"Bernafaslah."
Suara berat dan serak terdengar seperti doa. Tangannya terasa melingkar sempurna di pergelanganku. Dia berbisik hal yang sama berulang kali. Dan entah kenapa semuanya seperti mampu menyingirkan kegelisahanku.
"Bitch, wake up."
Pun mataku terbuka lebar mendengar pemilik suara yang sama mengatakan kalimat yang 180 derajat berkebalikan. Kasar sekali. Seorang pria berjas lengkap nan tinggi tahu-tahu tengah berkacak pinggang. Tatapannya dingin dan angkuh, seakan ia berniat menghilangkanku dari hadapannya secara kejam.
Oh, tunggu. Di mana aku?
Ya, dari adanya ranjang empuk yang menjadi tempatku kini berbaring aku tahu ruangan ini adalah kamar. Kamar megah dengan desain klasik. Tapi yang jadi pertanyaanku adalah kamar siapa ini?
"Keluarlah dari kamarku, setelah itu keluar dari rumahku." Ucapnya, melepas dasi miliknya sebelum melempar benda itu ke lantai.
Melihat dia mulai membuka jasnya, aku pun langsung turun dari ranjang. Aku melangkah dengan terburu-buru dan ternyata kakiku terlilit selimut. Tubuhku limbung, namun pria tersebut gesit menarik pinggangku. Ranjang berdecit cukup keras, karena setelahnya dia menghempaskan tubuh kami ke ranjang.
Dia menatapku intens dengan mata indahnya. Deru nafas hangat pria berambut agak ikal ini mengenai wajahku, menyapu kulit pucatku. Aroma maskulin benar-benar cocok untuk sosoknya. Hal buruknya yaitu tubuhku kini menjadi kaku, tidak dapat digerakkan sama sekali.
"Harry!"
Mendengar teriakan seorang wanita dari luar kamar, secara refleks aku mendorongnya. Tapi sialnya dia justru semakin mendekatkan wajahnya, menahan lenganku agar tidak bergerak. Perlahan ketakutan menyelimutiku, takut ia berbuat hal-hal menyeramkan seperti... membunuhku?
"Apakah gadis itu sudah sadar?" Teriak wanita itu lagi.
Alih-alih bukannya balas menjawab, seseorang yang baru ku ketahui bernama Harry ini dengan lancangnya menyentuh bibirku. Dia menyeringai lebar dan aku merinding. "Kau ingin aku menjawab pertanyaannya? Atau... kau lebih tertarik jika aku mencium bibirmu?
Aku dorong tubuhnya dan pria tersebut hanya tertawa geli. Detik itu aku sadar, bahwa aku terperangkap dengan pria pembuat masalah.
******
"Minumlah selagi hangat." Seorang wanita berambut sebahu memberikanku secangkir teh hangat. Dia tersenyum, menemaniku yang sedang menatap kosong pemandangan dari sebuah balkon. Bisa ku simpulkan, jika dia adalah wanita yang sempat menanyakan perihal kesadaranku beberapa saat lalu.
Oh, sebenarnya aku terjebak di mana?
"Terima kasih." Balasku. Telunjukku berhenti mengetuk cangkir, lalu memberanikan diri menoleh padanya. "Sebenarnya... apa yang sudah terjadi? Mengapa aku bisa berada di sini?"
"Kau mengalami kecelakaan." Jawabnya, berhati-hati. Aku tertegun. Berusaha mengingat apapun. Entah itu peristiwa tabrakan yang seperti wanita itu katakan, maupun mencoba mengingat siapa diriku. Tetapi nihil. Aku gagal menemui jawaban. "Beruntung kondisimu tidak terlalu parah. Sehingga kami memutuskan membawamu ke sini. Kau bisa segera pulih, tenang saja." Dia pun menarik kursi, dan dengan terampil mengganti perban di kepalaku. Aku bahkan tidak sadar dengan perban tersebut. "Jadi, siapa namamu?"
Aku menggigit bibirku, kian berpikir keras. "Aku... tidak ingat. Maaf."
Ku dapati wanita cantik tersebut mematung sebelum berujar, "Kemungkinan besar kau terkena benturan yang cukup keras. Tak apa, honey. Ku yakin kau akan segera pulih dan mengingat semuanya." Sekilas ucapannya memang nampak meyakinkan, namun itu tetap tak bisa mengilangkan kegelisahanku. Lantas aku memukul kepalaku, lagi dan lagi, sekeras yang ku bisa. Aku begitu kesal pada diriku sendiri. Mengapa ini menimpaku? "Harry! Turunlah, Harry! Bantu aku!"
"Ada ap--? Sialan!"
Harry terlihat kalap melihatku telepas dari genggaman wanita tersebut, dan kini mulai berlari ke luar rumah. Aku tidak tahu mengapa aku berlari. Aku hanya ingin berlari sejauh yang ku bisa, hingga aku lelah dan kembali pingsan. Berharap apabila aku terbangun, aku bisa mengingat semuanya.
Semuanya.
Langkahku terhenti saat melihat mobil sedan melaju cepat. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak menyadari bahwa aku dalam keadaan genting. Aku hanya menginginkan seluruh ingatanku kembali.
"Dasar, kau gadis tolol!" Tarikan Harry menjadi penyelamatku. Dalam dekapan dadanya dia terus mengumpat. "Seharusnya kita biarkan saja! Biar dia tidak menyusahkan kita lagi!" Belum sempat aku beranjak dari sofa, Harry mencengkram pergelangan tanganku, menghempaskanku sekenanya. "Lia, berikan dia dosis penenang!"
"Harry! Hentikan! Wajar jika gadis ini begitu ketakutan. Dia baru saja kehilangan ingatannya." Rangkulan lembutnya menjadikan tangisanku pecah. Bisa ku tangkap raut tegang Harry melemah, ada gurat tidak percaya terhadap apa yang baru saja didengarnya.
"B-biarkan aku pergi." Lirihku.
"Tidak, kau akan tinggal sementara waktu di sini. Harry akan menjagamu sampai kondisimu membaik." Kalimat wanita berusia 30an itu jelas mengejutkanku.
"Hey, apa maksudmu?" Harry berteriak tidak terima. "Bawa dia ke rumahmu, Lia! Dia bisa menjadi pasien pertamamu saat besok kau mendapatkan ijin praktek."
"Aku bisa pergi. Aku yakin, aku bisa mengingat semuanya." Ujarku menengahi, berusaha meyakinkan wanita ini bahwa aku bersungguh-sungguh.
"No, honey. Kau tidak perlu takut dengannya." Pundakku diremas, yang mana secara tidak langsung dia memberikanku semangat. Pun dia tersenyum usil ke arah Harry. "Harry memang terlihat tempramen, tapi adikku ini sebenarnya adalah orang yang baik."
Adik? Jadi... mereka bukan sepasang kekasih?
"Lia! Kau memang penghancur hidupku!"
Mengabaikan teriakan Harry, Lia menarik lenganku menuju dapur seraya terkekeh. "Watch your mouth, Harry Edward! Suatu hari kau akan sangat berterima kasih padaku! Ingat itu!"
*****
Suasana makan malam berlangsung cukup nyaman. Lia memperkenalkan dirinya dengan ramah. Dia bercerita banyak mengenai pengalamannya sebelum berhasil menjadi dokter seperti sekarang.
Dirinya berujar sempat diterjunkan di beberapa desa terpencil. Kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa penanganan oleh dokter tidaklah terlalu penting, karena penduduknya lebih memilih dengan perawatan ala kadarnya yang masih tradisional. Sementara Harry sesekali hanya menanggapi dengan anggukan atau gelengan malas.
"Datanglah bersama Harry, honey." Ucap Lia, lalu meneguk air mineralnya. Penyerahan ijin prakteknya sebagai dokter diadakan besok pagi, dan ajakannya membuat pupil mataku sedikit melebar. "Aku akan memberikan konsultasi rutin untukmu. Gratis. Ulangi, Harry."
"Hey, buang air kecil saja kau harus mengeluarkan uang." Sahut Harry.
Lia memelototi Harry, dan tatapannya kembali menghangat ketika menemuiku. "Aku akan marah kalau kau tidak menemuiku besok. Jadi kau wajib datang."
Aku hanya mengangguk kecil, tawarannya sungguh tidak bisa ku tolak. Bagaimanapun aku ingin secepatnya ingatanku kembali.
"Besok aku ada janji bertemu dengan klien." Mendengar perkataan Harry, membuat Lia menatap tajam lagi adiknya tersebut. "Oh, baiklah. Aku bisa mengundur jadwal pertemuanku."
Senyum Lia mengembang, senang bisa menaklukan adiknya tanpa perlu ancaman berarti. Kemudian Lia terkekeh sambil menuangkan banyak kentang ke piringku.
"Jika adikku ini berbuat yang macam-macam, kau bisa langsung menghubungiku." Lia pun memberikanku kartu namanya. "Minta juga ponsel pada Harry. Katakan saja kau mau apa. Dia ini kaya raya."
"Lia, hentikan. Kau membuatku tidak nyaman di rumahku sendiri." Sungut Harry dengan kesal sebelum beralih mengawasiku. "Dan kau gadis tanpa nama, setelah ini bereskan rumahku. Tak ada yang gratis di dunia ini. Kau paham?"
Tidak berselang lama setelah makan malam selesai, suami dan anak Lia yang bernama Ben datang menjemput. Ben berusia sekitar 5 tahun dan begitu menggemaskan. Harry beberapa kali masih 'menyodorkanku', berharap Lia mau mengubah keputusannya tentang aku yang harus tinggal di sini, di rumah Harry. Namun Lia langsung memukul pria itu tepat di keningnya, terlihat jengkel.Jujur saja aku jadi semakin tidak enak karena kehadiranku menyusahkan mereka, tapi aku sungguh tidak mempunyai pilihan lain."Weee, rasakan! Paman lagi-lagi dimarahi Ibu." Ben menjulurkan lidahnya.Harry tanpa berucap mengejar anak lelaki itu. Langkah kecil Ben hanya berhasil memutari setengah pekarangan rumah, sebelum pamannya yang tempramental menangkap tubuh mungil Ben. Ben menjerit geli saat Harry menggelitiki perutnya ter
Menatap pantulan diriku di cermin, aku merasa berbeda hari ini. Seharian kemarin aku hanya mengenakan kaus kumal milik Harry, sementara kini dress putih tanpa lengan sudah melekat pas di tubuhku. Setelah semalam Harry berucap hal tidak senonoh, aku langsung meninju perut pria itu. Alhasil Harry mengaduh kesakitan. Padahal aku tahu tinjuanku tidaklah seberapa.Menunggu Harry keluar dari kamarnya, aku pun memutuskan untuk menyiram tanaman di pekarangan depan. Aku melakukan ini bukan karena perintah pria tersebut, bukan. Bisa ku pastikan 'dulu' aku adalah typical orang yang tidak bisa diam, maksudku aku gerah berlama-lama tanpa melakukan apapun.Aku menoleh ketika unlock mobil milik Harry berbunyi. Setumpuk berkas menggunung di kedua tangannya dan itu membuatnya kewalahan. Aku berpura-pura tidak melihat, dan masih terus terkekeh kareba dia kesusahan sendiri membuka pintu mobil. Rasakan. Ini balasan atas kejahilannya padaku semalam."Brittany
Acara penyerahan ijin praktek Lia sebagai dokter baru saja usai. Rekan-rekannya terus berdatangan guna memberikan ucapan selamat. Mereka berbincang akrab, dan sesekali gelak tawa terdengar ketika salah satunya menyinggung mengenai masa-masa sekolah. Terlihat menyenangkan.Berjalan menjauh dari kerumunan, aku memilih menuju koridor belakang gedung. Setelah mengambil segelas minuman, tubuhku membeku mendapati Harry tengah berciuman panas dengan Ashley di sudut ruangan. Melingkarkan kedua kaki jenjangnya pada pinggang Harry, gadis itu seakan tidak masalah mempertontonkan apa yang ada dibalik dress ketatnya."Brittany? Bukannya kau sedang bersama Lia?"Harry menyapaku seraya menarik tangannya dari bokong Ashley. Ku amati Ashley memberikan jari tengahnya padaku.
Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri."Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja.""Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan."Terima kasih." Tuturku."Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbaha
Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini."Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk."Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini.""Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah.""Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku."Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini.""Semacam... ini?" Tanyaku ragu."Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak.""Aku memang amnesia, Lia. Namun aku
Harry's POV"Mengapa kau menghina Brittany?!"Selepas aku membawa Ashley keluar dari gedung pengadilan, amarahku langsung berkoar. Mengingat bagaimana kasarnya ia memperlakukan Brittany benar-benar tidak bisa ku tolerir lagi. Ashley terlihat geram atas bentakkanku, sehingga ia membanting tasnya sembarangan. "Kau kekasihku! Aku berhak mengaturmu, Harry! Dia dekat-dekat denganmu hanya berusaha untuk menggodamu! Aku tidak suka hal itu!" "Tapi bagaimana jika aku suka?!" Ujarku."What?..." Ashley menggeleng tak percaya."Ia tak pernah menggodaku! Justru akulah y
Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut."Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?""Tidak usah terbur
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya