Acara penyerahan ijin praktek Lia sebagai dokter baru saja usai. Rekan-rekannya terus berdatangan guna memberikan ucapan selamat. Mereka berbincang akrab, dan sesekali gelak tawa terdengar ketika salah satunya menyinggung mengenai masa-masa sekolah. Terlihat menyenangkan.
Berjalan menjauh dari kerumunan, aku memilih menuju koridor belakang gedung. Setelah mengambil segelas minuman, tubuhku membeku mendapati Harry tengah berciuman panas dengan Ashley di sudut ruangan. Melingkarkan kedua kaki jenjangnya pada pinggang Harry, gadis itu seakan tidak masalah mempertontonkan apa yang ada dibalik dress ketatnya.
"Brittany? Bukannya kau sedang bersama Lia?"
Harry menyapaku seraya menarik tangannya dari bokong Ashley. Ku amati Ashley memberikan jari tengahnya padaku.
"M-mengambil minum." Gugupku sebelum berbalik untuk pergi. Bahkan aku menutup kuping terhadap teriakan Harry yang berkali-kali memanggil namaku. Ah, nama. Lucu sekali. Aku nampak seperti peliharaannya.
Terduduk di taman belakang gedung, aku memegangi dadaku. Jantungku berdetak kencang. Mengapa rasanya pembuluh darahku serasa pecah melihat mereka berciuman? Mungkinkah aku cemburu? Tidak, tidak mungkin. Jangan gila, Brittany.
"Hey, are you okay?"
Sebuah suara menyapa. Orange juice yang sedang ku genggam dalam sekejap terjun bebas membasahi pakaianku. Menoleh ke samping, ku dapati seorang pria sedang berdiri mengamatiku.
"I'm so sorry. Sungguh aku tidak bermaksud mengejutkanmu." Sesalnya. Mengeluarkan sapu tangan, ia pun memberikannya padaku. "Anggap ini sebagai permintaan maafku. Pakailah."
"Terima kasih." Balasku menerima. Tanpa berlama-lama lagi aku segera mengambil sapu tangan itu. Aku membersihkan noda minuman yang mengotori ujung dress ini. Oh bagaimana cara menghilangkannya? Bisa-bisa Harry akan mengamuk nanti.
"Apa kau sepupunya Lia?" Tanya pria tersebut di tengah kepanikanku.
"Bukan." Jawabku tanpa melihat ke arahnya.
"Jadi kau temannya? Aku pun temannya Lia. Kalau begitu kita bisa berteman juga, kan?"
Dahiku mengernyit. Memang bisa, ya? Kedua alis pria itu menukik, raut wajahnya seperti menyiratkan ketidaksabaran menunggu jawabanku. Aku akhirnya mengangguk kecil. "Tentu."
Ia mengulurkan tangannya, garis matanya kali ini terangkat lantaran tersenyum lebih lebar. "Aku Dylan. Senang bisa bekenalan denganmu."
"Aku umm Brittany." Balasku setelah cukup lama terdiam memikirkan perihal nama. Namun nama pemberian Harrylah yang melekat padaku sekarang, dan nama Brittany ternyata tidaklah terlalu buruk.
"Apa aku boleh duduk di sampingmu, Brittany?"
Aku tersenyum selagi mempersilahkannya. Bagaimana bisa sedari tadi aku tidak membiarkannya untuk duduk? "Ini kursi umum, tentu saja."
Lagi, Dylan tertawa renyah. Sehingga aku mempunyai pemikiran, apakah seluruh kalimat yang ku katakan adalah sesuatu yang lucu baginya? Atau sekedar basa-basi saja?
"Boleh aku minta nomor ponselmu? Akan menyenangkan bila kita bisa saling berkirim pesan."
Sesaat aku membandingkan Dylan dengan Harry. Tutur halusnya sangatlah berkebalikan dengan Harry. Bagai langit dan bumi.
"Aku tidak memiliki ponsel." Ucapku jujur.
"Sungguh?" Dylan membelakan matanya, memandangiku dengan takjub. "Astaga, feelingku memang benar. Kau memang unik dan menggemaskan. Jadi, bagaimana cara agar aku bisa menemuimu lagi?"
---
Ashley memandangiku tajam. Ia terus bergelayut manja pada lengan Harry seperti simpanse yang menempel dengan induknya. Ashley tak henti mengeluarkan semua rayuannya, masih terus membujuk Harry agar mau bermalam di rumahnya.
"Aku harus pulang. Pekerjaanku masih menumpuk." Harry beranjak dari sofa, tidak tergoda. "Beristirahatlah. Aku pulang dulu."
Harry melenggang keluar. Sementara aku yang hendak menyusulnya, terhenti oleh Ashley yang tiba-tiba menarik rambutku.
"Bitch, jangan coba kau mengganggu kesenangan kami! Or I will kill you!"
"Lepaskan." Pintaku baik-baik. Ku sadari jika aku balas menjenggutnya, maka perilakuku akan otomatis serendah dirinya.
Kendati aku tak memberikan respon yang diinginkannya, tingkah Ashley semakin menjadi dengan menarik rambutku kencang. Kemudian ia mendorongku keluar, sebelum membanting pintu depan rumahnya. Sial! Perilakunya sungguh nol besar!
Selama di perjalanan pulang aku dan Harry saling bungkam, tidak ada perbincangan yang mengalir. Moodnya Harry kemungkinan besar sedang tidak bagus. Entahlah.
Setibanya di rumah, aku melangkahkan kaki memasuki kamar tamu. Namun aku tersentak saat Harry meraih pergelangan tanganku. Ia menghimpit tubuhku ke dinding, mata hijaunya juga menyalak marah. Ada apa dengannya?
"Siapa dia?" Tanyanya dengan penuh penekanan.
"Siapa maksudmu?" Bisikku bingung.
"Pria sialan yang mengajakmu berbicara siang tadi. Siapa dia? Mengapa kalian tertawa bersama?"
Bibirku untuk beberapa detik rapat sebelum berucap, "Dia teman baruku, Dylan."
Harry tergelak sinis, "Teman baru? Woah aku tidak tahu jika kau baru saja memasuki kelas taman kanak-kanak. Apa kau selugu itu?"
Harry benar-benar konyol. Harusnya ia tak perlu mempersalahkan mengapa aku dan Dylan berkenalan hingga tertawa bersama. Itu adalah hakku untuk memanggil Dylan sebagai teman baruku.
"Tak ada yang salah dengan pertemanan antara wanita dan pria."
"Fuck! Bukan itu maksudku, Brittany! Pasti dia memiliki maksud lain!" Harry menarik rambutnya geram. "Baiklah, biar aku ubah pertanyaanku. Mengapa kau merusak baju ini?"
Seasaat aku lupa akan hal tersebut. Seharusnya aku meminta maaf sebelum ia menyadari keteledoranku. "Maaf, aku tidak sengaja menumpahkan minumanku. Aku akan segera mencucinya."
Ia menghela nafas kencang, memastikanku untuk menarik kesimpulan bahwa ia marah. "Apa maaf bisa membuat pakaian itu kembali seperti semula?" Aku menunduk, lalu menggelengkan kepala. "Bicara, Brittany!"
"Tidak."
"Bisakah kau tidak menyusahkanku satu kali saja? Ku mohon bertingkahlah dengan normal! Apa itu sangat sulit bagimu?!" Sebulir air mataku jatuh membasahi pipi. Tidak seharusnya aku mudah menangis, tetapi aku tak bisa mengendalikan keterkejutanku akan bentakannya. "Malam ini aku akan menginap di tempat Ashley! Kau membuatku muak!"
Aku meremas kedua tanganku bersamaan. Pikiranku menerawang terhadap apa yang akan mereka lakukan bersama. Berada lebih lama di dekat Harry ternyata menjadikanku pribadi yang tidak tahu diri. Secepat itukah aku menyukai Harry? Ataukah perasaan ini hanya datang karena aku mulai bergantung dengan keberadaannya?
Selepas Harry pergi, aku turut melakukan hal yang sama. Walau ragu sempat datang lantaran tak tahu harus kemana, aku tetap memberanikan diri.
Setelah dua jam menyusuri jalanan malam, keadaan sekitar pun kian sunyi. Duduk di pinggir jalan, aku memutuskan beristirahat sejenak lantaran kepalaku berdenyut luar biasa. Keluhan lain memprofokasi. Keringat dingin perlahan membanjiri tubuhku dan penglihatanku memburam.
Tepat di saat bersamaan, lampu mobil menyilaukan jarak pandangku. Siluet seorang pria yang ku kenal keluar dari balik kemudi. Sekelilingku tiba-tiba saja berubah menjadi hitam pekat. Selebihnya aku tak mampu mengingat apa yang selanjutnya terjadi.
Harry, kau kah itu?
Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah sosok Dylan yang sedang mengganti kantung cairan infusku. Jas putih khas dokternya menyadarkanku bahwa Dylan memiliki profesi yang sama dengan Lia. Jariku pun bergerak, seiring aku mengerang merasakan kepalaku kembali berdenyut nyeri."Akhirnya kau sadar, Brittany." Dylan buka suara selagi menarik kursi di pinggir ranjang tidurku. "Kau berada di rumah sakit. Tenang saja.""Apa kau yang menemukanku?" Lirihku. Saat Dylan membenarkan, ada rasa kecewa menyusup batinku. Bukan dia yang ku harapkan."Terima kasih." Tuturku."Tidak perlu sungkan. Tak ku kira pertemuan kedua kita akan seperti ini." Ia mengusap pangkal hidungnya, tersenyum. "Apa yang kau lakukan tadi di jalanan tadi? Itu berbaha
Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini."Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk."Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini.""Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah.""Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku."Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini.""Semacam... ini?" Tanyaku ragu."Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak.""Aku memang amnesia, Lia. Namun aku
Harry's POV"Mengapa kau menghina Brittany?!"Selepas aku membawa Ashley keluar dari gedung pengadilan, amarahku langsung berkoar. Mengingat bagaimana kasarnya ia memperlakukan Brittany benar-benar tidak bisa ku tolerir lagi. Ashley terlihat geram atas bentakkanku, sehingga ia membanting tasnya sembarangan. "Kau kekasihku! Aku berhak mengaturmu, Harry! Dia dekat-dekat denganmu hanya berusaha untuk menggodamu! Aku tidak suka hal itu!" "Tapi bagaimana jika aku suka?!" Ujarku."What?..." Ashley menggeleng tak percaya."Ia tak pernah menggodaku! Justru akulah y
Aku memang seorang amnesia. Namun bolehkan aku menggumamkan syukur akan hal tersebut? Aku tahu, tidak semestinya aku membenarkan pemikiran semacam itu. Tapi setidaknya, di dunia baruku ini aku bisa mengetahui satu hal, yaitu; Harry adalah ciuman pertamaku. Dan ku pastikan agar otak payahku untuk selalu mengingat hal tersebut."Britt? Apa kau sudah siap?" Seketika aku panik mendengar ketukan pintu kamar. Itu suara Harry. Dadaku bergemuruh lantaran yang kembali terbayang ialah bagaimana bibir lembut miliknya terbentuk sempurna. Sudah dua minggu kami resmi berpacaran, dan aku masih malu-malu. "Kau tidak melupakan dinner kita, kan?"Oh Tuhan. Aku benar-benar lupa ajakan makan malamnya. "A-aku tadi tertidur. Tidak masalah menunggu sekitar sepuluh menit?""Tidak usah terbur
Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut."M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banya
Aku membersihkan luka Harry dengan hati-hati. Sementara pria itu hanya diam membisu semenjak perseteruan dirinya dengan Chris berakhir beberapa waktu lalu. Walau aku tidak tahu mana kenyataan yang benar, maksudku antara pembelaan Harry maupun Chris yang jauh berkebalikan, bagaimanapun juga hatiku condong pada Harry. Aku memercayai dia melebihi orang-orang di sekitarku. Aku yakin dia selalu berkata jujur."Ini sudah malam. Beristirahat--"Tiba-tiba Harry meraih pergelangan tanganku usai aku selesai mengobatinya dan hendak beranjak dari kamarnya. Hijau Harry menatapku datar, tak ada emosi apapun yang mampu ku baca. "Apa... kau akan pergi? Kau tidak memercayaiku?"Pun aku tersenyum tipis sambil menyentuh wajahnya. "Kau kekasihku, tentu aku percaya. Sekarang tidurlah."
Sudah nyaris 1 jam aku bersembunyi di dalam kamar. Apa yang barusan terjadi membuatku terkejut. Seorang anak menyebutku 'mom' dengan senyum yang merekah lebar. Itu semakin memperkuat ucapan Chris yang ku kira sebatas kebohongan belaka. Tentang aku yang merupakan istrinya, juga tentang kami yang sudah memiliki seorang anak lelaki bernama Alex --ya dia adalah anak itu.Pintu kamar pun diketuk. Lantas cepat-cepat aku menghapus air mataku. "Sebentar, Harry. Aku akan kelu... ar." Suaraku menipis begitu tersadar sosok yang masuk bukanlah Harry, melainkan Chris. Mengapa Harry bisa membiarkan dia kemari? "A-apa yang kau lakukan? Pergi!""Berikan aku kesempatan bicara." Chris berjalan mendekat, namun aku langsung melemparinya dengan berbagai barang disekitarku. Aku enggan mendengar satu kata pun dari mulutnya. Aku belum siap, atau lebih tepatnya
Aku mengeratkan selimut ketika mendengar suara mesin mobil dari halaman rumah. Saat aku yakin itu Harry, aku pun memejamkan mata dengan posisi tidur miring. Ini sudah pukul 3 pagi, dan aku tidak percaya dia baru kembali setelah kami sempat beradu mulut. Kekesalanku bertambah manakala dia tidak mengangkat telponku maupun membalas pesanku. Dia tahu betul cara membuatku gelisah setengah mati."Britt?" Harry memanggil bersamaan dengan sentuhannya di pundakku. "Aku tahu kau belum tidur. Maafkan aku sudah meninggalkanmu seperti tadi."Aku tak bergeming barang satu inchi pun. Bisa ku rasakan sisi ranjang terisi begitu Harry memeluk tubuhku dari belakang. Tangan kanan itu melingkar di pinggangku, sementara wajahnya dia tenggelamkan pada rambutku sebelum merambah pada bagian pundak. Kemudian aku tersadar helaan nafasnya berbau alkohol, terkesan