bersama Ayah setiap hari, nggak perlu nunggu tanggal merah dan hari libur lagi.” Kata Anjani sambil mengusap perutnya yang mulai membucit.
Senyum Anjani terbentang, berinteraksi dengan jabang bayinya membuat semangatnya muncul lagi. Dengan cepat jari-jari nya menari di atas keyboard laptop dengan telaten.
“Ya ampun, kak, kamu belum tidur?!”
Anjani tertegun kecil, seketika wanita hamil itu di landa cemas saat melihat Gerry –Papahnya, bersandar di ambang pintu kamarnya. Anjani nyengir, menatap takut Gerry yang mengenakan setelan piyama coklat dengan motif kotak-kotak.
“Mau Papah laporin ke suami kamu?” Ancam Gerry sembari berjalan menghampiri anak bungsu dari mantan istri pertamanya itu.
“Jangan, Pah!” sentak Anjani refleks. Bisa kena omel tujuh hari tujuh malam kalau Arsya sampai tau jam tiga subuh dirinya masih merevisi skripsi.
“Kamu itu lagi hamil, Kak, kasian anak kamu yang di dalam perut itu nggak ada istirahat nya diajak kerja terus sama kamu.” Ujar Gerry, tangannya langsung bergerak mengambil laptop Anjani tanpa izin.
“Pah.... Jangan diambil dong, nanti aku revisi skripsi nya gimana?” rengek Anjani menatap Gerry memohon.
“Kamu boleh ambil laptopnya kalau mau bimbingan aja, revisi skripsi sampai jam sembilan malam, habis itu kembalikan lagi ke Papah. Sekarang kamu tidur, kalo nggak beneran Papah laporin kamu ke Arsya!” Kata Gerry lalu mematikan lampu kamar Anjani dan menutup pintu kamar.
Semenjak kembali tinggal bersama Gerry dan Mami tirinya, Anjani jadi tidak sebebas waktu ngekost dulu yang bisa begadang dari pagi ke pagi. Belum lagi Arsya sudah merekrut Gerry sebagai mata-matanya. Kesalahan apapun yang Anjani lakukan pasti akan ketahuan oleh Arsya, siapa lagi yang mengadu kalau bukan Papahnya?
Anjani mendesah panjang, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Seadainya Arsya mengizinkannya untuk ngekost sendiri, pasti skripsinya akan lebih cepat selesai.
***
Arsya mengambil kelas pagi untuk semua mata kuliah, sebab siangnya ia harus bekerja di salah satu perusahaan milik teman Ayahnya. Mungkin cuma Arsya satu-satunya karyawan yang datang ke kantor pada jam satu siang. Mau bagaimana lagi, Ayahnya memaksa Arsya untuk bekerja karena statusnya sudah menjadi suami dan wajib memberikan nafkah kepada Anjani di Jakarta. Padahal, tanpa harus bekerja pun pendapatan Arsya akan terus mengalir karena diam-diam ia memiliki bisnis besar yang dibangun bersama teman-temannya.
Meskipun tubuh Arsya diforsir habis setiap harinya, tapi Arsya tidak pernah merasa lelah.
“Semangat kerjanya hari ini,
Semoga segala sesuatu yang mas kerjakan lancar dan hasilnya memuaskan!
Sih kecil titip salam, katanya, I love you, Ayah!”
Pesan yang Anjani kirim setiap pagi selalu menjadi semangat untuknya memulai hari.
Sejauh ini hubungan jarak jauh bukan hambatan untuk sepasang suami istri itu. Pertengkaran pun masih belum bisa menembus benteng rumah tangga yang Arsya kepalai.“Mas Arsya udah mau berangkat ya?”
Meski ada saja kerikil yang seringkali mencoba untuk masuk.
Arsya tersenyum kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh putri dari pemilik kosan yang ia tempati.
“Iya, Sya, mau cari nafkah buat anak istri saya.” Jawab Arsya sambil melempar senyum secerah mentari pagi ini. Sekarang hari kamis, ia tidak ada kelas, tapi tetap harus masuk kantor pagi hari.
Nisya, anak perempuan dari Ibu kost yang baru lulus SMA tahun kemarin itu tersenyum canggung, ketara sekali kalau ia baru saja tertohok dengan jawaban yang Arsya berikan.
“Oh gitu, hati-hati ya mas.” Ujar Nisya yang sedang bersiap berangkat kuliah.
“Iya, Sya, kamu juga hati-hati.” Ujar Arsya membuat Nisya salah tingkah di depan sana. Setelah mengunci pintu kamar kostnya, Arsya segera memakai helm dan jaket yang sudah ia siapkan di atas meja terasnya.
“Eh, nak Arsya, sudah mau berangkat ya?” Tanya Tuti –ibu pemilik kost—yang baru keluar dari rumahnya.
Kebetulan kamar kost Arsya terletak di deretan paling pojok dan bersampingan dengan rumah pemilik kost tersebut, Budhe Tuti, namanya.
Arsya memakai helmnya, “Iya, Budhe,” jawabnya sambil mengangguk sopan.
Tuti melirik ke arah anaknya yang sedang mengikat tali sepatu di sampingnya, “Kalau gitu Budhe nitip Nisya ya, nak Arsya? Boleh kan Nisya nebeng, kampus sama kantor nak Arsya kan searah,”
Nisya langsung membulatkan matanya ke arah sang Ibu, “Bu, aku kan dianter mas Hendra.” Bisik Nisya yang langsung di sikut keras oleh Tuti.
“Boleh ya, nak Arsya?” tanya Tuti sekali lagi.Arsya senyum sekilas, “Boleh kok, Budhe. Tapi biasanya Nisya diantar Hendra, memang Hendra kemana?” tanya Arsya ramah.
Di lingkungannya Tuti terkenal sebagai orang tua yang sangat overprotective kepada Nisya, terutama urusan cowok. Paras anggun yang Nisya miliki memang sangat mudah membuat cowok tertarik. Tak heran banyak cowok yang berusaha mendekati cewek berkulit putih pucat itu.
Tapi sayang, lisan Tuti begitu tajam. Caci maki tak segan Tuti lontarkan kepada cowok yang berusaha mendekati anaknya. Membuat kebanyakan cowok berpikir dua kali sebelum berusaha untuk mendekati Nisya lebih intens lagi.
Terkecuali dengan Arsya. Tuti sangat baik dan banyak bercerita tentang kelebihan yang Nisya miliki, seolah mencoba menarik Arsya untuk terjerat pada sosok Nisya.
Padahal wanita paruh baya itu tahu kalau Arsya sudah beristri dan akan segera memiliki anak.
“Hendra masih tidur, biasalah, pengangguran.” Jawab Tuti, tak sadar bahwa anaknya yang ia cap sebagai pengangguran itu berdiri di belakangnya dengan wajah jengkel.
“Tega ya Ibu bilang anak sendiri pengangguran.” Celetuk Hendra, anak sulung Tuti.
“Loh, udah bangun toh nak?” tanya Tuti dengan logat Jogja-nya yang kental.
“Aku bukan pengangguran Bu, aku youtuber!” Ujar Hendra, lalu bola matanya menatap ke arah Arsya, “Udah jalan aja Ar, biar gue yang anter Nisya,” kata Hendra yang melihat Arsya sudah siap untuk berangkat kerja.
Arsya mengangguk, menghampiri Tuti lalu menyalimi tangan wanita paruh baya itu.
“Arsya berangkat ya, Dhe.” Pamit Arsya lalu mengendarai motornya menuju kantor.
***
“Jan, dospem lo di ganti tuh, Pak broto udah nggak jadi dospem lagi,”
Anjani yang tengah sibuk berkutik dengan laptopnya segara mendongak, keningnya mengernyit heran atas apa yang Jeka bilang barusan.
Omong – omong, Anjani sedang di kantin kampus saat ini, makan siang sambil duduk santai mengecek ulang draft skripsinya.
“Kenapa?” tanya Anjani pada Jeka yang tengah menyeruput es kelapa miliknya.
Cowok dengan nama lengkap Jee Katama itu bertahak sebentar, lalu kembali menatap Ibu hamil di depannya, “Udah nggak mood jadi dospem katanya”
Melongo adalah ekspresi Anjani saat ini.Bagaimana bisa Pak Broto berhenti jadi dosen pembimbing nya karena alasan sudah tidak mood? Pasti Jeka cuma mengarang!
“Deadline skripsi gue tinggal sebulan lagi, masa Pak Broto ninggalin gue sih!” dumel Anjani sambil memakan sosis gorengnya.
“Kasian ya lo, di tinggalin terus,” celetuk Jeka ikut menyomot sosis milik Anjani tanpa izin.
Melihat mata Anjani yang menatap tajam ke arahnya, Jeka segera mengeluarkan cengiran bodohnya.“Becanda,” ujar Jeka sebelum badannya menjadi memar-memar lebih baik ia ambil jalan damai saja. Semenjak mengandung, tenaga Anjani menjadi lebih kuat.
Anjani menatap sengit Jeka, lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
Drt...
Mata Anjani melirik ponselnya yang bergetar, ada satu notifikasi chat masuk disana.
“Selamat siang. Dengan Anjani Andara? Saya Ardan Mahesa, dosen pembimbing anda yang akan menggantikan Pak Broto. Besok saya tunggu di cafe Camilla jam dua siang untuk bimbingan.”
Ardan Mahesa, telinga Anjani merasa tak asing dengan nama itu.
Jangan bilang...
Tak mau ambil pusing, Anjani segera menepis pikiran nya. Untuk apa pula ia mengingat hal yang tidak penting. Lagi pula pemilik nama Ardan itu banyak di dunia ini, mungkin ia cuma merasa familiar saja.
Anjani segera meletakan kembali ponselnya di tempat semula. Lalu kembali fokus pada layar laptopnya.
Anjani Pov“Bab empat sudah ditandatangani pak Broto?”Aku mendongak, lalu mengangguk, “Sudah pak,” jawabku sambil menatap Pak Ardan yang tengah fokus mengecek bab empat draf skripsiku.Sesuai janji yang di buat Pak Ardan dua hari lalu via pesan singkat, hari ini aku mulai bimbingan dengannya di cafe Camilla sejak beberapa menit lalu.“Deadline skripsimu bulan depan?” tanya Pak Ardan tanpa menatap kearahku.“Iya, Pak.”“Dan kamu baru sampai bab empat?”Aku mematung, bingung harus menjawab apa. Wajah dingin Pak Ardan membuatku mengulas senyum tipis saja tak mampu.“Satu minggu,” kata Pak Ardan sambil menaruh draf skripsiku ke atas meja, “Selesaikan bab lima dalam waktu satu minggu. Lusa temui saya lagi."Aku menghela nafas panjang. Mau protes pun
“Lo nggak capek apa Jan kuliah dengan keadaan hamil kayak gitu?” Anjani menghela nafas, pertanyaan yang sudah sering ia dengar. Katanya mereka prihatin dengan keadaan tubuhnya yang tengah hamil tapi masih harus disibukan dengan kegiatan perkuliahan. Padahal Anjani fine - fine saja menjalaninya. Anjani tersenyum simpul, menatap Naura yang menunggu jawaban darinya, “Jangankan merasa lelah, ngeluh aja gue jarang. Keadaan gue yang kayak gini nggak menyusahkan gue sama sekali kok, serius!" Cecilia yang duduk disamping Naura ikut menyahut, “Mungkin belum kali, baru tiga bulan kan? Nanti kalo udah gede juga baru kerasa capeknya,” “Betul tuh! Lagian kok lo boleh nikah sebelum lulus kuliah, kalo gue sih udah diusir dari rumah kali,” Nah kalau ini Jiya yang bicara. Demi apapun, mendengar ocehannya membuat Anjani menahan diri untuk tidak menarik rambut cewek bermulut lemes itu. Tidak etis se
Arsya: Jek, lagi sama bini gue gak? Jee Katama: lo kira hidup gue cuma dipake buat ngintilin bini lo? Arsya: sensi amat, gue kan cuma nanya Jee Katama: gak tau, digondol kucing kali bini lo Arsya mengusap wajahnya kasar. Dari pagi Anjani tidak ada kabar. Papahnya bilang Anjani pamit pergi dari rumah jam sembilan tadi dan sampai siang ini ponsel istrinya itu masih tidak aktif. Terlebih Jeka –sahabat karib Anjani sendiri tidak mengetahui keberadaan istrinya itu. Padahal kalo kemana-mana mereka pasti selalu bareng. Gimana Arsya tidak panik seperti ini? Memang semenjak kejadian masalah seminggu lalu komunikasi antara dirinya dan Anjani terasa hambar. Tidak romantis dan penuh perhatian seperti biasanya. Anjani cenderung singkat dan slow respon setiap membalas chatnya. Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya Arsya memang kecewa saat mengetahui Anjani berbohong padanya. Seperti apa sih sosok Ardan sampai - samp
Arsya mengusap matanya yang masih berat. Ia segera menyibak selimutnya tatkala merasa ada sesuatu di perutnya yang mendesak ingin keluar. Dengan cepat Arsya langsung berlari memasuki kamar mandi.Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama didalam kamar mandi, Arsya segera keluar sambil mengusap perutnya yang merasa tak enak sejak subuh tadi. Terhitung sudah tiga kali Arsya keluar masuk kamar mandi pagi ini."Kayaknya gue masuk angin nih," gumam Arsya mengingat semalam ia bergadang nonton bareng pertandingan bola dengan teman kantornya, belum lagi semalam ia pulang jam 2 dini hari.Melihat layar ponselnya yang menyala diatas meja, Arsya segera meraihnya. Terdapat puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Anjani di sana. Arsya menepuk jidat, sejak kapan ponselnya berubah jadi mode silent?Ah, iya, sejak meeting kemarin siang. Dan ia lupa mengubahnya lagi.
Deka Ipar: pesawat kak jani udah berangkat sejam lalu, kalau masih belum sampe tolong jemput di bandara ya bang Deka Ipar: gue takut kakak nyasar Arsya yang baru saja selesai bersih-bersih tempat kosnya langsung terdiam. Mencerna lebih dalam maksud pesan yang adik iparnya kirim setengah jam lalu. Segera jari jempol Arsya menekan cepat ikon berbentuk telpon di roomchat mereka. Belum ada jawaban, Deka mengabaikan panggilannya. Arsya: jani emang mau kemana, Ka? Lima menit berlalu, pesannya belum juga dibaca. Bergantian Arsya menghubungi Anjani dan Deka, tapi hasilnya sama, mereka kompak mengabaikan panggilannya. "Assalamu'alaikum, ada apa anak ganteng?" Arsya sedikit bernafas lega mendengar suara Mamahnya disebrang sana, "Walaikumsalam, Mah, Mamah dimana?" "Di hati ayahmu," jawab S
Anjani menatap Arsya penuh selidik. Memperhatikan gerak - gerik panik suaminya ntah karena apa. Keluar masuk kamar tidak jelas sedang melakukan apa."KAMU NGAPAIN SIH MAS?!" teriak Anjani kesal. Baru datang bukannya dikasih minum, malah disuruh nonton tingkah anehnya Arsya.Arsya yang baru mau kembali masuk kedalam kamar berhenti, menatap Anjani kikuk, lalu mengeluarkan cengiran bodohnya."Itu.. Hm.. Iya ya, mas ngapain ya daritadi?" ujar Arsya membuat Anjani menahan bibirnya supaya tidak kebablasan mengumpati suaminya itu.Anjani bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Arsya lalu menempelkan telapak tangannya pada kening pria itu."Oh, panas," kata Anjani lalu membawa Arsya masuk kedalam kamar."Tidur, mas masih demam," titah Anjani, Arsya segera merebahkan dirinya diatas ranjang nurut.Anjani melangkah keluar, menuju dapur. Menyeduhkan Arsya segelas teh manis anget. Karena apapun sakitnya, teh
Menyebalkan.Anjani paling nggak suka kalo liat Arsya lebih mementingkan pekerjaan atau tugas kuliah daripada dirinya, sedangkan mereka jarang punya waktu bersama.Arsya tuh ngerti nggak sih sama yang namanya memanfaatkan waktu?Nggak tau apa kalau nyari kesempatan buat mereka berada di satu atap yang sama itu nggak gampang.Segala cara udah Anjani lakukan buat menarik atensi suaminya itu. Dari mulai menaikan volume tivi hingga full, menghentak-hentakan kaki kesal, dan yang terakhir....Menimpuk kepala Arsya pakai remot AC.Dan itu berhasil."Nggak bisa dilanjut besok?" seru Anjani saat Arsya mendongak dan menatapnya bertanya. Arsya terlihat biasa saja walau Anjani sudah bersikap kurang ajar padanya.Arsya mengusap belakang kepalanya yang kena sasaran tadi, "Maunya gitu, tapi nanggung," jawab Arsya, lalu kembali fokus pada layar laptopnya lagi. Mengabaikan raut muka Anjani yang
Seminggu tinggal sama istri, akhirnya Arsya kembali merasakan rasanya diperlakukan layaknya seorang suami. Terakhir, empat bulan yang lalu Anjani melayani nya seperti ini. Iya, empat bulan yang lalu sebelum jarak memisahkan mereka.Untung saja urusan perkuliahan Anjani tinggal selangkah lagi, jadi ia tidak perlu menunggu lama-lama untuk kembali tinggal bersama."Nanti aku ke supermarket ya mas, kulkas udah kosong kayak dompet tanggung bulan," Seru Anjani sambil menyeduh susu hangat untuk Arsya."Iya, tapi nanti malam ya tunggu mas pulang kerja," jawab Arsya sambil menyicip susu hangat buatan sang istri. Kalo pagi Arsya memang kebiasaan minum susu daripada kopi. Kecuali kalo bergadangin tugas sampe pagi baru yang Arsya cari kopi."Emang mas gak capek? Aku bisa sendiri kok,""Nggak, pokoknya tunggu mas pulang."Anjani mengangguk nurut lalu memindahkan nasi gorengnya ke wadah, kemudian menyajikannya diatas meja mak