Share

4 | Dylan dan Ashley

Acara penyerahan ijin praktek Lia sebagai dokter baru saja usai. Rekan-rekannya terus berdatangan guna memberikan ucapan selamat. Mereka berbincang akrab, dan sesekali gelak tawa terdengar ketika salah satunya menyinggung mengenai masa-masa sekolah. Terlihat menyenangkan.

Berjalan menjauh dari kerumunan, aku memilih menuju koridor belakang gedung. Setelah mengambil segelas minuman, tubuhku membeku mendapati Harry tengah berciuman panas dengan Ashley di sudut ruangan. Melingkarkan kedua kaki jenjangnya pada pinggang Harry, gadis itu seakan tidak masalah mempertontonkan apa yang ada dibalik dress ketatnya.

"Brittany? Bukannya kau sedang bersama Lia?"

Harry menyapaku seraya menarik tangannya dari bokong Ashley. Ku amati Ashley memberikan jari tengahnya padaku.

"M-mengambil minum." Gugupku sebelum berbalik untuk pergi. Bahkan aku menutup kuping terhadap teriakan Harry yang berkali-kali memanggil namaku. Ah, nama. Lucu sekali. Aku nampak seperti peliharaannya.

Terduduk di taman belakang gedung, aku memegangi dadaku. Jantungku berdetak kencang. Mengapa rasanya pembuluh darahku serasa pecah melihat mereka berciuman? Mungkinkah aku cemburu? Tidak, tidak mungkin. Jangan gila, Brittany.

"Hey, are you okay?"

Sebuah suara menyapa. Orange juice yang sedang ku genggam dalam sekejap terjun bebas membasahi pakaianku. Menoleh ke samping, ku dapati seorang pria sedang berdiri mengamatiku.

"I'm so sorry. Sungguh aku tidak bermaksud mengejutkanmu." Sesalnya. Mengeluarkan sapu tangan, ia pun memberikannya padaku. "Anggap ini sebagai permintaan maafku. Pakailah."

"Terima kasih." Balasku menerima. Tanpa berlama-lama lagi aku segera mengambil sapu tangan itu. Aku membersihkan noda minuman yang mengotori ujung dress ini. Oh bagaimana cara menghilangkannya? Bisa-bisa Harry akan mengamuk nanti.

"Apa kau sepupunya Lia?" Tanya pria tersebut di tengah kepanikanku.

"Bukan." Jawabku tanpa melihat ke arahnya.

"Jadi kau temannya? Aku pun temannya Lia. Kalau begitu kita bisa berteman juga, kan?"

Dahiku mengernyit. Memang bisa, ya? Kedua alis pria itu menukik, raut wajahnya seperti menyiratkan ketidaksabaran menunggu jawabanku. Aku akhirnya mengangguk kecil. "Tentu."

Ia mengulurkan tangannya, garis matanya kali ini terangkat lantaran tersenyum lebih lebar. "Aku Dylan. Senang bisa bekenalan denganmu."

"Aku umm Brittany." Balasku setelah cukup lama terdiam memikirkan perihal nama. Namun nama pemberian Harrylah yang melekat padaku sekarang, dan nama Brittany ternyata tidaklah terlalu buruk.

"Apa aku boleh duduk di sampingmu, Brittany?"

Aku tersenyum selagi mempersilahkannya. Bagaimana bisa sedari tadi aku tidak membiarkannya untuk duduk? "Ini kursi umum, tentu saja."

Lagi, Dylan tertawa renyah. Sehingga aku mempunyai pemikiran, apakah seluruh kalimat yang ku katakan adalah sesuatu yang lucu baginya? Atau sekedar basa-basi saja?

"Boleh aku minta nomor ponselmu? Akan menyenangkan bila kita bisa saling berkirim pesan."

Sesaat aku membandingkan Dylan dengan Harry. Tutur halusnya sangatlah berkebalikan dengan Harry. Bagai langit dan bumi.

"Aku tidak memiliki ponsel." Ucapku jujur.

"Sungguh?" Dylan membelakan matanya, memandangiku dengan takjub. "Astaga, feelingku memang benar. Kau memang unik dan menggemaskan. Jadi, bagaimana cara agar aku bisa menemuimu lagi?"

---

Ashley memandangiku tajam. Ia terus bergelayut manja pada lengan Harry seperti simpanse yang menempel dengan induknya. Ashley tak henti mengeluarkan semua rayuannya, masih terus membujuk Harry agar mau bermalam di rumahnya.

"Aku harus pulang. Pekerjaanku masih menumpuk." Harry beranjak dari sofa, tidak tergoda. "Beristirahatlah. Aku pulang dulu."

Harry melenggang keluar. Sementara aku yang hendak menyusulnya, terhenti oleh Ashley yang tiba-tiba menarik rambutku.

"Bitch, jangan coba kau mengganggu kesenangan kami! Or I will kill you!"

"Lepaskan." Pintaku baik-baik. Ku sadari jika aku balas menjenggutnya, maka perilakuku akan otomatis serendah dirinya.

Kendati aku tak memberikan respon yang diinginkannya, tingkah Ashley semakin menjadi dengan menarik rambutku kencang. Kemudian ia mendorongku keluar, sebelum membanting pintu depan rumahnya. Sial! Perilakunya sungguh nol besar!

Selama di perjalanan pulang aku dan Harry saling bungkam, tidak ada perbincangan yang mengalir. Moodnya Harry kemungkinan besar sedang tidak bagus. Entahlah.

Setibanya di rumah, aku melangkahkan kaki memasuki kamar tamu. Namun aku tersentak saat Harry meraih pergelangan tanganku. Ia menghimpit tubuhku ke dinding, mata hijaunya juga menyalak marah. Ada apa dengannya?

"Siapa dia?" Tanyanya dengan penuh penekanan.

"Siapa maksudmu?" Bisikku bingung.

"Pria sialan yang mengajakmu berbicara siang tadi. Siapa dia? Mengapa kalian tertawa bersama?"

Bibirku untuk beberapa detik rapat sebelum berucap, "Dia teman baruku, Dylan."

Harry tergelak sinis, "Teman baru? Woah aku tidak tahu jika kau baru saja memasuki kelas taman kanak-kanak. Apa kau selugu itu?"

Harry benar-benar konyol. Harusnya ia tak perlu mempersalahkan mengapa aku dan Dylan berkenalan hingga tertawa bersama. Itu adalah hakku untuk memanggil Dylan sebagai teman baruku.

"Tak ada yang salah dengan pertemanan antara wanita dan pria."

"Fuck! Bukan itu maksudku, Brittany! Pasti dia memiliki maksud lain!" Harry menarik rambutnya geram. "Baiklah, biar aku ubah pertanyaanku. Mengapa kau merusak baju ini?"

Seasaat aku lupa akan hal tersebut. Seharusnya aku meminta maaf sebelum ia menyadari keteledoranku. "Maaf, aku tidak sengaja menumpahkan minumanku. Aku akan segera mencucinya."

Ia menghela nafas kencang, memastikanku untuk menarik kesimpulan bahwa ia marah. "Apa maaf bisa membuat pakaian itu kembali seperti semula?" Aku menunduk, lalu menggelengkan kepala. "Bicara, Brittany!"

"Tidak."

"Bisakah kau tidak menyusahkanku satu kali saja? Ku mohon bertingkahlah dengan normal! Apa itu sangat sulit bagimu?!" Sebulir air mataku jatuh membasahi pipi. Tidak seharusnya aku mudah menangis, tetapi aku tak bisa mengendalikan keterkejutanku akan bentakannya. "Malam ini aku akan menginap di tempat Ashley! Kau membuatku muak!"

Aku meremas kedua tanganku bersamaan. Pikiranku menerawang terhadap apa yang akan mereka lakukan bersama. Berada lebih lama di dekat Harry ternyata menjadikanku pribadi yang tidak tahu diri. Secepat itukah aku menyukai Harry? Ataukah perasaan ini hanya datang karena aku mulai bergantung dengan keberadaannya?

Selepas Harry pergi, aku turut melakukan hal yang sama. Walau ragu sempat datang lantaran tak tahu harus kemana, aku tetap memberanikan diri.

Setelah dua jam menyusuri jalanan malam, keadaan sekitar pun kian sunyi. Duduk di pinggir jalan, aku memutuskan beristirahat sejenak lantaran kepalaku berdenyut luar biasa. Keluhan lain memprofokasi. Keringat dingin perlahan membanjiri tubuhku dan penglihatanku memburam.

Tepat di saat bersamaan, lampu mobil menyilaukan jarak pandangku. Siluet seorang pria yang ku kenal keluar dari balik kemudi. Sekelilingku tiba-tiba saja berubah menjadi hitam pekat. Selebihnya aku tak mampu mengingat apa yang selanjutnya terjadi.

Harry, kau kah itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status