Share

03. Alasan Yang Menyakitkan

“Lo nggak capek apa Jan kuliah dengan keadaan hamil kayak gitu?”

Anjani menghela nafas, pertanyaan yang sudah sering ia dengar. Katanya mereka prihatin dengan keadaan tubuhnya yang tengah hamil tapi masih harus disibukan dengan kegiatan perkuliahan. Padahal Anjani fine - fine saja menjalaninya.

Anjani tersenyum simpul, menatap Naura yang menunggu jawaban darinya, “Jangankan merasa lelah, ngeluh aja gue jarang. Keadaan gue yang kayak gini nggak menyusahkan gue sama sekali kok, serius!" 

Cecilia yang duduk disamping Naura ikut menyahut, “Mungkin belum kali, baru tiga bulan kan? Nanti kalo udah gede juga baru kerasa capeknya,” 

“Betul tuh! Lagian kok lo boleh nikah sebelum lulus kuliah, kalo gue sih udah diusir dari rumah kali,” Nah kalau ini Jiya yang bicara. Demi apapun, mendengar ocehannya membuat Anjani menahan diri untuk tidak menarik rambut cewek bermulut lemes itu. Tidak etis sekali membandingkan hidup mereka seperti itu.

Gigi Anjani menggertak, tapi sekuat mungkin ia menahan emosinya. Reputasinya di kampus tidak boleh rusak hanya karena ocehan sampah mereka. Hal seperti ini yang kadang bikin Anjani malas bergabung dengan teman – teman ceweknya. 

“Udah gitu nggak nunda buat hamil lagi, seenggaknya tunggu lulus gitu. Mana suami lo lanjut S2 di Jogja, kan? Nggak ngertiin keadaan lo banget sih,” ujat Cecilia mengompori. 

Anjani tertawa. Cecilia tersentak kaget, apa ucapannya tadi terdengar lucu ditelinga calon ibu muda itu? 

“Hahaha, aduh! Gak kuat hahaha,” Anjani masih tidak bisa menghentikan tawanya. Astaga, teman-temannya lucu sekali. Berbicara seenaknya seolah mereka paham betul tentang rumah tangganya dengan Arsya. 

“Kalian ngomong gitu karena nggak tau rasanya punya suami kayak Arsya” ujar Anjani setelah berhasil menghentikan tawanya. 

'Males ah jelasinnya, kalian nggak bakal ngerti, ini perihal rumah tangga,” kata Anjani lagi. 

Cecilia, Jiya dan Naura yang tadi semangat memojokkan dirinya kini menatapnya jengkel. Tersinggung dengan ucapan Anjani barusan. 

“Oiya, sekali pun gue harus kuliah dengan keadaan hamil besar juga nggak masalah. Malah gue menunggu momen itu, anak gue lahir dan gue hidup bahagia sama suami gue.” Anjani mengusap perutnya sayang. "Lagian wajar lah gue minta buru-buru di nikahin Arsya, laki gue ganteng, baik, sholeh. Sayang kalau nunggu lama-lama, nanti keburu di rebut yang lain."

Cecilia menggebrak meja. Dengan wajah kesal setengah mampus ia bangkit lalu pergi tanpa pamit. 

“Cece kenapa?” tanya Anjani memasang wajah polosnya. Padahal ia tahu Cecilia sedang ke panasan, dulu cewek itu sempat memiliki rasa sama Arsya. Sayangnya, Arsya sudah lebih dulu menjadi miliknya.

Belum sempat Jiya menjawab, kehadiran Ardan mengambil alih atensi mereka. 

“Anjani?” panggil Ardan. Anjani segera bangkit dari duduknya. 

“Iya, Pak,” sahut Anjani. 

Ardan tertawa kecil melihat antusias Anjani, “Kamu kenapa disini?” 

Jiya dan Naura saling pandang. Melihat momen langka dimana Dosen baru yang dikenal jutek dan tak banyak omong itu bertanya pada Anjani. Padahal kalau ada mahasiswa yang negur aja cuma dibalas anggukan kecil sama Ardan. Tapi sekarang Ardan malah sudi menghentikan jalannya hanya untuk bertanya ke Anjani tentang kehadiran cewek itu di area kampus. 

“Nungguin bapak, siang ini saya kan ada jadwal bimbingan sama bapak. Bapak lupa?” 

Ardan menggeleng, “Nggak kok, saya nggak lupa. Hm... Maksud saya, kamu mau bimbingannya di kampus? gak di luar aja seperti bimbingan sebelumnya?” 

Ardan menggaruk tengkuk kepalanya salah tingkah. Jiya dan Naura kembali saling pandang, lalu menggeleng, merasa ada yang tidak beres dengan dosen muda itu. 

“Iya, Pak, di kampus aja, masa dipolsek.” Jawab Anjani sambil cekikikan. 

“Ya sudah, nanti langsung keruangan saya aja,” 

“Siap, pak!” 

Ardan menggeleng kecil sambil memamerkan senyum indahnya. Mengusap kepala Anjani sekilas lalu melenggang pergi. Meninggalkan Anjani yang membeku dan Jiya yang sesak nafas melihatnya, sedang Naura sudah ambruk dilantai. 

“Itu sih Ardan nggak liat apa ya perut Anjani udah belendung,” cibir Jiya menatap punggung Ardan sengit. 

“Jan please, kasih tau gue gimana caranya jadi lo?!" tanya Naura menatap Anjani penuh harap. 

***

Sekali – kali Anjani rasa tidak masalah berbohong pada suami. Selama berbohong bukan buat hal yang macam-macam. Lagian yang ada Arsya yang macam-macam, seenak jidat memerintahnya buat ganti dospem, dikira semudah itu. 

Kadang Anjani jengkel sama sifat Arsya yang posesif banget. Semua hal yang berhubungan sama cowok lajang pasti dilarang, aduh, dikira dengan keadaan Anjani yang lagi hamil gini cowok-cowok mau apa nyepik dirinya? 

Anjani menatap lurus jalanan didepan. Sore ini jalanan lancar, mungkin karena belum jam pulang kerja. 

Selesai bimbingan dengan Ardan, Anjani langsung dijemput oleh supirnya. Bimbingan tadi berjalan lancar, ternyata Ardan asik juga, meskipun sangat teliti dan banyak memberi komentar pada progresnya yang sudah setengah jalan. 

Ardan masih menjadi dospem nya meski Arsya melarang dan meminta Anjani untuk ganti Dospem. Anjani mengiyakan hal itu ke Arsya dan mengatakan bahwa dospem nya yang sekarang adalah Bu Patmi. 

Bukannya Anjani ingin sekali Ardan menjadi Dosen pembimbing nya. Tapi sangat tanggung untuknya mengganti dospem. Udah gitu skripsinya pun sudah mau selesai, hanya tinggal beberapa kali pertemuan saja. 

Semoga kebohongan nya berjalan mulus, setidaknya sampai skripsi Anjani di-ACC. 

“Mau mampir dulu nggak, neng? Kali aja ada yang mau dibeli,” tanya Pak Sur yang fokus pada roda kemudinya. 

Anjani mengulum bibirnya kedalam, “Kemana ya? Ke kafe kak Bara aja deh pak, kita ngopi dulu. Bapak suka kopi kan?” 

Pak Sur tertawa kecil, “Suka sih neng, tapi kalo saya lebih suka ngopi di warkop pinggir jalan,” katanya membuat Anjani terkikik kecil. 

“Kopinya kak Bara juga gak kalah enak sama kopi warkop kok, pak,” sahut Anjani. Pak Sur terkekeh pelan menanggapi.

Dering ponsel Anjani membuat obrolan ringan mereka terhenti. Dengan segera Anjani merogoh tasnya, mengambil ponsel dan menerima panggil masuk dari nama kontak Suamiku. 

“Hallo...” 

“Berani menentang dan berbohong ya sekarang sama mas?” cecer Arsya langsung tanpa basa-basi. Perlahan senyum Anjani memudar, raut wajahnya menurun drastis. 

“Hm, nggak gitu, mas...” jawab Anjani panik seketika. Perasaannya tak enak dan firasatnya berkata kalau Arsya sudah mengetahui kebohongan yang ia lakukan.

“Terus gimana?”

Anjani diam. Anjani kira perasaannya akan baik-baik saja setelah Arsya mengetahui kebohongannya. Tapi ternyata, rasa bersalah mendesak didada. Dan juga, kenapa Arsya mengetahui kebohongan nya secepat ini ??? 

Padahal belum 24jam Anjani melakukan kebohongan nya itu. 

“Mas melarang kamu bukan bikin kamu jadi berbohong kayak gini. Kan bisa kamu yakinin mas soal sih Ardan Ardan itu. Kenapa harus berbohong?”

Anjani masih diam. Pelupuk matanya sudah penuh dengan airmata yang siap terjun dengan satu kali kedipan saja. 

“Kok diam?” 

Selama menjadi suami, sekalipun Arsya tidak pernah berbicara tanpa intonasi ke Anjani. Selalu ceria meski Anjani tau Arsya lelah karena baru pulang kerja. Tapi sekarang, suara Arsya terdengar sedang sangat kecewa. 

“Mas nggak marah kalo kamu jelasin,” 

Anjani masih diam, sampai – sampai Pak Sur menoleh kearah Anjani yang mematung sambil memegang ponselnya yang menempel di daun telinganya. 

“Yaudah nggak usah jelasin---“

“Mas...” Anjani memotong ucapan putus asa Arsya dengan cepat. 

“Iya, sayang?” sahut Arsya mengubah nada bicaranya jadi sedikit melembut. 

“Maafin aku.” Kata Anjani. Spontan Pak Sur menoleh lagi mendengar suara melemah anak majikannya itu. 

“Kesalahan kamu apa?”

“Bohong sama mas”

“Kenapa bohong?”

Anjani menggigit bibirnya. Anjani tidak berbohong karena Ardan kan? Tapi kenapa bibirnya seolah mengelak untuk itu. 

“Aku gak mau ganti dospem, aku mau Pak Ardan jadi dospem aku,” 

Disebrang sana, Arsya memejamkan matanya, merasakan sesak yang teramat didalam dada. Arsya mengatur nafasnya, ia harus tenang. Tidak boleh marah dan bikin Anjani kepikiran, karena itu tidak baik untuk kondisi janin yang Anjani kandung. 

Arsya menghembuskan nafas pendek, “Ya sudah gakpapa. Kalo gitu mas tutup ya, mau mandi.” 

“Mas---“

Tut---

Panggilan terputus sepihak. Arsya sudah memberinya izin, sudah mengetahui kebohongan nya, bukan kah seharusnya Anjani merasa plong? 

Tapi kenapa dadanya berdesir tak enak?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bee Kwon
jani strong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status