“Sudah siap?”
Olivia dan Lana saling bertukar pandangan satu sama lain. Yusa menghampiri meja Olivia beberapa saat setelah meeting selesai—membuat Lana juga ikut ternganga tidak percaya.
“Kenapa kalian berdua malah bengong?” tanya Yusa heran ke arah Olivia dan Lana.
“Via, kita jadi pergi, kan?”
“Hah, pergi? S-Sama saya, Pak?” jawab Olivia agak terbata. Kaget lebih tepatnya.
“Ya sama kamu. Masa sama Mbak Lana. Kalau dia sudah punya janji sendiri. Iya kan, Mbak?”
Entah karena pesona dari Yusa atau karena Lana tidak dalam kondisi prima untuk memberi jawaban membuat Lana berubah salah tingkah saat namanya disebut secara tiba-tiba. Jujur Olivia ingin tertawa melihatnya.
“Dan satu lagi, bawa sekalian barang-barangmu. Kemungkinan kita nggak akan kembali ke kantor sampai sore.”
Lana dan Olivia kembali saling berpandangan. See? Perbuatan Yusa padanya barusan benar-benar menyulut gosip yang selama ini selalu berusaha dihindarinya.
Good job, Yusa. Good job kampret, batin Olivia.
***
Lokasi makan siang yang menjadi tujuan oleh Yusa adalah sebuah warung penyetan yang terletak di daerah pinggiran pantai Kenjeran. Bukan resto atau depot mewah, hanya sebuah warung tenda dipinggiran pintu masuk Kenjeran Park. Sudah jauh, panas pula. Benar-benar menguras waktu dijalan hanya demi sepiring nasi pengganjal perut. Lagipula Olivia tidak bisa memprotes apa-apa karena ini juga termasuk jobdesk yang telah ia tanda tangani saat itu. Seorang sekretaris pribadi memang diharuskan siap diajak ke manapun oleh atasan asalkan masih dalam lingkup pekerjaan. Tapi apakah ini juga termasuk ke dalam lingkup pekerjaan? Olivia rasa tidak.
“Makan yang banyak, Via,” kata Yusa saat melihat Olivia belum mau menyentuh nasi hangat dihadapannya. “Makanannya nggak sesuai sama lidahmu ya. Mau cari resto lain?” kata Yusa lagi sembari mengambilkan sepotong paha ayam goreng kemudian meletakkannya ke dalam piring Olivia. “Kalau kamu diam berarti nggak ada masalah ya. Ayo dimakan dulu. Ini sudah lewat jam makan siang loh!” lanjut Yusa kemudian.
“Pak, apa tidak apa-apa kita berbuat seperti ini? Jujur saya tidak enak dengan staf lain kalau Bapak terus memperlakukan saya berbeda,” papar Olivia lembut tapi tegas. “Nanti setelah makan siang, bisa tidak kalau kita kembali ke kantor saja, Pak.”
“Kamu takut menimbulkan gosip yang nggak-nggak di kantor?” tanya Yusa ditengah-tengah suapan nasi ke mulutnya. Olivia mengangguk takut-takut. “Kamu nggak perlu takut, Via. Aku adalah atasanmu dan aku juga yang mengajakmu pergi. Kita juga nggak melakukan apa-apa. Kita hanya keluar makan siang dan nggak lebih dari itu,” jelas Yusa panjang lebar.
“Saya tahu, Pak. Tapi tetap saja saya—”
“Olivia ....”
Yusa menghentikan kata-kata Olivia dengan cepat kemudian menyodorkan piring beserta isinya pada Olivia. “Makan dulu. Baru setelah itu aku janji akan mendengarkan semua keluh kesahmu, ok?”
Semua usaha yang dilakukan Olivia sepertinya sia-sia saja. Bagaimana pun juga jawaban dari atasan adalah mutlak adanya dan tidak boleh dibantah. Sejak awal Yusa memang tidak ada niat kembali ke kantor. Apapun yang dikatakan Olivia menguap begitu saja oleh laki-laki itu. Yusa memarkirkan mobilnya di parkiran hotel tempat Olivia menjemputnya tadi siang. Laki-laki itu mengajak Olivia menuju ke rooftop di mana terdapat meja bar dengan pemandangan yang luar biasa. Matahari belum terbenam sepenuhnya, tapi keindahan yang memanjakan mata Olivia sekarang sangat sayang untuk dilewatkan. Apalagi menikmatinya berdua dengan atasannya yang tampan menambah kesempurnaan hari ini. Olivia menghela napas beratnya sembari menjatuhkan bokongnya ke salah satu kursi di dekat sana. Sebetulnya Olivia mulai tidak sanggup mengikuti pola kerja Yusa yang tidak tertata seperti ini. Bukan pekerjaannya, melainkan lebih ke arah gosip yang akan selalu Olivia emban setiap harinya. Olivia jadi ingat ucapan Lussi kala itu. Posisi sekretaris tampaknya memang keren, tapi mental mengemban posisi itu bahkan jauh lebih berat daripada pekerjaan itu sendiri. Apalagi tipe atasan seperti Yusa yang selalu bertindak tanpa mempedulikan reputasinya, malah semakin mengundang opini yang tidak-tidak dikalangan staf di kantor. Besok entah apalagi yang akan Olivia hadapi akibat ulah Yusa hari ini.
Olivia menopang satu tangannya di dagu. Tangannya masih aktif men-scroll mengecek satu per satu email saat koneksi wifi berhasil terhubung. Satu email dengan segera mengalihkan fokus Olivia.
From : millie@drc.id
Dear Ms. Zurkena,
According to Mr. Yusa Mahendra’s invitation letter a couple weeks ago, we would like to inform you our CEO Mr. Wirawan would love to see you in Surabaya personally as a guest. Please let us know about the accomodation detail and final schedule to make it all easier and clear.
Thank you.
Warm & regards,
Millie Chou
“Kamu sedang apa?”
Pertanyaan Yusa langsung membuat Olivia terlonjak kaget karena tiba-tiba wajah laki-laki itu sudah berada di depan wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti saja. Yusa mengambil alih notebook milik Olivia kemudian menutupnya paksa.
“Kamu dari tadi sibuk dengan ini?” Yusa balik bertanya lalu menghela napas. “Aku mengajak keluar dari kantor bukan untuk urusan pekerjaan, Via. Aku ingin bersantai.”
“Tapi itu email penting, Pak,” balas Olivia. “Paling tidak tolong izinkan saya membalas email itu dulu.”
“Itu bisa kamu kerjakan nanti,” balas Yusa.
“Tapi—”
“Kalau persoalan drc kamu nggak perlu risau. Aku sudah berkomunikasi dengan CEO mereka langsung. Nanti kamu atur saja akomodasi mereka selama beberapa hari di sini. Sudah ya jangan berdebat lagi. Lagipula jam kerja sudah selesai. No overtime.”
Olivia menghela napas kembali kemudian akhirnya menurut.
“Kamu nggak ingin tahu kenapa aku mengajakmu kemari?” tembak Yusa lagi.
“Untuk menemani Bapak makan siang, kan?” jawab Olivia seadanya. “Sebelumnya maafkan saya kalau sudah lancang bicara seperti ini. Kalau Bapak terus-menerus bersikap seperti ini dengan sangat terpaksa saya harus tegas menolaknya. Saya tidak ingin digosipkan macam-macam karena masalah yang bukan pekerjaan saya. Saya tahu ini juga termasuk salah satu jobdesk saya, tapi saya terganggu. Tolong selain untuk alasan pekerjaan saya jangan dibawa-bawa, Pak. Sekali lagi maafkan saya kalau saya terkesan tidak sopan. Saya harap Bapak tidak tersinggung dengan perkataan saya ini.”
Tiba-tiba saja Yusa terbahak. Laki-laki itu bahkan harus memegang perutnya saking tidak bisa menahan tawanya.
“Apa ada yang lucu dengan perkataan saya barusan, Pak?” tanya Olivia keheranan.
Yusa mengangguk mantap, namun masih terpingkal memegangi perutnya.
“Sori ... sori, tapi kamu memang lucu, Via,” kata Yusa disela-sela mengatur napasnya secara bersamaan. “Kamu tahu nggak jika hanya berada didekatmu saja sudah bisa membuat orang lain bahagia. Kamu ini perempuan seperti apa sih?”
“Pak?” Olivia kembali dibuat heran.
“Panggil aku seperti saat kamu memanggilku dulu, Via. Minimal jika kita sedang tidak berada di kantor. Gini-gini aku tetaplah juniormu.”
Olivia mematung sembari menatap Yusa dalam diam. Sejak di hotel tadi pagi Olivia sudah menaruh curiga pada laki-laki itu. Dan semuanya pun terbukti. Tanpa Olivia sadari jemarinya telah bertaut dengan jemari Yusa. Keterkejutan Olivia bahkan hanya dibalas senyuman oleh Sang Pemilik Tangan. Sebuah kecupan ringan dipunggung tangan Olivia mengundang sejuta pertanyaan dalam benaknya. Olivia kesulitan memahami apa arti perlakuan Yusa padanya.
“Aku jatuh cinta padamu, Via. Sejak lama. Sejak kita masih berstatus senior dan junior. Aku sama sekali nggak menyangka akan bertemu lagi denganmu di sini. It's destiny, right?” kata Yusa masih meremas punggung tangan Olivia tanpa berniat melepaskannya.
Pertemuan Olivia dan Yusa pada acara malam keakraban Mapala ketika itu memang tidak disengaja. Secara kebetulan keduanya adalah anggota Mapala aktif dan secara kebetulan pula mereka sama-sama menjabat sebagai anggota inti. Olivia kembali bernostalgia. Malam keakraban itu bertempatan di Malang yang melibatkan tiga kampus berbeda untuk menjalin keakraban antar sesama anggota baru Mapala. Disitulah kedekatan Olivia dan Yusa terjadi.
“Aku berniat melamarmu, Via. Will you marry me?”
Perkataan Yusa mematahkan perasaan gugup yang melanda Olivia seketika. Olivia dengan terpaksa memaksa kembali kerja otaknya mencerna setepat dan secepat mungkin. Serius dalam menjalin sebuah hubungan benar-benar belum terbesit dalam pikiran Olivia selama ini bahkan disaat usianya yang sudah terbilang matang untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga. Meskipun di dasar hati terdalamnya ia merindukan seorang anak hadir dalam kehidupannya, tapi menikah? Olivia bahkan tidak pernah bermimpi akan secepat itu datang hari di mana ia akan dilamar seseorang. Dan kesempatan itu diberikan tanpa pamrih oleh Yusa. Olivia menelan ludah beberapa kali untuk menstabilkan degup jantungnya yang entah kapan terakhir kali jumpalitan seperti ini.
“Olivia ....”
Panggilan lembut Yusa membuat Olivia kembali dari masa nostalgianya.
“Nggak akan ada yang menilaimu aji mumpung, Via. Etos kerjamu memang sudah bagus sejak dulu. Dan perlu kamu tahu, aku melamarmu sebagai Yusa. Itu saja.”
Olivia kembali tidak bergeming selain menatap Yusa dalam diamnya.
“Kita memang ditakdirkan untuk bersama, Via. Apalagi yang membuatmu ragu?”
“Pak, saya—”
“Nggak perlu memusingkan omongan anak-anak di kantor. Mereka hanya iri. Kamulah yang kumau, Via. Kamu adalah perempuan yang kuinginkan sebagai pendampingku.”
“Bukan seperti itu, Pak—”
“Via, tolong kasih aku kesempatan kali ini,” kata Yusa sembari meraih kembali salah satu tangan Olivia dan menggenggamnya erat-erat. “Tolong jangan menolakku ya. Aku mohon.”
“Pak, saya mohon jangan bersikap seperti ini dan tolong lepaskan tangan sa—”
“Apapun akan aku lakukan, Via. Aku janji.”
“Tapi Bapak menyakiti tangan saya. Jadi tolong ....”
Perkataan Olivia sepertinya mustahil akan sampai ke telinga Yusa. Laki-laki itu terlihat tidak dalam posisi menerima perkataan orang lain. Bahkan ketika pergelangan tangan Olivia yang terlihat memerah karena perbuatannya sama sekali tidak dihiraukan oleh laki-laki itu. Yusa hanya berfokus pada upayanya supaya Olivia mau menerima pinangannya. Namun anehnya Olivia tidak merasa bahagia sama sekali.
“YUSAA!!!” hardik Olivia.
Hentakan kasar tangan Olivia membuat Yusa tersentak hingga mundur beberapa langkah. Olivia mengusap pergelangan tangannya dengan tatapan tidak suka. Sungguh benar-benar tidak masuk akal jika laki-laki yang selama ini sangat Olivia hormati itu bisa bersikap begitu memalukan. Tidak peka pula.
“Hal yang paling nggak aku suka darimu sejak dulu adalah kamu nggak peka dengan sekitar. Lebih baik kamu dinginkan dulu isi kepalamu itu. Setelah itu baru kita bicarakan bersama,” sahut Olivia singkat lalu meninggalkan Yusa yang diam menatap kepergiannya.
Muslimin tengah bersenandung di area pantry ketika Olivia masuk ke ruang kerjanya. “Pagi, Mbak Via ....” sapa laki-laki yang berusia tidak jauh dari Olivia itu. Muslimin membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja Olivia. “Hari ini bahkan jauh lebih pagi dari hari biasanya ya, Mbak,” sahut Muslimin membuka obrolan sambil sesekali mengelap meja kerja Olivia. “Iya nih. Kerjaanku sedang banyak.” Olivia mengeluarkan notebook dari dalam tas miliknya, dan memulai pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. “Ruanganku biar nanti aku bersihkan sendiri saja, Mas Mus,” ta
Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor. “Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa. Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”
Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan. “You so look happy today,
“Terpaksa??!!” Nada bicara Dante tiba-tiba berubah meninggi ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal dari mulut Lussi. Untung saja kedua bocah kembar mereka tidak terganggu dengan nada bicaranya barusan. “Om Dante jangan mala-mala.”
Keputusan Olivia meninggalkan kantor ditengah-tengah jalannya rapat dan berdiam diri di kediaman Elok tampaknya bukan suatu keputusan yang tepat. Tiga jam lalu adalah saat-saat di mana dirinya merasakan yang namanya kebebasan. Bahkan sambutan dari Si Kembar ketika mobil miliknya memasuki pekarangan rumah juga penuh kegembiraan. Lussi dan Elok selaku pemilik rumah pun juga ikut merasakan kegembiraan itu selama tiga jam. Ditambah lagi karena kehadiran tamu yang sama sekali tidak Olivia sangka-sangka akan menampakkan sosoknya lagi dihadapannya.Dante berjalan menghampiri Elok guna mencium pungg