Arsya: Jek, lagi sama bini gue gak?
Jee Katama: lo kira hidup gue cuma dipake buat ngintilin bini lo?
Arsya: sensi amat, gue kan cuma nanya
Jee Katama: gak tau, digondol kucing kali bini lo
Arsya mengusap wajahnya kasar. Dari pagi Anjani tidak ada kabar. Papahnya bilang Anjani pamit pergi dari rumah jam sembilan tadi dan sampai siang ini ponsel istrinya itu masih tidak aktif.
Terlebih Jeka –sahabat karib Anjani sendiri tidak mengetahui keberadaan istrinya itu. Padahal kalo kemana-mana mereka pasti selalu bareng. Gimana Arsya tidak panik seperti ini?
Memang semenjak kejadian masalah seminggu lalu komunikasi antara dirinya dan Anjani terasa hambar. Tidak romantis dan penuh perhatian seperti biasanya. Anjani cenderung singkat dan slow respon setiap membalas chatnya.
Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya Arsya memang kecewa saat mengetahui Anjani berbohong padanya. Seperti apa sih sosok Ardan sampai - sampai membuat istrinya jadi pembohong?
Tapi demi apapun, masalah tersebut tidak membuat setetes pun kepercayaan Arsya ke Anjani menyurut. Ia percaya istrinya tidak akan berbuat yang macam - macam. Karena waktu masih pacaran pun tidak pernah ada kabar miring tentang Anjani dan cowok lain.
Arsya menutup tempat bekal makannya yang ia bawa dari rumah. Isinya masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Rasa khawatir Arsya lebih besar dibanding rasa laparnya.
Arsya mengusap wajahnya gusar, tangannya kembali meraih ponsel yang tergeletak diatas meja kerjanya. Jarinya sudah mengambil ancang-ancang untuk memencet aplikasi pemesanan tiket pesawat online. Bersiap memesan tiket pesawat ke Jakarta kalau Anjani belum ada kabar juga.
Tok tok tok
Arsya terkesiap kaget, menoleh spontan kearah kirinya menemukan Rio yang tadi mengetuk dinding penyekat meja kantornya.
“Kenapa, Yo?” tanya Arsya seraya menaruh ponselnya kembali diatas meja.
“Nanti jangan pulang dulu ya, bos ngajak nobar bola,” ujar pria beranak dua itu sambil mengangkat dagunya menunjuk kearah Evano –team leader, yang masih fokus ke komputernya.
Arsya mengangguk pasrah, “Oke, Yo!” jawab Arsya singkat. Rio mengangkat satu alisnya keatas melihat kondisi Arsya yang tidak semangat seperti biasanya.
“Kenapa lo? Lemes amat! Ini juga bekel kenapa nggak lo makan? Nanti diomelin mamah loh, nak.” Celetuk Rio mengejek Arsya. Keseringan membawa bekal membuat Arsya dicap anak mama oleh teman - teman kantornya.
Arsya berdecak, “Ck! Gakpapa. Udah sono lo pergi makan, keburu waktu makan siangnya habis,” kata Arsya mengusir halus Rio.
Rio menepuk pundak Arsya,
“Yaudah gue keluar dulu. Itu bekalnya jangan lupa dimakan, nanti mama marah loh!”
Arsya menghela nafas berat, sepertinya ia batal pulang ke Jakarta hari ini karena tidak mungkin Evano membiarkannya pulang sementara mereka sudah membuat janji untuk nonton bola bersama malam ini.
***
Pagi-pagi sekali Anjani sudah siap untuk berangkat kuliah. Bukan, bukan, lebih tepatnya untuk menemui Ardan.
Hari ini ia akan menemui Ardan untuk menyerahkan skripsi bab limanya yang sudah selesai, meski telat dua hari dari waktu yang ditentukan.
Selesai sarapan, ibu hamil yang mengenakan kaus hitam polos dilapisin coat mantel dan celana bahan kebesaran itu segera bergegas menuju tempat janjiannya dengan Ardan diantar oleh Pak Sur. Saking semangatnya Anjani sampai lupa meninggalkan ponselnya diatas dasbor mobil.
Lima belas menit menunggu, akhirnya Ardan datang.
Anjani segera bangkit dari duduknya, menyambut Ardan yang datang.
“Pagi, Pak,” sapa Anjani sambil melempar senyum terbaiknya.
Ardan tersenyum simpul, lalu mempersilahkan Anjani duduk kembali, “Pagi. Kamu seneng banget kayaknya,” balas Ardan sambil mendaratkan pantatnya dikursi sebrang Anjani.
“Lebih seneng lagi kalau dapat kabar baik dari bapak!” celetuk Anjani membuat Ardan melebarkan senyumannya.
“Caranya?” tanya Ardan sambil mengangkat satu alisnya.
“ACC skripsi saya, pak!” balas Anjani semangat 45.
Ardan menggaruk pangkal hidung bangirnya, “Hm.. Gimana ya? Coba sini saya lihat dulu draft skripsimu,” pinta Ardan. Anjani segera memberikan draf skripsinya.
Sekiranya hampi satu jam Ardan fokus mengecek draft skripsi Anjani. Sampai Anjani menghabiskan dua cangkir kopi saking lamanya dikacangin oleh Ardan.
“Oke, saya ACC ini! Kamu bisa daftar sidang secepatnya. Draft keseluruhan juga saya ACC.”
Anjani yang sedang menegak kopinya langsung tersedak. Namun segera menyeka sisi bibirnya menggunakan tisu. Matanya masih terbelalak, menatap Ardan kaget.
“Serius, Pak?!” tanya Anjani dengan wajah tegang.
Ardan memanggut, “Iya. Segera daftar sidang ya, udah nggak sabar kan kamu mau ketemu suami?” goda Ardan sambil memainkan kedua alisnya lagi.
Anjani menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan malu, “Bapak tau aja!” sahutnya menanggapi godaan Ardan.
Ardan menyesap kopi panas yang tadi dipesankan oleh Anjani, tapi kini kopinya sudah adem, “Padahal saya masih pengen ketemu kamu. Kenapa gak dari awal aja ya saya jadi dosen dikampus mu,”
Anjani manggut - manggut setuju saja, “Bapak telat sih datangnya,” sahut Anjani dengan senyum yang tak kunjung surut.
“Kamu gak mau kasih saya hadiah apa gitu?” tanya Ardan membuat Anjani mengerutkan keningnya heran.
Detik berikutnya, Anjani langsung menepuk jidat. Harusnya ia bawa buah tangan untuk Ardan sebagai ucapan terimakasih. Ah, ia terlalu semangat ingin bertemu Ardan sampai lupa mampir untuk membeli buah tangan.
“Saya bercanda,” ujar Ardan seraya tertawa kecil.
Melihat raut wajah Anjani masih merasa tak enak hati Ardan jadi merasa bersalah. Padahal niatnya yang membercandai ibu hamil itu.
“Gimana kalau hadiahnya waktu kamu saja?” ujar Ardan mengambil inisiatif sendiri dari ide random dikepalanya.
“Waktu saya?”
“Kamu ada waktu sekarang?”
Anjani mengangguk tanpa berpikir lebih dulu.
“Dufan, yuk?”
Anjani melotot spontan, “Memang bapak gak ngajar?” tanya Anjani.
Ardan menggeleng. Membuat Anjani menimbang ajakan dospemnya itu.
“Hm, gimana kalau nonton aja, Pak? Kebetulan lagi ada film yang saya pengen tonton sedang tayang,” saran Anjani.
“Yuk!” Segera Ardan mengangguk setuju tanpa berpikir dua kali. Sepertinya di ajak ke pasar yang becek pun Ardan mau kalau Anjani yang mengajak.
Kemudian mereka langsung bergegas pergi ke mall terdekat menggunakan mobil milik Ardan.
Selesai menonton mereka mampir ke toko buku untuk menemani Ardan membeli buku. Tanpa Anjani sadari kamera ponsel Ardan terus menyorot dirinya sedari tadi.
“Jan, lihat deh fotomu yang saya ambil, bagus ya?” tanya Ardan seraya mengulurkan ponselnya ke Anjani, Anjani segera mendekat kearahnya, lalu melihat ke layar ponsel Ardan penasaran.
Wajah Anjani seketika menegang melihat Ardan yang mengupload fotonya ke story i*******m pribadi pria itu, dengan sopan mengambil alih ponsel Ardan dari tangannya. Sudah ada 50 orang lebih yang melihat fotonya di instastory Ardan. Anjani berusaha tidak panik. Dengan cepat menghapus foto tersebut dari instastory Ardan.
“Maaf Pak, saya nggak mau ada yang salah paham,” ujar Anjani sembari mengembalikan hape Ardan.
Kening Ardan mengernyit,
"Salah paham? Saya jomblo, tenang aja.”
“Ya bapak jomblo, lah saya udah punya bojo!”
Arsya mengusap matanya yang masih berat. Ia segera menyibak selimutnya tatkala merasa ada sesuatu di perutnya yang mendesak ingin keluar. Dengan cepat Arsya langsung berlari memasuki kamar mandi.Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama didalam kamar mandi, Arsya segera keluar sambil mengusap perutnya yang merasa tak enak sejak subuh tadi. Terhitung sudah tiga kali Arsya keluar masuk kamar mandi pagi ini."Kayaknya gue masuk angin nih," gumam Arsya mengingat semalam ia bergadang nonton bareng pertandingan bola dengan teman kantornya, belum lagi semalam ia pulang jam 2 dini hari.Melihat layar ponselnya yang menyala diatas meja, Arsya segera meraihnya. Terdapat puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Anjani di sana. Arsya menepuk jidat, sejak kapan ponselnya berubah jadi mode silent?Ah, iya, sejak meeting kemarin siang. Dan ia lupa mengubahnya lagi.
Deka Ipar: pesawat kak jani udah berangkat sejam lalu, kalau masih belum sampe tolong jemput di bandara ya bang Deka Ipar: gue takut kakak nyasar Arsya yang baru saja selesai bersih-bersih tempat kosnya langsung terdiam. Mencerna lebih dalam maksud pesan yang adik iparnya kirim setengah jam lalu. Segera jari jempol Arsya menekan cepat ikon berbentuk telpon di roomchat mereka. Belum ada jawaban, Deka mengabaikan panggilannya. Arsya: jani emang mau kemana, Ka? Lima menit berlalu, pesannya belum juga dibaca. Bergantian Arsya menghubungi Anjani dan Deka, tapi hasilnya sama, mereka kompak mengabaikan panggilannya. "Assalamu'alaikum, ada apa anak ganteng?" Arsya sedikit bernafas lega mendengar suara Mamahnya disebrang sana, "Walaikumsalam, Mah, Mamah dimana?" "Di hati ayahmu," jawab S
Anjani menatap Arsya penuh selidik. Memperhatikan gerak - gerik panik suaminya ntah karena apa. Keluar masuk kamar tidak jelas sedang melakukan apa."KAMU NGAPAIN SIH MAS?!" teriak Anjani kesal. Baru datang bukannya dikasih minum, malah disuruh nonton tingkah anehnya Arsya.Arsya yang baru mau kembali masuk kedalam kamar berhenti, menatap Anjani kikuk, lalu mengeluarkan cengiran bodohnya."Itu.. Hm.. Iya ya, mas ngapain ya daritadi?" ujar Arsya membuat Anjani menahan bibirnya supaya tidak kebablasan mengumpati suaminya itu.Anjani bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Arsya lalu menempelkan telapak tangannya pada kening pria itu."Oh, panas," kata Anjani lalu membawa Arsya masuk kedalam kamar."Tidur, mas masih demam," titah Anjani, Arsya segera merebahkan dirinya diatas ranjang nurut.Anjani melangkah keluar, menuju dapur. Menyeduhkan Arsya segelas teh manis anget. Karena apapun sakitnya, teh
Menyebalkan.Anjani paling nggak suka kalo liat Arsya lebih mementingkan pekerjaan atau tugas kuliah daripada dirinya, sedangkan mereka jarang punya waktu bersama.Arsya tuh ngerti nggak sih sama yang namanya memanfaatkan waktu?Nggak tau apa kalau nyari kesempatan buat mereka berada di satu atap yang sama itu nggak gampang.Segala cara udah Anjani lakukan buat menarik atensi suaminya itu. Dari mulai menaikan volume tivi hingga full, menghentak-hentakan kaki kesal, dan yang terakhir....Menimpuk kepala Arsya pakai remot AC.Dan itu berhasil."Nggak bisa dilanjut besok?" seru Anjani saat Arsya mendongak dan menatapnya bertanya. Arsya terlihat biasa saja walau Anjani sudah bersikap kurang ajar padanya.Arsya mengusap belakang kepalanya yang kena sasaran tadi, "Maunya gitu, tapi nanggung," jawab Arsya, lalu kembali fokus pada layar laptopnya lagi. Mengabaikan raut muka Anjani yang
Seminggu tinggal sama istri, akhirnya Arsya kembali merasakan rasanya diperlakukan layaknya seorang suami. Terakhir, empat bulan yang lalu Anjani melayani nya seperti ini. Iya, empat bulan yang lalu sebelum jarak memisahkan mereka.Untung saja urusan perkuliahan Anjani tinggal selangkah lagi, jadi ia tidak perlu menunggu lama-lama untuk kembali tinggal bersama."Nanti aku ke supermarket ya mas, kulkas udah kosong kayak dompet tanggung bulan," Seru Anjani sambil menyeduh susu hangat untuk Arsya."Iya, tapi nanti malam ya tunggu mas pulang kerja," jawab Arsya sambil menyicip susu hangat buatan sang istri. Kalo pagi Arsya memang kebiasaan minum susu daripada kopi. Kecuali kalo bergadangin tugas sampe pagi baru yang Arsya cari kopi."Emang mas gak capek? Aku bisa sendiri kok,""Nggak, pokoknya tunggu mas pulang."Anjani mengangguk nurut lalu memindahkan nasi gorengnya ke wadah, kemudian menyajikannya diatas meja mak
Arsya duduk sabar menunggu istrinya yang masih sibuk melihat - lihat skincare dan barang kebutuhan wanita lainnya dari setengah jam lalu. Sesuai janjinya, sepulang kerja Arsya langsung membawa sang istri ke mall alih - alih ke supermarket."Masss!!!" panggil Anjani yang sudah berdiri didepan meja kasir. "Bayar." ujarnya saat Arsya menoleh kearahnya.Arsya bangkit berdiri, menarik troli berisi sembako untuk keperluan rumahnya selama sebulan kedepan lalu berjalan menghampiri Anjani.Sesampainya dimeja kasir Arsya langsung mengeluarkan uangnya sebanyak total harga belanjaan sang istri. Daripada memakai kartu debit, Arsya lebih suka transaksi langsung pakai uang tunai."Sini aku aja yang dorong." seru Anjani sambil mengambil alih troli belanjaan dari tangan Arsya.Usai melakukan pembayaran, Anjani memimpin perjalanan mereka mengitari gedung mall. Wanita hamil itu tampaknya masih semangat menjalankan misinya menguras isi dompet sang suami.Arsya mering
Selepas kuliah Nisya membawa teman-temannya main kerumah. Rista dan Alisa ingin menuntaskan rasa penasaran mereka pada sosok saingan berat Nisya. Kurang kerjaan memang, tapi sekepo itu mereka dengan wujud istrinya bapak Cakrawala.Mereka ngobrol diteras rumah Nisya, sembari berharap sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya."Nis, Kenapa harus naksir sama suami orang sih?" tanya Rista yang paling menentang perasaan temannya itu."Namanya cinta gak bisa milih bakal jatuh ke siapa!" sih kompor Alisa menyahuti.Rista memutar bola matanya jengah, "Iya, paham. Tapikan kita bisa ngendaliin perasaan itu. Lo tau kan perasaan lo itu salah? Gak ada usaha buat udahin apa?" ujar Rista tak mau kalah.Nisya tersenyum simpul, matanya menatap lurus ke pintu kamar kost Arsya yang tertutup rapat, "Gak. Cowok kayak mas Arsya itu langka, dia beda." gumamnya.Kening Rista mengernyit bingung, "Beda gimana? Dia telurnya tiga?"
Anjani menghirup nafas lega ketika kakinya beranjak keluar dari ruang sidang. Kakinya yang lemas ia paksa berjalan menuju kursi di depannya. Duduk disana sembari mengatur nafasnya yang abnormal. Pertanyaan yang diajukan Dosennya tadi masih mampu Anjani tangani dan jawab dengan baik, tapi tatapan dan wajah datar Dosen penguji nya itu yang bikin kaki Anjani gemetar.Merasa sudah baikan, Anjani jadi tersadar. Kenapa hanya dia yang tidak disambut heboh saat keluar dari ruang sidang?Spontan bibirnya mengerucut, menatap iri mahasiswa lain yang memegang buket hadiah dari teman dan keluarga. Sedang dirinya duduk termenung sendiri di keramaian ini."Woi mama muda!"Familiar dengan suara yang menggema barusan, Anjani menoleh, merasa dirinya terpanggil. Dan benar saja, didepan sana, Jeka, Reihan dan Bara tengah berjalan kearahnya.Senyum Anjani mengembang, melihat orang - orang t