Share

2 | Pengacara Mesum

Tidak berselang lama setelah makan malam selesai, suami dan anak Lia yang bernama Ben datang menjemput. Ben berusia sekitar 5 tahun dan begitu menggemaskan. Harry beberapa kali masih 'menyodorkanku', berharap Lia mau mengubah keputusannya tentang aku yang harus tinggal di sini, di rumah Harry. Namun Lia langsung memukul pria itu tepat di keningnya, terlihat jengkel.

Jujur saja aku jadi semakin tidak enak karena kehadiranku menyusahkan mereka, tapi aku sungguh tidak mempunyai pilihan lain.

"Weee, rasakan! Paman lagi-lagi dimarahi Ibu." Ben menjulurkan lidahnya.

Harry tanpa berucap mengejar anak lelaki itu. Langkah kecil Ben hanya berhasil memutari setengah pekarangan rumah, sebelum pamannya yang tempramental menangkap tubuh mungil Ben. Ben menjerit geli saat Harry menggelitiki perutnya terus-menerus.

Aku yang menyandarkan tubuhku pada sebuah pagar, tersenyum kecil. Ku akui, Harry terlihat menyenangkan dengan tawa lepasnya, yang seolah dia khusus tunjukkan hanya pada keponanakannya saja. Bahkan kini Ben merengek ingin digendong dan Harry dengam mudah menurutinya.

"Ben, sudah. Paman Harry nanti badannya sakit." Ujar Dion, suami Lia yang kini bangkit dari dudukkan anak tangga di depan pintu rumah.

"Tidak akan, Ayah! Paman Harry ini kuat! Seperti superman yang bisa mengeluarkan jaring laba-laba. Seperti ini! CIAT!" Ben menghentakkan tangannya beberapa kali, seolah dirinya memang bisa mengeluarkan jaring layaknya superhero kesayangannya. Ben heboh sendiri.

"Itu spiderman, stupid." Celetuk Harry, lalu menurunkan Ben, membuat sepatu kecilnya kembali menyentuh rumput yang masih basah.

"Harry." Tanpa sadar aku memekikkan namanya. Dia memandangiku dengan mengangkat dagunya setengah hati. "Dia akan meniru apapun yang kau ucapkan."

Harry memutarkan bola matanya, nampak tidak setuju dengan perkataanku. "Itu spiderman, clever." Racaunya setengah hati. Harry memberikan penekanan ketika berujar kata clever. Matanya pun tajam menikamku.

"Ayo pulang, Ben. Ibu tidak mau besok kau bangun kesiangan dan ketinggalan bus sekolahmu lagi." Ujar Lia yang baru keluar dari dalam rumah dengan membawa satu tas berukuran besar. Dion langsung mengambil tas tersebut dari Lia. Mereka pasangan yang saling pengertian. "Aku lelah mencuci bajumu setiap hari. Lagipula apa kau tidak kenal tempat bernama laundry?" Sarkas Lia yang dibalas decakan oleh Harry. "Oh ya, honey. Minumlah ini sehari tiga kali. Jika kau kembali merasa pusing, kau harus berhenti meminum tablet yang berwarna kuning."

Lia memberikanku sederet obat tablet. Aku merasa bersyukur dipertemukan orang sebaik dirinya. Aku memeluk tubuh Lia, bibirku tidak hentu mengucapkan terima kasih. Harry memang menyebalkan, tetapi Lia sungguhlah menolongku banyak.

"Ingat besok datang ke acaraku, okay?" Ucapnya mengingatkan.

Aku tidak berani mengiyakan maupun menolaknya. Merasa tahu diri, bahwa aku hanya gadis yang hilang ingatan, toh keberadaanku di tengah-tengah mereka hanya sementara.

"Ben, mana ciuman untuk paman?" Tanya Harry dengan mendekatkan wajahnya pada Ben, namun yang hendak dicium menolak, menjauhkan wajah Harry dengan jemari mungilnya.

"Makanya kau bercukur. Janggut berantankanmu membuat kami ngeri." Balas Lia, melihat Harry yang masih berusaha untuk mendapatkan kecupan dari Ben. Keponakannya tersebut menutupi seluruh wajahnya dan menggeleng kuat-kuat.

"Aku mau mencium tante cantik itu saja." Ben menunjukku tiba-tiba, membuatku tertawa pelan lalu berjongkok. Dengan bibir merahnya yang menggemaskan, Ben mencium pipiku lama.

"Siapa nama tante? Kenapa tante ada di sini?"

Keadaan mendadak hening. Dengan panik aku menggigit bibirku kembali dan memerhatikan mereka. Oh, siapa namaku? Ayo berpikir.

"Brittany. Panggil dia Tante Britt." Harry berujar sambil meremas kedua pundakku. Aku menggedikkan bahuku, merasa konyol dengan nama yang dilontarkannya dan tentu saja sentuhannya ini sangat tidak wajar.

"Tante Britt, kenapa mau berpacaran dengan paman? Mau aku berikan bocoran, tidak? Paman Harry itu pemalas dan pemarah."

Hal itu membuatku harus menutup mulut agar tawaku dapat tertahan. Namun gagal. Kami semua nyatanya tertawa terbahak-bahak, terkecuali Harry tentunya.

"Tante Britt bukan pacarnya paman. Lagipula Paman Harry bukan tipe tante."

Ben mengacungkan ibu jarinya. "Bagus. Tante Britt terlalu cantik untuk Pamanku."

"Kau sudah bosan dibelikan mainan oleh paman? Baiklah." Ancam Harry.

"Ih! Aku bercanda, Paman! Bercanda!" Ben mulai merengek panik. "Kalau begitu, tolong kencani pamanku ya, tante. Aku mohon."

"Astaga! Kalian ini seumuran atau bagaimana?" Lia tak habis pikir dengan kelakuan Ben dan Harry. Percakapan mereka persis teman sebaya.

Aku melambaikan tangan pada Ben yang sudah duduk di mobil untuk bersiap pulang. Sedari tadi dia memaksa agar aku mau memacari Harry. Lagipula darimana anak berusia 5 tahun mengetahui istilah pacaran? Ben, Lia, dan Dion pun pergi meninggalkan pelataran rumah Harry. Suasana kaku diantara aku dan Harry kembali tercipta. Berjalan tergesa-gesa, aku terlebih dahulu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

Melihat meja makan yang masih berantakan, aku berinisiatif untuk membereskannya. Terlepas dari perintah Harry, aku memang berniat melakukannya. Aku mulai membuang sisa rebusan sayuran ke tempat sampah, kemudian memasukkan beberapa masakan yang sekiranya masih bisa dihangatkan ke dalam kulkas. Harry pun tahu-tahu menyalakan televisi dan terhenti pada saluran berita malam.

"Britt?" Panggil Harry. Merasa itu bukan nama asliku, aku diam dan terus mencuci piring. "Brittany... Britania Raya! Holy shit! Aku baru saja menamaimu dengan nama negara Inggris!" Harry terkekeh oleh leluconnya sendiri.

Apa dia gila?

"Nama yang buruk." Celetukku. "Aku tidak suka nama itu. Lagipula aku bukan orang luar."

Mendapati dia menghampiriku, aku segera membilas piring terakhir. Harry tiba-tiba saja menarik pergelangan tanganku dan mendorong punggungku menyentuh pintu kulkas.

"No, I will call you Britt. It suits you perfectly." Dia berbisik, dan sontak aku meronta. Jarak kami benar-benar terlampau dekat. Jujur itu membuatku risih, terlebih saat ia dengan lancangnya melarikan jarinya ke pipiku. "Oh, mengapa wajahmu memerah? Apa kau takut jika aku mencium atau menyetubuhimu?"

Aku menegang di tempat. Berani sekali dia berucap kotor. "M-menjauhlah, atau aku akan menghubungi Lia."

Detik selanjutnya tawa Harry meledak keras. "Kau percaya bahwa aku akan berbuat demikian? Astaga! Aku seorang pengacara, Brittania Raya. Tak mungkin aku menyalahi aturan ketika aku bekerja mengatasnamakan hukum."

"Pengacara?" Tanyaku dengan membelakkan mata. Oh sungguh? Aku tergelak penuh ironi. Jika ingatanku kembali, hal pertama yang akan aku lakukan adalah bertindak tegas dengan menuntut kredibilitasnya sebagai seorang pengacara. "Pengacara gadungan, maksudmu? Kasihan sekali klien-klienmu."

Akibat sindiranku, Harry menggeram marah seraya mengamatiku lekat-lekat. Deru nafasnya yang berbaru papper mint menggelitik ujung kepala hingga kakiku. " Apa kau tidak tahu bahwa aku adalah pengacara yang sangat hebat di London?" Daguku diangkatnya, kemudian bibirnya bergerak perlahan dan berucap hal menjijikan. "Aku pun hebat dalam urusan ranjang, Britt. Apa kau ingin aku membuktikannya padamu malam ini juga?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status