Tidak berselang lama setelah makan malam selesai, suami dan anak Lia yang bernama Ben datang menjemput. Ben berusia sekitar 5 tahun dan begitu menggemaskan. Harry beberapa kali masih 'menyodorkanku', berharap Lia mau mengubah keputusannya tentang aku yang harus tinggal di sini, di rumah Harry. Namun Lia langsung memukul pria itu tepat di keningnya, terlihat jengkel.
Jujur saja aku jadi semakin tidak enak karena kehadiranku menyusahkan mereka, tapi aku sungguh tidak mempunyai pilihan lain.
"Weee, rasakan! Paman lagi-lagi dimarahi Ibu." Ben menjulurkan lidahnya.
Harry tanpa berucap mengejar anak lelaki itu. Langkah kecil Ben hanya berhasil memutari setengah pekarangan rumah, sebelum pamannya yang tempramental menangkap tubuh mungil Ben. Ben menjerit geli saat Harry menggelitiki perutnya terus-menerus.
Aku yang menyandarkan tubuhku pada sebuah pagar, tersenyum kecil. Ku akui, Harry terlihat menyenangkan dengan tawa lepasnya, yang seolah dia khusus tunjukkan hanya pada keponanakannya saja. Bahkan kini Ben merengek ingin digendong dan Harry dengam mudah menurutinya.
"Ben, sudah. Paman Harry nanti badannya sakit." Ujar Dion, suami Lia yang kini bangkit dari dudukkan anak tangga di depan pintu rumah.
"Tidak akan, Ayah! Paman Harry ini kuat! Seperti superman yang bisa mengeluarkan jaring laba-laba. Seperti ini! CIAT!" Ben menghentakkan tangannya beberapa kali, seolah dirinya memang bisa mengeluarkan jaring layaknya superhero kesayangannya. Ben heboh sendiri.
"Itu spiderman, stupid." Celetuk Harry, lalu menurunkan Ben, membuat sepatu kecilnya kembali menyentuh rumput yang masih basah.
"Harry." Tanpa sadar aku memekikkan namanya. Dia memandangiku dengan mengangkat dagunya setengah hati. "Dia akan meniru apapun yang kau ucapkan."
Harry memutarkan bola matanya, nampak tidak setuju dengan perkataanku. "Itu spiderman, clever." Racaunya setengah hati. Harry memberikan penekanan ketika berujar kata clever. Matanya pun tajam menikamku.
"Ayo pulang, Ben. Ibu tidak mau besok kau bangun kesiangan dan ketinggalan bus sekolahmu lagi." Ujar Lia yang baru keluar dari dalam rumah dengan membawa satu tas berukuran besar. Dion langsung mengambil tas tersebut dari Lia. Mereka pasangan yang saling pengertian. "Aku lelah mencuci bajumu setiap hari. Lagipula apa kau tidak kenal tempat bernama laundry?" Sarkas Lia yang dibalas decakan oleh Harry. "Oh ya, honey. Minumlah ini sehari tiga kali. Jika kau kembali merasa pusing, kau harus berhenti meminum tablet yang berwarna kuning."
Lia memberikanku sederet obat tablet. Aku merasa bersyukur dipertemukan orang sebaik dirinya. Aku memeluk tubuh Lia, bibirku tidak hentu mengucapkan terima kasih. Harry memang menyebalkan, tetapi Lia sungguhlah menolongku banyak.
"Ingat besok datang ke acaraku, okay?" Ucapnya mengingatkan.
Aku tidak berani mengiyakan maupun menolaknya. Merasa tahu diri, bahwa aku hanya gadis yang hilang ingatan, toh keberadaanku di tengah-tengah mereka hanya sementara.
"Ben, mana ciuman untuk paman?" Tanya Harry dengan mendekatkan wajahnya pada Ben, namun yang hendak dicium menolak, menjauhkan wajah Harry dengan jemari mungilnya.
"Makanya kau bercukur. Janggut berantankanmu membuat kami ngeri." Balas Lia, melihat Harry yang masih berusaha untuk mendapatkan kecupan dari Ben. Keponakannya tersebut menutupi seluruh wajahnya dan menggeleng kuat-kuat.
"Aku mau mencium tante cantik itu saja." Ben menunjukku tiba-tiba, membuatku tertawa pelan lalu berjongkok. Dengan bibir merahnya yang menggemaskan, Ben mencium pipiku lama.
"Siapa nama tante? Kenapa tante ada di sini?"
Keadaan mendadak hening. Dengan panik aku menggigit bibirku kembali dan memerhatikan mereka. Oh, siapa namaku? Ayo berpikir.
"Brittany. Panggil dia Tante Britt." Harry berujar sambil meremas kedua pundakku. Aku menggedikkan bahuku, merasa konyol dengan nama yang dilontarkannya dan tentu saja sentuhannya ini sangat tidak wajar.
"Tante Britt, kenapa mau berpacaran dengan paman? Mau aku berikan bocoran, tidak? Paman Harry itu pemalas dan pemarah."
Hal itu membuatku harus menutup mulut agar tawaku dapat tertahan. Namun gagal. Kami semua nyatanya tertawa terbahak-bahak, terkecuali Harry tentunya.
"Tante Britt bukan pacarnya paman. Lagipula Paman Harry bukan tipe tante."
Ben mengacungkan ibu jarinya. "Bagus. Tante Britt terlalu cantik untuk Pamanku."
"Kau sudah bosan dibelikan mainan oleh paman? Baiklah." Ancam Harry.
"Ih! Aku bercanda, Paman! Bercanda!" Ben mulai merengek panik. "Kalau begitu, tolong kencani pamanku ya, tante. Aku mohon."
"Astaga! Kalian ini seumuran atau bagaimana?" Lia tak habis pikir dengan kelakuan Ben dan Harry. Percakapan mereka persis teman sebaya.
Aku melambaikan tangan pada Ben yang sudah duduk di mobil untuk bersiap pulang. Sedari tadi dia memaksa agar aku mau memacari Harry. Lagipula darimana anak berusia 5 tahun mengetahui istilah pacaran? Ben, Lia, dan Dion pun pergi meninggalkan pelataran rumah Harry. Suasana kaku diantara aku dan Harry kembali tercipta. Berjalan tergesa-gesa, aku terlebih dahulu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
Melihat meja makan yang masih berantakan, aku berinisiatif untuk membereskannya. Terlepas dari perintah Harry, aku memang berniat melakukannya. Aku mulai membuang sisa rebusan sayuran ke tempat sampah, kemudian memasukkan beberapa masakan yang sekiranya masih bisa dihangatkan ke dalam kulkas. Harry pun tahu-tahu menyalakan televisi dan terhenti pada saluran berita malam.
"Britt?" Panggil Harry. Merasa itu bukan nama asliku, aku diam dan terus mencuci piring. "Brittany... Britania Raya! Holy shit! Aku baru saja menamaimu dengan nama negara Inggris!" Harry terkekeh oleh leluconnya sendiri.
Apa dia gila?
"Nama yang buruk." Celetukku. "Aku tidak suka nama itu. Lagipula aku bukan orang luar."
Mendapati dia menghampiriku, aku segera membilas piring terakhir. Harry tiba-tiba saja menarik pergelangan tanganku dan mendorong punggungku menyentuh pintu kulkas.
"No, I will call you Britt. It suits you perfectly." Dia berbisik, dan sontak aku meronta. Jarak kami benar-benar terlampau dekat. Jujur itu membuatku risih, terlebih saat ia dengan lancangnya melarikan jarinya ke pipiku. "Oh, mengapa wajahmu memerah? Apa kau takut jika aku mencium atau menyetubuhimu?"
Aku menegang di tempat. Berani sekali dia berucap kotor. "M-menjauhlah, atau aku akan menghubungi Lia."
Detik selanjutnya tawa Harry meledak keras. "Kau percaya bahwa aku akan berbuat demikian? Astaga! Aku seorang pengacara, Brittania Raya. Tak mungkin aku menyalahi aturan ketika aku bekerja mengatasnamakan hukum."
"Pengacara?" Tanyaku dengan membelakkan mata. Oh sungguh? Aku tergelak penuh ironi. Jika ingatanku kembali, hal pertama yang akan aku lakukan adalah bertindak tegas dengan menuntut kredibilitasnya sebagai seorang pengacara. "Pengacara gadungan, maksudmu? Kasihan sekali klien-klienmu."
Akibat sindiranku, Harry menggeram marah seraya mengamatiku lekat-lekat. Deru nafasnya yang berbaru papper mint menggelitik ujung kepala hingga kakiku. " Apa kau tidak tahu bahwa aku adalah pengacara yang sangat hebat di London?" Daguku diangkatnya, kemudian bibirnya bergerak perlahan dan berucap hal menjijikan. "Aku pun hebat dalam urusan ranjang, Britt. Apa kau ingin aku membuktikannya padamu malam ini juga?"
Menatap pantulan diriku di cermin, aku merasa berbeda hari ini. Seharian kemarin aku hanya mengenakan kaus kumal milik Harry, sementara kini dress putih tanpa lengan sudah melekat pas di tubuhku. Setelah semalam Harry berucap hal tidak senonoh, aku langsung meninju perut pria itu. Alhasil Harry mengaduh kesakitan. Padahal aku tahu tinjuanku tidaklah seberapa.Menunggu Harry keluar dari kamarnya, aku pun memutuskan untuk menyiram tanaman di pekarangan depan. Aku melakukan ini bukan karena perintah pria tersebut, bukan. Bisa ku pastikan 'dulu' aku adalah typical orang yang tidak bisa diam, maksudku aku gerah berlama-lama tanpa melakukan apapun.Aku menoleh ketika unlock mobil milik Harry berbunyi. Setumpuk berkas menggunung di kedua tangannya dan itu membuatnya kewalahan. Aku berpura-pura tidak melihat, dan masih terus terkekeh kareba dia kesusahan sendiri membuka pintu mobil. Rasakan. Ini balasan atas kejahilannya padaku semalam."Brittany
Acara penyerahan ijin praktek Lia sebagai dokter baru saja usai. Rekan-rekannya terus berdatangan guna memberikan ucapan selamat. Mereka berbincang akrab, dan sesekali gelak tawa terdengar ketika salah satunya menyinggung mengenai masa-masa sekolah. Terlihat menyenangkan.Berjalan menjauh dari kerumunan, aku memilih menuju koridor belakang gedung. Setelah mengambil segelas minuman, tubuhku membeku mendapati Harry tengah berciuman panas dengan Ashley di sudut ruangan. Melingkarkan kedua kaki jenjangnya pada pinggang Harry, gadis itu seakan tidak masalah mempertontonkan apa yang ada dibalik dress ketatnya."Brittany? Bukannya kau sedang bersama Lia?"Harry menyapaku seraya menarik tangannya dari bokong Ashley. Ku amati Ashley memberikan jari tengahnya padaku.
Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri."Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja.""Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan."Terima kasih." Tuturku."Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbaha
Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini."Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk."Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini.""Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah.""Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku."Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini.""Semacam... ini?" Tanyaku ragu."Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak.""Aku memang amnesia, Lia. Namun aku
Harry's POV"Mengapa kau menghina Brittany?!"Selepas aku membawa Ashley keluar dari gedung pengadilan, amarahku langsung berkoar. Mengingat bagaimana kasarnya ia memperlakukan Brittany benar-benar tidak bisa ku tolerir lagi. Ashley terlihat geram atas bentakkanku, sehingga ia membanting tasnya sembarangan. "Kau kekasihku! Aku berhak mengaturmu, Harry! Dia dekat-dekat denganmu hanya berusaha untuk menggodamu! Aku tidak suka hal itu!" "Tapi bagaimana jika aku suka?!" Ujarku."What?..." Ashley menggeleng tak percaya."Ia tak pernah menggodaku! Justru akulah y
Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut."Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?""Tidak usah terbur
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."