Share

Bagian 5 : Tips Sembuh Ala Barry

"Abang berangkat dua hari, mau survei lapangan. Ada proyek di sana. Sudah abang telpon restoran untuk mengantarkan makanan saat makan malam. Makanan di kulkas juga sudah diisi penuh. Jaga diri baik-baik, biar abang nelpon diangkat." 

Adora diam, padahal dalam hatinya ia ingin menari zumba saking senangnya. Dalam 19 tahun hidupnya akhirnya Harry meninggalkan dirinya walau dalam dua hari. Tentu ini proyek yang besar, mana mau Harry meninggalkan dirinya. 

"Karena proyek ini bonusnya besar. Abang usahakan dapat, biar nanti kita bisa liburan." Adora tersenyum, walau hanya terpaksa. Ia memang jadi manusia paling munafik di dunia ini. 

"Oh iya hati-hati." Basa-basi. Padahal dalam hati Adora berharap Harry mati dalam perjalanan entah kecelakaan pesawat atau mobil masuk jurang. Gadis itu menggeleng, jangan dulu ia belum kerja dan belum punya tabungan yang cukup untuk masa depannya. 

"Sebenarnya Abang mau minta orang temanin kami tidur." 

"Tidak perlu!" Adora menolak cepat. Ayolah, ia sudah berbulu bukannya anak balita yang masih minta susu sama ibunya. Walau Harry masih melihat dirinya seperti anak usia balita. 

"Jangan lupa obatnya." Adora mengangguk. Setiap hari hanya itu terus yang Harry katakan, tak ada hal lain. 

Dan Harry berangkat pagi. Laki-laki itu beribu kali memberi pesan agar menjaga diri seolah Harry tidak peduli jika rumah ini dirampok. 

Adora melambai pada Harry yang keluar dari rumah mereka. Karena tak ada Harry, Adora ingin bebas dan berencana bolos kuliah hari ini. Hanya satu hari, jadi ia tidak berdosa. Adora ingin me time memanfaatkan sebaik mungkin, menonton film kesukaan karena bersama Harry, Adora mengalah dan mengikuti selera film laki-laki yang tidak cocok untuknya. 

Pertama-tama Adora ingin menelpon Syden hingga ponselnya meledak karena selama ini mereka tak pernah bertelpon banyak hal yang bisa Adora manfaatkan. Seperti mencoba makanan kesukaan atau melihat halaman belakang mereka yang ada tumbuh pohon mangga. Siapa tahu Adora bisa panen. 

Adora berbaring di sofa, karena selama ada Harry ia bahkan segan duduk di sofa karena ada laki-laki itu. Adora menaikan kakinya ke atas sambil bermain ponsel, bersama Harry ia tak bebas bermain ponsel. Adora seperti burung yang baru lepas dari sangkar. Harry memang kejam, perhatian yang berlebihan malah membuat orang tak suka padanya. 

Adora mengetik pesan pada Syden, apa laki-laki itu ikut abangnya atau tidak. Tapi Syden membalas tidak, Adora tersenyum dan menelpon laki-laki itu walau ia tahu sekarang jam kerja. 

"Hai." sapa Adora malu. Gadis itu berbaring dengan wajah tanpa tempelan apa-apa. Bahkan Adora hanya cuci muka dan sikat gigi, jika ada Harry ia harus mandi terlebih dahulu baru sarapan. Karena jika hari libur atau hari Sabtu-Minggu Harry akan memasak spesial sehingga mereka telat sarapan. 

"Hey." Adora makin tersenyum saat melihat Syden yang sepertinya berada di luar kantor. Angin bertiup membuat rambut laki-laki itu terikut dan Syden makin tampan di mata Adora sekarang. 

"Nggak ke kampus?" Adora menggeleng. Dari sekolah ia selalu menjadi anak teladan dan lebih memilih sekolah daripada di rumah yang membuat hidupnya semakin terlihat menyedihkan. Tapi, sekarang Adora benar-benar merasa lega dan baru merasa nyaman. 

Sebenarnya Adora ingin menanyakan apa proyek yang Harry maksud, tapi Adora sudah mengambil prinsip tak peduli pada urusan Harry, biarlah laki-laki itu mengatur hidupnya tapi Adora jangan ikut campur hidup laki-laki itu. 

"Jadi di rumah ngapain?" 

"Uhm. Rencana mau masak seblak. Mau?" Syden menggeleng. 

"Makan aja, biar kamu kenyang." Adora tertawa. Ia memang berencana memasak seblak satu kuali dan makan sendiri, ia ingin memuaskan dahaganya. Atau Adora membeli ice cream satu kulkas dan memakan ice cream terus, walau seblak kedengarannya lebih mengugah selera. Adora membaca sekilas di internet dan memang tidak susah membuatnya. 

"Nikmatin masa kesendiriannya dengan sebaik mungkin." pesan Syden. Adora yang tadinya tersenyum lebar langsung berubah kecut. Ya benar, ia memang harus memanfaatkan sebaik mungkin. 

"Atau kamu mau kita Dinner besok?" hibur Syden. 

"Oh boleh." 

"Besok ya jam 8 aku jemput." Adora hanya tersenyum. Sekarang otaknya malah memikirkan berbagai macam makanan dan ia ingin makan semuanya, Adora juga ingin makan kepiting saos tiram. Daging kepiting yang manis membuat gadis itu makin keroncongan. 

"Okay. Nanti aku telpon lagi, mau masak seblak dulu." Syden tertawa tapi ia akhirnya melambai pada Adora. Gadis itu mematikan sambungan telpon. Nanti ia bisa menelpon Syden kembali lagian Syden juga masih bekerja. 

Adora langsung ke dapur, dan membuka kulkas. Harry tidak bohong, semuanya sudah ada. Walau Adora juga ingin memesan lewat jasa go-pasar. 

Adora melihat barang-barang di kulkas dan menunggu pesanannya diantar. Benar saja, tak sampai tiga puluh menit pesanan bahan mentah itu tiba. Adora membayar mengunci pintu dan mulai memasaknya. Andai saja ia hidup sendiri, rasanya lebih menyenangkan. 

Adora mulai memasak semuanya di dapur. Dari dulu ia memang suka memasak, tapi sifat over protektif Harry membuat passion Adora seolah dimatikan. Padahal kalau tak jadi psikolog Adora ingin sekolah chef. 

Mencoba membuat makanan atau mencoba resep baru itu rasanya sangat menyenangkan. 

Sesuai semua keinginannya, Adora memasak satu kuali penuh seblak dan kepiting bahkan ia juga membuat salad buah porsi besar. Puas! Sangat puas! 

Semoga Harry memang tak kembali dan menyulitkan hidup Adora! 

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Ilana harus bertanggung jawab pada tytyd Barry. Karena sepertinya laki-laki itu tidak main-main jika masa depannya terancam. Awalnya Ilana mengira Barry hanya mengerjainya tapi melihat Barry yang bahkan tak bisa berjalan, Ilana tahu ia baru saja merusak masa depan orang lain, bahkan Barry sudah impoten sekarang. 

Flat Ilana ada dua kamar, jadi ia bisa meminjamkan sampai Barry sembuh. Jika laki-laki ini modus terus makan Ilana tak segan akan memotong milik Barry. 

Barry berlakon seperti orang yang baru sunat laki-laki itu memakai sarung dan hanya tidur katanya tytyd-nya begitu nyeri. Ilana tak tega, ia sudah mencari di internet dan memberi obat pereda nyeri agar tytyd Barry tidak nyeri lagi. 

"Masih sakit nggak?" tanya Ilana berdiri di depan kamar Barryโ€”kamar inap Barry. 

"Iyalah. Orang tyty-nya bengkak. Gila nih cewek! Kalau patah gimana atau bolanya pecah?" Ilana menelan ludahnya gugup, perkara tytyd saja sampai seperti ini.

"Sorry." 

"Tytyd-nya memar warna biru. Mau lihat?" Ilana menggeleng. 

Gadis itu keluar lagi duduk di sofa. Ia harus bertanggung jawab karena ia yang membuat kekacaun ini walau Barry yang memulai segalanya. Ilana menjadi takut dan masih tak tenang karena tytyd merupakan alat vital bagi sang empunya, dikhawatirkan Barry tak bisa menikah karena ia impoten dan tytyd-nya tak bisa ereksi. Ilana mengusap lehernya. Ini sangat horor sekali. 

Ilana jadi bolak-balik. Bagaimana ia harus menyelamatkan Barry, tanpa ada yang tahu apalagi Alena dan keluarganya. Bisa saja bundanya bertamu tiba-tiba dan mengamuk jika ia menyimpan laki-laki di sini. Apalagi kondisi Barry yang membuat semua orang suudzon. 

Ilana melihat ponselnya. Apa yang ia baca di internet dengan pengakuan Barry kemungkinan tytyd Barry mengalami trauma. Ya Tuhan bagaimana ini?

Ilana akhirnya memanggil dokter ke unit miliknya karena Barry tak bisa berjalan. Bahkan berjalan ke kamar aja, ia harus memapah Barry dengan sangat hati-hati. 

"Kamu pipis sakit nggak?" tanya Ilana berdiri di depan pintu. Barry sedang bermain ponsel, ia mengabarkan Alena jika ia sedang berada di luar kota hingga ia tak bisa dijumpai sekarang. Padahal ia sekarang sedang mengendap di kamar sahabat Alena. Hidup macam apa yang Barry jalani? 

"Iyalah. Orang tytyd-nya perih." 

"Berdarah nggak?" tanya Ilana dengan rasa bersalah. 

Ilana masuk ke dalam. Dan melihat Barry yang memanjangkan kakinya laki-laki ini memang kesusahan. 

"Aku udah telpon dokter. Bentar lagi dokter datang, kan kamu tak bisa jalan." 

"Kalau aku mandul, kamu harus nikahin aku." tuntut Barry. Ilana memutar bola matanya malas. Siapa suruh Barry yang mesum duluan itu adalah salah satu bentuk perlindungan diri, walau Ilana merasa bersalah sekarang. 

"Oh c'mon Bar, jangan main drama murahan seperti ini.  Kamu pikir siapa yang mulia duluan?" balas Ilana sengit. Memangnya Barry pikir ia wanita bodoh yang mau-mau saja seperti kerbau dicocok hidung? Nope! Ilana itu wanita cerdas yang tak gampang ditindas. Baginya laki-laki itu yang harus tunduk di kakinya, walau nyatanya ia belum berhasil membuat Harry bertekuk lutut padanya, tapi Ilana bisa pastikan Harry akan melakukan hal itu padanya. 

"I'm not jokes at all. Aku serius memang rasanya perih dan kurasa aku sudah mandul." 

Ilana mendekat ke arah Barry. Wanita itu duduk di samping laki-laki itu. "I'm sorry okay. Aku sudah menampung kamu dan kurasa semuanya sudah impas, makanya ini sebagai pelajaran untuk kamu jangan menggoda orang sembarangan. I'm not your lover, your girlfriend or your fiance." 

"But you're my future wife." Ilana menggeleng. 

"Aku serius Bar. Tubuh kamu masih sakit, dan aku bisa buat tytyd kamu tercabut dari sarangnya." Barry langsung bergidik ngeri miliknya semakin terasa ngilu. Wanita ini seperti monster. Mungkin ia harus pikir-pikir lagi jika menyukai wanita seperti model Ilana. 

"Tapi aku juga serius jika aku suka sama kamu." Ilana terus menggeleng. Mengabaikan semua kata-kata yang keluar dari mulut Barry. 

"Beristirahat lah. Sebentar lagi dokter datang, dan cepat sembuh. Karena aku tak bisa menampung orang lebih lama lagi. Setelah itu, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kecuali memang kamu mau tytyd hilang beneran." Ilana memperingatkan Barry. Tapi semua ancaman Ilana seolah lelucon bagi Barry. Laki-laki itu malah terkekeh, memang tak perlu diragukan jika laki-laki psikopat. Harusnya Ilana tak memanggil dokter kelamin tapi psikiater. Jiwa Harry butuh penanganan. 

"Dan aku tetap akan memilih opsi kedua. Tytyd hilang di tangan kamu rasanya menyenangkan. Apalagi saat kita bercinta dengan panas." goda Barry. Ia berusaha menghibur dirinya karena tytyd-nya terasa nyeri. 

"Oh Tuhan Barry. Please stop! Jangan bersikap kekanakan, kamu sudah dewasa pikirkan masa depan yang baik bersama pacarmu. Kasian Alena terlalu memujamu." 

"Salahkan dirimu kenapa terlalu cantik. Serius, saat pertemuan pertama kita di Cafe Daun-Daun juga. Aku langsung jatuh cinta, aku jatuh dengan semua kepribadian dan semua sikap kamu. Ada seorang wanita yang begitu sinis, tapi semakin terlihat menawan, bicaranya tak ada manis sama sekali tapi lumatannya terasa manis sekali." 

"Well. Aku cukup tersanjung dengan semua pujianmu, terima kasih." 

"Beri padaku ciuman sebagai rasa terima kasih." Ilana mengepalkan tangannya dan menunjuk pada Barry. Laki-laki itu tertawa makin keras. 

"Awhhh. Shit!" umpat Barry, saat tytyd-nya ikut berdenyut nyeri karena terlalu keras tertawa. 

"Kualat lagi!" 

Dokter datang. Ilana mempersilahkan dokter laki-laki itu memeriksa milik Barry. Wanita itu menunggu di luar sambil menyiapkan uang untuk membayar dokter. Barry psikopat memang menyusahkan hidupnya saja, bahkan kerjaannya terbengkalai. Pacar tak guna juga sampai sekarang belum mengutus seseorang untuk membantu Ilana mengatur jadwal karena endors yang ia terima makin banyak. 

Hampir lama juga dokter di dalam dan akhirnya keluar. Ilana tak perlu bertanya karena itu urusan para lelaki, ia tak perlu tahu milik Barry seperti apa yang penting Barry cepat sembuh dan ia bisa menendang laki-laki ini keluar dari hidupnya selamanya. 

"Penisnya mengalami traumatik. Usahakan pakai kain lembut, dan juga hindari aktivitas seksual." Ilana memalingkan wajahnya. Memangnya dokter ini pikir ia melakukan aktivitas seksual dengan Barry. Oh Tuhan, para sekali. 

"Terima kasih." Ilana hanya perlu mengatakan itu. Dan menyodorkan uang dalam amplop, dokter itu menolak dengan tangannya dan memberi isyarat Barry sudah membayar di dalam. Syukurlah, Barry tak terlalu jadi parasit dalam hidupnya. 

"Kalau ada masalah lagi tolong telpon saya. Nanti saya beri pesan, untuk minum obatnya." Ilana mengangguk. 

Ilana masuk ke dalam kamarnya. Sekarang ia juga harus memikirkan Barry makan. Laki-laki itu memang menyusahkan, tak jadi Ilana memujinya. 

Ilana akhirnya memakai uang tadi untuk memesan makanan untuk dirinya dan Barry, karena ingin memperlakukan seperti orang sakit, Ilana membelikan Barry bubur. 

"Aku udah pesan makanan. Kamu bisa jalan atau nggak?" Barry menggeleng. Tentu saja ia sekarang bisa ia manfaatkan untuk modus dengan Ilana menguapi dirinya. 

"Selain tytyd sakit, ternyata tanganku juga sakit jadi bisanya disuapin." pinta Barry manja. Ilana mengepalkan tangannya, jika tak sabar ia bisa melemparkan bubur itu ke wajah Barry. 

Ilana berbalik. Niat hati membiarkan Barry mati kelaparan, tapi rasanya tak tega ya. Akhirnya Ilana membawa bungkusan steryfoam yang berisi bubur yang masih panas. Bahkan Ilana tak perlu repot-repot untuk memindahkan ke mangkok. Walau ia berbaik hati membawa air putih juga. Barry butuh minum obat, walau tak mengerti obat apa yang dokter beri. 

"Kita memang lagi stimulasi jadi suami-istri." goda Barry. Mulut Barry memang minta dikoyak. 

"Bar jangan mulai. Ingat! Aku melakukan semua ini terpaksa." Ilana mendekat ke arah Barry yang duduk seperti orang habis melahirkan. 

"Oh yes, terpaksa yang jadi kebiasaan dan sebentar lagi pasti beneran." Barry diam ketika melihat raut wajah Ilana makin galak. Laki-laki itu langsung kalem takut tytyd patah jilid ke dua. 

Ilana menyuapi Barry. Bahkan laki-laki itu membuka mulutnya begitu lebar. Memalukan! Bahkan Barry tak pernah bersikap sok cool seperti para laki-laki di luaran sana, Barry selalu bersikap seperti orang bodoh di hadapannya Ilana membuat gadis itu semakin tak menyukai laki-laki ini. 

"Sebenarnya makan bubur aja tak kenyang." 

"Jadi makan apa?" tanya Ilana jengkel. Bahkan bunda dan papahnya belum pernah ia rawat seperti ini, tapi laki-laki sial ini ia rawat seperti telur emas. Ilana ingat abangnya pernah kecelakaannya tapi Ilana tak merawat langsung, tapi si psikopat ini karena masalah tytyd ia jadi menanggung semua hidup Barry. 

"Nanti aku jujur kamu marah." 

"Apa?" desak Ilana tak sabaran. Jika Barry macam-macam Ilana sudah mengambil sendok mengancam laki-laki itu. Barry akhirnya hanya tertawa, sikap ketus Ilana yang membuatnya tertarik dan semakin tertarik untuk menaklukan wanita ini. 

"Baiklah-baiklah aku menyerah." 

"Psikopat!" umpat Ilana. Dan bangkit dari tempat tidur. Sudah ada beberapa macam obat di atas nakas. 

Ilana membaca satu-satu dan memberi pada Barry. 

"Barry sialan! Apa yang kau lakukan?" pekik Ilana murka sedangkan Barry tertawa keras memegang perutnya, bahkan ia sampai melupakan jika tytyd-nya sedang bengkak. 

Ilana membaca kertas yang sengaja dimasukan dalam obat. 

Tips sembuh : 

Minum obat โŒ

Tytyd dipegang Ilana โœ…

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Ngakak parah๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ. 

Barry ai lope pull. Suka bangat sama karakter Barry๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ. 

Siapa yang ngakak baca part ini? 

Semoga kalian terus bahagia dan terhibur dengan kisah mereka๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ. 

See yaโค๏ธโค๏ธโค๏ธโค๏ธ. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rizka Ahmed Syukri
kok makin kesini lebih seneng jadi ama Barry ya dibanding kakaknya Butbut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status