Share

6 | Keadaan Membaik

Aku menikmati udara pagi di pekarangan rumah sakit bersama Lia. Ia sebelumnya muncul di kamarku tepat di saat aku tengah memandangi wajah Harry yang masih tertidur pulas. Ketika itu aku langsung salah tingkah, dan Lia hanya bisa menahan senyum. Ku yakin pipiku masih bersemu merah hingga kini.

"Jadi, bagaimana?" Tanya Lia sesaat kami telah duduk.

"Aku baik. Bahkan kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkanku seperti ini."

"Maksudku bagaimana mengenai adikku? Apa kau menyukainya?" Aku mematung, dan Lia mengacak-acak rambutku seakan ia adalah kakakku. "Tidak perlu ada yang dirahasiakan, honey. Katakanlah."

"Tidak mungkin aku menyukai pria yang sudah memiliki kekasih." Sahutku.

"Nothing impossible, apalagi untuk hal semacam ini."

"Semacam... ini?" Tanyaku ragu.

"Kau jauh lebih baik dibandingkan kekasih Harry. Ia tentu nantinya sadar, gadis mana yang terbaik untuk dirinya kelak."

"Aku memang amnesia, Lia. Namun aku tahu, menjadi orang ketiga disebuah hubungan bukanlah hal yang baik."

Lia tiba-tiba tersenyum mengejek sebelum tertawa terpingkal-pingkal. "Ternyata benar dugaanku. Kau benar-benar sudah jatuh cinta padanya."

Mataku membelak, tidak paham. "Aku tidak mengatakan bahwa aku menyukainya. Sungguh."

"Kalian berdua lucu sekali. Memiliki perasaan yang sama, tapi enggan saling jujur satu sama lain."

"T-tidak, Lia. Kau bicara apa?" Pandanganku datar mengingat Ashley yang cocok berdampingan dengan Harry. "Bagaimana bisa Harry menyukaiku ketika ia memiliki kekasih yang sempurna?"

Aku masih coba mematahkan pendapat Lia. Aku tak mau ucapan sepihaknya membuatku melambung tinggi demi sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Karena ketika nanti tidak bersesuaian, jatuh terhempas akanlah menyakitkan.

"Dress yang kemarin adalah buktinya." Gumam Lia. "Itu adalah pakaian kesukaan mendiang ibu kami. Dulu Harry pernah berjanji, bahwa ia akan memberikan dress tersebut saat ia sudah menemukan gadis yang tepat."

Aku meremas seragam pasienku, terkejut dengan penjelasan Lia. Benarkah? Dan tepat di saat bersamaan mataku membulat. "Dress tersebut kotor karenaku. Aku minta maaf, Lia. Sungguh aku tidak tahu."

"Maafkan Harry juga karena ia sampai bertengkar denganmu. Aku mewakilinya karena ia adalah tipe orang yang sulit berujar maaf."

"Kau tahu kami bertengkar?"

"Ben menelponku. Ia mengabariku jika Harry memaksa ingin bermalam di kamarnya. Dan pria yang kau sukai tersebut, bertingkah konyol dengan menceritakan pada anakku yang berusia 3 tahun bahwa kalian sedang bertengkar."

Aku ingin tergelak, sungguh. Kelakuan Harry tidaklah terduga. Tetapi setidaknya aku tahu jika kemarin malam Harry tidak bersungguh-sungguh saat dirinya mengatakan akan menginap di rumah Ashley.

"Mari masuk, Britt. Dylan bilang sebentar lagi jadwal pemeriksaanmu sebelum kau diperbolehkan pulang."

Aku mengangguk bersemangat, dan setelahnya langkahku menjadi jauh lebih ringan. Semoga ini adalah pertanda baik.

----

Sudah tepat dua minggu semenjak kepulanganku dari rumah sakit, dan semenjak itu pula Harry semakin menunjukkan sikapnya yang hangat. Keakraban kami pun terjalin dengan sendirinya, seperti saat ini misalnya, ia tiba-tiba saja memintaku agar ikut bersamanya ke pengadilan.

Perkara yang ditangani Harry bukanlah mengenai tindak asusila ataupun mengenai pidana anak di bawah umur, melainkan masalah tentang pencurian yang didakwakan kepada klien Harry. Sehingga sidang dinyatakan terbuka untuk umum, dan aku bisa menyaksikan aksi keren darinya.

Selama sidang berlangsung, aku tidak berhenti berdecak kagum pada Harry. Bagaimana ia berargumentasi serta mematahkan mati-matian pernyataan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Ia benar-benar pandai bermain dengan kata-kata dan logikanya. Hingga hakim mengetuk palu sebanyak 3 kali, klien yang Harry bantu pun akhirnya memenangkan persidangan dengan hukuman yang jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya.

"Kau hebat sekali..." Pujiku bersungguh-sungguh. Harry pun menunduk, menyembunyikan senyum mengembangnya.

"It's a piece of cake. Aku adalah pengacara terbaik." Aku memutarkan bola mataku sembari ia bergerak merangkulku. Dapat ku rasakan lututku seketika melemas akibat setuhannya yang tiba-tiba. "Sebaiknya kita pulang. Sore nanti kau harus kontrol lagi dengan Lia."

"A-aku tahu, tuan pengacara." Gagapku.

"Kurang kata tampan di belakang sebutan pengacaranya." Sergah Harry diikuti cengirannya. "Apa kau sudah merasa ada kemajuan?"

"Sejauh ini aku belum bisa mengingat apapun." Jawabku miris.

"Good..." Harry langsung gelagapan, sadar bahwa dirinya salah memberikan tanggapan. "Maksudku, itu memang bagus untuk tahapan awal. Semakin sering Lia memberikanmu konsultasi, ku yakin kau akan segera mengingat semuanya."

"Ku harap begitu." Aku tersipu malu karena ia enggan melepaskan pelukannya. "Oh ya. Bukankah sore ini kau harus bertemu dengan klienmu yang lain?"

"Aku mengulur jadwal pertemuanku. Kenapa memang?" Satu alisnya terangkat penasaran. "Kau tertarik dengan profesiku bukan begitu, Britt? Teman wanitaku juga banyak yang bilang, ketampananku bertambah jika aku sedang beradu argumen di meja hijau." Ibu jarinya menyentuh pangkal hidungnya yang kembang-kempis.

"Kau percaya diri sekali. Aku hanya ingin bilang kau tidak perlu selalu mengantarkanku ke rumah Lia. Aku bisa menggunakan bus."

Ya, Lia memang memberikanku jadwal rutin sebanyak tiga hari sekali. Terlalu seringnya intensitas waktu tersebut membuatku takut mengganggu kegiatan Harry yang lain. Sebab setiap kali aku hendak berkonsultasi, tepat saat itu juga Harry tahu-tahu sudah duduk di kursi kemudi untuk mengantarkanku.

"Harry!"

Suara itu mendadak mengakhiri pembicaraan kami. Aku langsung melepaskan rangkulan Harry setelah yakin pemilik suara itu adalah Ashley. Dari kejauhan ia nampak kesusahan berjalan dengan rok span pendek dipadu dengan high heels. Apa ia merasa nyaman?

"Kau bilang kau selesai pukul 3?! Sekarang lihatlah, sekarang sudah pukul 3 lebih 10!"

"Kau sedang apa di sini?" Pertanyaan datar Harry sontak menjadikan emosi Ashley kian berada di ubun-ubun.

"Not again, please! Jangan bilang kau lupa untuk menemaniku mencari tas Louis Vuitton terbaru! Kau bahkan kemarin berjanji akan menonton The Walk denganku!" Ashley memajukkan bibirnya yang dipoles lipstick merah menyala, dan secara tak sengaja pandangannya jatuh padaku. "Kau lagi? Kenapa kau selalu muncul di mana-mana?!" Ashley menatapku tajam, tidak lama beralih pada Harry yang raut wajahnya telihat lelah. "Kau selingkuh dariku?! Apa benar, Harry?!"

Harry menghela nafas keras-keras. "Ashley, hentikan tuduhanmu."

Aku memundurkan langkahku, menghindar untuk terlibat. Akan tetapi Harry menahan pergelangan tanganku terlebih dahulu.

"Tunggu di sini. Aku akan bicara dengannya sebentar."

"Bicara saja di sini! Dan kau tidak perlu memegangnya!" Bentak Ashley sembari melepaskan tautan kami.

Harry pun dengan geram membawa Ashley keluar dari koridor. Mataku melirik hingga punggung mereka benar-benar hilang dari penglihatanku. Mungkin sebaiknya aku pergi saja, tidak baik juga aku menjadi pengganggu kebersamaan mereka.

Keluar dari area pengadilan, setelahnya aku pun menunggu bus rute 07 yang akan membawaku ke rumah Lia. Ketika aku mengedarkan pandanganku, mataku tak sengaja menemui sosok kecil laki-laki yang terduduk di kursi restaurant bagian luar bersama ayahnya. Anak tersebut sangat manis. Jika saja bus tujuanku tidak segera tiba, mungkin aku masih asik menatap anak itu.

Kurang dari 20 menit akhirnya aku tiba di rumah Lia. Ben yang sedang bermain sepeda di halaman berteriak kegeringan memelukku. Aku mengendongannya dan mencium pipi tembamnya bertubi-tubi.

"Aunty Britt, kenapa menangis?" Jemari mungilnya menghapus air mataku. Aku menangis?

"Aunty menangis karena rindu Ben." Jawabku. Ben pun mengangguk seolah paham, setelahnya ia berceloteh mengenai gadis yang ia sukai sembari kembali menaiki sepedanya. Aku hanya mampu menahan tawa.

"Brittany!" Teriakan Harry terdengar keras bersamaan dirinya keluar dari mobil. Rautnya menunjukkan kegelisahan. "Mengapa kau pergi?! Sudah ku bilang kau tetap diam di sana!" Gertaknya sambil membawaku dalam dekap dadanya, memelukku sangat erat. Nafasnya yang tersengal-sengal menyapu leherku. Otot lengannya pun turut menegang. "Aku... pikir kau pergi. Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi."

Jujur aku tertegun dengan pengakuannya, lantas aku hanya bisa membisu. Mataku terpejam seiring ia mengecup lembut dahiku. Aku meremas jas yang melekat di tubuhnya, menikmati. Ini terasa benar dan salah di waktu bersamaan.

"Cie!" Ben tiba-tiba berdehem dari atas sepedanya, mengolok-ngolok kedekatan kami. Harry kemudian menyerang keponakannya tersebut dengan kelilitikan.

Sedikit banyak aku mulai menyukai keseharianku, aktifitasku, dan tidak terlalu memperdulikan lagi ingatan masa laluku. Dikelilingi orang-orang baik terlanjur membuatku nyaman, terlebih karena adanya sosok Harry. Harry mengubahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status