Share

9 | Kepingan Palsu

Waktu sesaat terhenti. Riuh suara instrumen musik dan godaan dari para pengunjung hilang. Suasana disekitarku senyap, seiring pikiranku yang berhasil mengenyahkan bayang pria misterius itu.

Harry yang masih dalam posisi berlutut, kembali menanyakan hal yang sama mengenai kesediaanku menjadi satu-satunya wanita di hidupnya. Gugup terlihat jelas dari gesture wajah dan tubuhnya. Ia sesekali melirikku sebelum menjatuhkan pandangannya ke lantai. Dan hal itu terus berulang beberapa kali. Dengan perasaan yang kacau, aku memutuskan menutup kotak berisikan cincin berhiaskan permata tersebut.

"M-maaf, Harry. Aku tidak bisa."

Air mataku pun jatuh. Persis perempuan bodoh yang hanya mementingkan diri sendiri, aku berlari meninggalkan Harry. Meninggalkannya yang diam terpaku di kerumunan banyak pengunjung. Ku yakin ia masih perlu mencerna kalimat penolakanku.

"Brittany! Kau mau pergi kemana?"

Aku menenteng heelsku agar kecepatan lariku tidak dapat disusul oleh Harry. Teriakannya yang menyerukan namaku, langsung hilang sesaat sebuah taksi membawaku pergi ke suatu tempat. Aku butuh waktu untuk meyendiri. Terlebih setelah aku mengecewakannya, akan sulit bagiku walau hanya sekedar melihat wajahnya lagi.

"Anda sudah tiba, Nona."

Merogoh lembaran poundsterling dari dalam clutchku, aku segera turun dari taksi. Aku menatap nanar hamparan taman indah di hadapanku, yaitu Hyde Park. Bahkan aku tak tahu-menahu mengapa aku bisa menyebutkan Hyde Park sebagai tujuanku. Seperti suatu spontanitas.

Semilir angin malam menyapa kulitku sesaat aku baru terduduk disebuah kursi. Tiba-tiba mata ini terkunci pada pohon maple yang lebat daunnya memayungi dua sejoli. Si gadis menyandarkan kepalanya di pangkuan si pria. Keduanya mendengarkan lagu dari satu handsfree yang sama. Mereka tertawa bahagia, lepas.

Jantungku berpacu keras tanpa sebab. Aku memejamkan mata sebagai usaha menghilangkan nyeri di dada. Entah mengapa, melihat pemandangan tadi begitu menyakitkan. Seolah-olah aku pernah mengalami hal demikian di kehidupan terdahuluku. Aku menggeram tertahan, merasakan potongan ingatanku semakin nyata dan nyata.

Pria beriris coklat itu.

Sebutan Anna yang membuatku damai.

Dan, tawa bayi---

"Anna, akhirnya aku menemukanmu..."

-----

Flashback

Anna menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Ia menikmati sapuan angin musim gugur Hyde Park, yang berpadu dengan sentuhan hangat di halus rambutnya. Anna menggerakan kepalanya kesana kemari di pangkuan seseorang, mencari posisi paling nyaman.

"Perlahan, sayang." Suara seorang pria mengalun. Penuh kharismatik serta perhatian. Anna akhirnya memutuskan meluruskan kaki jenjangnya. Kain yang digunakan sebagai alas tak mampu melindungi tumitnya, hingga basah rerumputan mau tidak mau terasa.

"Kau setiap hari semakin cerewet saja." Anna memajukan bibirnya, menggerutu, membuat pria tampan itu tertawa. Tawa yang sudah tidak asing lagi bagi seorang Anna selama tiga tahun terakhir ini.

"Semua demi kebaikan kau, dan---" Tangan pria bermata coklat tersebut mengelus perut wanitanya. "Anak kita tentunya."

Anna tersenyum, mengikuti gerak jemari si pria yang setia berada disekitaran perutnya. "He is the little us."

"Yeah, the mini version of William and Hawkins."

Mereka pun berciuman mesra. Pagutannya meyakinkan siapapun bahwa keduanya memang ditakdirkan untuk hidup bersama.

----

Brittany's POV

"Anna, akhirnya aku menemukanmu..."

Suatu suara mengejutkanku. Ketika aku membuka mata, ku dapati diriku dalam kondisi sembab. Pria itu hadir lagi, pria yang sama dengan sosok yang sempat menggantikan posisi Harry beberapa waktu lalu. Tapi kali ini bukan ilusi, ia nyata. Ia berdiri di sana, berjarak tiga meter dariku dengan senyum tipis dari bibirnya yang bergetar.

"Kau berada di mana selama ini?" Aku terkesiap saat ia memelukku. Bodohnya aku tak mampu meronta. Pelukannya terlalu hangat untuk batasan orang asing. "Aku mencarimu kesemua tempat, termasuk mendatangi taman ini setiap hari. Tetapi kau tidak pernah muncul... tidak sekalipun." Suaranya yang tercekat menandakan ia benar-benar diliputi kesedihan. "Anna, aku sangat merindukanmu, terlebih Al---"

"Maaf, saya rasa anda salah orang." Potongku begitu aku sadar bahwa situasi ini sangat keliru. "S-saya bukan Anna, dan saya tidak mengenal anda. Permisi."

Orang yang ku tikam dengan kalimatku terdiam. Tak berselang lama ia tertawa, selagi terus berbicara bahwa aku sedang bercanda. "Mari kita pulang. Semua orang menantikan kabar baik mengenai dirimu, sayang."

Sayang? Bicara apa pria tersebut?

"Annabeth Hawkins!"

Langkahku terhenti tepat di gerbang utama Hyde Park. Walau sejujurnya aku ingin segera pergi dari sini, tapi kedua kakiku tak bisa diajak berkompromi. Sahutannya berhasil meruntuhkan niatanku.

Annabeth Hawkins... Mengapa nama itu seperti memiliki arti tersendiri bagiku?

Aku termangu, membiarkan pundakku disentuh olehnya. Bahkan ketika aku berusaha menghindari tatapannya, lagi-lagi ia menahan daguku, membuatku menyadari bahwa aku pernah melihat iris coklat miliknya di suatu tempat.

"Kau sungguh tidak mengenaliku?" Terselip nada kesedihan dipenggalan katanya. Ku jatuhkan biruku ke objek lain, dan di saat yang bersamaan ia terisak. "Sejak kapan? Di mana kau tinggal selama ini? Dan siapa yang bertanggungjawab atas hilangnya ingatanmu? Katakan, Anna."

Aku memberontak dari cengkramannya yang memegang pergelangan tanganku sedari tadi. Otakku tak mampu lagi mendengar cecaran pertanyaannya. "B-biarkan saya pergi."

"Kau lihat ini?" Ia memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Kau pastinya bisa mengetahui hubungan yang terjalin diantara kita. Aku Chris William, suamimu. Ku mohon ingatlah aku..."

Suami? Demi Tuhan, kebohongan apalagi ini?!

"Tolong, lepas---"

Buk!

Harry tahu-tahu datang, dan langsung melayangkan tinjuannya ke arah pria yang bernama Chris tersebut. Menyaksikan kebrutalan Harry sekaligus Chris yang penuh kerapuhan, rasanya terlalu mengejutkan bagiku. Mendapati Harry bertindak semakin di luar kendali, aku cepat-cepat menahan.

"Hentikan." Lirihku pada Harry.

"Kau tak apa? Apa kau terluka?" Tanya Harry, amarahnya dalam sekejap hilang. Ia mengawasiku lekat dari ujung kaki hingga ujung kepala, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setelahnya ia melepaskan mantelnya untuk selanjutnya dikenakan padaku. "Sebaiknya kita pergi sekarang."

"Tunggu." Chris yang terkapar mengintrupsi selagi menyeka darah di ujung bibirnya. Dengan tawa mengejek, ia menghampiri kami, atau lebih tepatnya Harry. Tinjuan kencang pun tanpa ku duga berakhir di wajah Harry dalam sepersekian detik. "Kau keparat sialan! Berani-beraninya kau mencari celah di saat Anna mengalami amnesia! Apa kau memang berniat menghancurkan keluarga kecil kami, hah?!"

Harry membuang air liurnya, dan ku tahu akan ada aksi saling menghajar lagi jika aku hanya berpangku tangan. Namun belum sempat aku mencegah, Harry terlebih dahulu mencengkram kaus Chris. Ia menghabisi Chris bagai kehilangan akal sehat.

"You better stop talking about bullshit in front of my girlfriend! Dia Brittany, bukan Anna!"

Babak belurnya wajah Chris tak menjadikannya gentar, kemudian ia balas menghajar Harry. Tidak banyaknya orang yang berlalu-lalang membuatku kesulitan meminta bantuan. Kalaupun ada yang melintas, mereka hanya sebatas berlalu saja.

"Sepertinya kau lupa jika kita pernah bertemu di pengadilan! Atau... kau hanya berpura-pura?" Mendengar lontaran Chris aku refleks menatap mereka bergantian dan berhenti mencari pertolongan. "Aku saat itu memberikan selembaran mengenai orang hilang kepadamu, keparat! Aku memberitahumu rincian dan fotonya! Dan kau tentu pasti ingat, jika orang hilang yang kumaksudkan ialah wanita yang kau sebut sebagai kekasihmu! Dia adalah Anna Hawkins William! Dia istriku!"

Tubuhku merosot. Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka pernah bertemu? Dan apabila perkataan Chris benar, maka selama ini Harry menganggap amnesiaku sebagai sebuah lelucon. Bukankah begitu?

"Tidak, Brittany. Dia pembual. Dia itu bajingan pemabuk." Bantah Harry. Darah mengalir dari bibir sisi kanannya, memar juga tersebar nyaris menutupi wajahnya. Sontak aku menangis, menangisinya. Harry menggenggam tanganku erat. Hidung kami bersentuhan, dan aku hanya bisa terus-menerus terisak. "Aku bersumpah, Brittany. Aku mencintaimu. Bahagiamu adalah bahagiaku. Jadi tidak mungkin aku merahasiakan hal-hal yang berkaitan dengan masa lalumu. Apa... apa kau bisa memercayaiku?"

Walau ragu sempat datang, pada akhirnya aku mengecup lembut bagian bibirnya. Aku menyayangi pria ini, hingga rasanya hatiku terhimpit beban. "Bisakah kita pulang sekarang?" Pintaku pelan.

"Anna." Aku berlalu melewati Chris, tak menoleh. "Sayang..." Lagi, aku menganggapnya angin lalu. "For God sake! Lalu bagaimana dengan anak kita, Anna?! Alex baru berumur lima tahun! Dia tidak akan mengerti ketololan semacam ini!" Tubuhku seketika limbung. Anak? Aku memiliki anak? "Haruskah dia menjadi bagian dari rasa sakitku?! Kau memang hilang ingatan, namun kau memahami betul kenyataannya! Kau wanita yang sudah berkeluarga, memiliki suami, anak, serta tanggungjawab! Tapi yang ku ke kecewakan ialah kau mengingkari takdirmu, dan lebih memilih menelantarkan anak kita demi pria lain! Di mana kau sembunyikan hati kecilmu?"

Bahuku bergetar hebat. Sekalipun semua kalimatnya tak lebih dari suatu kepalsuan, tetapi batinku menjerit, dan ingin berteriak bahwa tuduhannya sudah kelewat kejam. Saat ku sadari rangkulan Harry menegang, aku menahannya sesegera mungkin. Aku tak ingin mereka terlibat perseteruan lagi. Keadaan mereka berdua sudah cukup buruk.

"Setidaknya kembalilah demi Alex."

Itulah kata-kata terakhir yang ku tangkap sebelum mobil Harry melaju kencang, meninggalkan Chris yang coba berlari menyusul kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status