Share

Bab 6 - Direct Message

Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa.

Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya, Adel yang masih asyik berpose ria, sementara Lana yang sedang memandanginya lekat-lekat.

“Jadi ada cerita baru dan seru apa dengan Si Yusa kemarin?” tanya Lana lalu berujung pada sederetan pertanyaan lainnya.

“Iya nih. Mana pakai acara gandengan tangan segala lagi. Kalian jadi tontonan satu kantor,” sambung Adel sesekali membetulkan letak rambutnya yang sama sekali tidak berantakan. “Kok enak sih jadi kamu, Via?”

“Kalian juga nggak kembali ke kantor lagi kan sorenya?” tambah Listya tidak mau kalah.

Olivia menghela napasnya pelan sebelum menjawab. “Jawabanku tetap sama, Mbak-Mbak. Kemarin ada meeting mendadak di salah satu hotel tempat acara opening ceremony minggu depan. Kalian pikir aku dan Yusa akan pergi ke mana?”

“Oh bukan itu. Kalau itu aku sudah tahu. Kalian pergi menemui Ibu Retno JW Marriot, kan? Kamu memang nggak copy info itu, Via. Cuma aku dan Mbak Lana yang tahu. Maksudku itu yang kemarin pas istirahat si ... eh, tunggu.” Listya menjeda kata-katanya. Ia menatap Olivia dalam-dalam. “Sejak kapan kamu panggil Mas Yusa tanpa embel-embel, Via?”

“Eh iya. Aku juga baru sadar,” celetuk Adel tidak mau kalah.

“Ada gosip baru nih!” sambar Lana.

“Iya nih. Bukannya kamu selalu mengatasnamakan profesionalisme dalam bekerja?” tambah Listya yang disetujui dengan anggukan kepala Adel. “Lari ke mana prinsipmu itu.”

“Dia yang maksa. Ya sudah aku kabulkan. Sebenarnya ada hal yang aku sembunyikan dari kalian bertiga. Dulu Yusa itu juniorku di kampus. Kami juga berada di UKM yang sama ketika itu. Eh, tapi bukan berarti aku diterima di sini karena hasil koneksi loh ya. Aku bahkan baru tahu setelah satu bulan kerja di sini. Jadi Mbak-Mbak jangan salah paham!”

“Kamu tenang saja, Via. Yang berani berpikiran begitu akan kuhajar mati-matian. Aku sendiri yang ikut menilaimu saat itu. Dan lagi yang memilih itu Papanya Yusa. Yusa sih malah nggak tahu apa-apa,” kata Lana membelanya.

Olivia tersenyum dengan memamerkan sederetan giginya. “Terima kasih, Mbak Lana.”

Obrolan seputar Yusa dan dirinya pun berakhir begitu saja saat santapan yang mereka pesan satu per satu berdatangan. Tiga dara menor ternyata tidak seburuk yang Olivia kira selama ini. Iya sih, mereka bertiga memang ratunya gosip dan jauh lebih terupdate ketimbang akun-akun gosip yang beredar di i*******m. Tapi tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini, kan? Adanya mereka bertiga cukup mengisi keseharian Olivia dengan canda tawa sejak dirinya ditinggal Lussi menikah. Prioritas Lussi sekarang bukanlah bersama dengannya lagi, melainkan bersama dengan keluarga kecilnya. Bukan maksud Olivia untuk mengeluh, tapi itulah yang dirasakan olehnya. Bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.

Sehabis makan siang mereka berempat memisah menjadi dua kubu. Lana, secara tiba-tiba mengajak Olivia untuk bertemu dengan Ibu Retno atas permintaan Yusa. Sementara Listya dan Adel memutuskan kembali ke kantor dengan taksi.

“Maaf ya, Tya, Adel,” kata Lana merasa tidak enak.

“No problem, Mbak. Namanya juga mendadak,” balas Listya maklum. Kemudian mereka pun berpisah.

Lana melarikan mobilnya dengan segera menuju ke lokasi yang dituju. Untung saja jalanan siang ini tidak terlalu padat seperti hari-hari sebelumnya. Padahal hari ini sudah tergolong weekend dan pasti kemacetan di mana-mana. Tapi ya sudahlah. Setidaknya waktu mereka berdua tidak terbuang percuma. Di ruangan yang sama, Retno menyambut kedatangan Lana dan Olivia dengan sopan. Setelah terlibat perbincangan sekilas, Retno menyerahkan sebuah map berisikan dokumen kepada Lana sebelum akhirnya undur diri dan menyerahkan segala sesuatunya kepada sekretarisnya. Dahi Lana tiba-tiba berkerut dalam. Sesuatu yang krusial telah terjadi di sana—membuatnya harus berpikir keras memahami isi kontrak yang tengah dipegangnya.

“Ada masalah dengan isi kontraknya, Mbak?” tanya Olivia penasaran.

Lana memandang Olivia sejenak lalu menyodorkan map berisi kontrak padanya. “Kamu lihat sendiri deh apa yang telah dilakukan Si Yusa.”

Olivia membuka map berisikan kontrak yang telah dibubuhi tanda tangan oleh Yusa. Sebuah nominal yang sangat fantastis sekali hanya untuk sebuah opening ceremony.

“Aku paham sih kalau akan ada investor spesial yang akan hadir nanti, tapi dengan nominal sebesar itu hanya demi kemewahan acara nanti apa nggak terlalu berlebihan? Pantasan saja aku yang dikirimnya ke sini,” gerutu Lana pasrah lalu membubuhi tanda tangannya sendiri dan menyerahkan salinan kontraknya pada sekretaris Retno.

“Semoga saja kontrak kerjanya sebanding dengan pengeluaran kita.”

Aamiin, batin Olivia.

Selama kurang lebih tiga tahun Olivia bekerja dengan Yusa, baru kali ini ia tahu bagaimana Yusa membelanjakan keuangan perusahaan. Olivia sejenak mengerti kenapa setiap kali Lana keluar dari ruangan Yusa, wajah perempuan itu terlihat kusut. Apalagi saat meeting bulanan tiba yang membahas komisi, Lana akan selalu pulang paling akhir. Dasar. Bukankah itu sama saja dengan menggelapkan dana perusahaan?

“Tapi bukan berarti Si Yusa menggelapkan dana perusahaan loh, Via.”

“Eh ... Ah ...” Olivia gelagapan oleh pernyataan Lana barusan. “Aku nggak bilang begitu kok, Mbak.”

“Aku mencoba menebak dalam pikiranmu, Via. Dulu pun aku sempat berpikir begitu apalagi semenjak Pak Agung, papanya Yusa menyerahkan urusan perusahaan pada putranya. Malah aku berpikiran mau resign saja saat itu.”

“Bahkan Mbak Lana juga pernah berada di fase itu?” Olivia balas bertanya.

Lana mengangguk kemudian melanjutkan. “Itu cerita lama. Yah, setidaknya semua staf juga ikutan senang dengan kecerobohannya itu. Anggap saja ini pesta untuk mereka juga.”

Olivia tertawa menimpali kemudian mengangguk. Dibalik ketegasan Lana ternyata ada cerita seperti itu. Jika bukan karena kepiawaian Lana dalam mengolah keuangan perusahaan bisa Olivia pastikan bagaimana kerepotannya Pak Agung saat itu. Setelah menyelesaikan urusan dokumen persewaan, Olivia dan Lana menikmati beberapa tes makanan yang nantinya akan menjadi hidangan acara. Sebenarnya ini hanya akal-akalan dari Lana saja. Tidak ada tertulis di dalam kontrak adanya tes menu sampai request menu dengan alasan menguji cita rasa masakan dari seorang chef hotel berbintang lima.

“Kita membayar mahal, Via setidaknya harus ada tester satu atau dua makanan dong.”

Begitulah yang Lana katakan padanya tadi. Sampai Olivia merasa tidak enak hati sendiri.   

Olivia menurunkan sandaran kursi mobil kemudian menyandarkan punggungnya yang sejak tadi terasa kaku. Hari ini sangat melelahkan sekali untuk mereka berdua. Padahal ini belum seberapa, karena perang sesungguhnya baru akan dimulai besok. Yusa mengalihkan semua acara opening ceremony nanti dibawah pengawasan Lana. Wajar saja jika Lana tidak henti-hentinya berdecak sejak meninggalkan lokasi karena dalam waktu dekat ada pekerjaan yang bahkan jauh lebih penting daripada ini. Lana harus menyelesaikan dan mengupdate laporan keuangan di jurnal perusahaan. Tapi apa mau dikata jika segala sesuatunya telah dititahkan secara langsung oleh Yusa. Lana hanya mampu mematuhinya tanpa berniat protes.

“Aku bisa mengantarmu pulang, Via. Kenapa repot-repot ambil mobil segala sih,” kata Lana disaat mereka memasuki area perkantoran. “Kamu bisa titipkan sama security, kan? Tinggal kasih fee saja ke mereka.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Lagipula malah ribet ke mana-mana kalau nggak ada kendaraan.”

Lana mengangguk. “Ok-lah kalau gitu. Aku duluan ya!” katanya kemudian setelah bercipika-cipiki ria sebelum melarikan mobilnya meninggalkan Olivia di depan kantor.

Dengan tas dipundak, Olivia berjalan membelah malam sembari bersenandung kecil. Jam di arlojinya telah menunjuk pada angka delapan. Dan sialnya lagi tidak ada yang memutuskan untuk lembur hari ini. Suasana kantor benar-benar sepi dan sunyi. Olivia celingukan di pos satpam. Nihil. Tidak ada seorang pun di sana. Seharusnya jam pergantian shift malam sudah dilakukan sejak pukul tujuh tadi. Dan seharusnya lagi pos satpam tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kosong begini. Olivia berjalan menyusuri tangga belakang menuju parkiran basement di mana mobilnya berada. Terburu-buru Olivia mengambil kunci di dalam tas dan menyalakan mesin mobil secepat yang dirinya bisa. Karena jujur saja, keheningan malam ini membuat bulu kuduk Olivia seketika berdiri. Padahal tidak ada tanda-tanda menyeramkan dalam bentuk apapun di sini. Tapi yang namanya takut ya tetap saja takut, kan? Tidak ada alasan yang logis.

Olivia melarikan mobil miliknya meninggalkan area perkantoran dan mulai tenggelam dalam suasana jalan raya di malam hari yang cukup ramai ketimbang siang tadi. Alunan musik khas Kenny G seolah menjadi pelengkap untuk mengakhiri hari Olivia. Lamunan Olivia seketika melayang tiba-tiba. Sosok Yusa hadir menghiasi otak Olivia seketika. Kedekatannya dengan laki-laki itu, hingga proposal pernikahan yang ditawarkan oleh laki-laki itu secara sempurna mempertegas keseriusan seorang Yusa untuknya. Olivia diserang dilema—antara menerima atau malah menolak. Olivia tidak membenci Yusa, tapi suka pun juga tidak. Biasa-biasa saja. Tidak ada greget, tidak ada gairah meledak-ledak pada laki-laki itu. Kenapa? Olivia tidak tahu pasti. Kata-kata Lussi ketika itu tidak sepenuhnya salah. Ya, pelarian. Sebuah kata yang amat sangat kejam untuk memulai suatu hubungan. Tentu saja Olivia mengerti, tapi tidak dengan hatinya.

Sebuah coffee shop dipersimpangan Jalan Sulawesi menjadi alasan utama Olivia menepikan mobilnya. Sambil memainkan ponsel ditangannya, Olivia menunggu pesanan yang ia pesan sepuluh menit yang lalu. Lagi-lagi beranda i*******m milik Olivia telah ramai oleh foto-foto terbaru dan lucu dari Si Kembar. Bakat fotografi Lussi memang patut diacungkan jempol. Ia paham betul mana sudut yang sempurna dalam sebuah foto. Hasilnya sungguh luar biasa. Bahkan ada beberapa foto yang memang sengaja ditujukan Lussi secara private untuk Olivia dengan tambahan caption yang membuat Olivia tersenyum sendiri. Jemari Olivia bergerak dengan lincah menekan tombol hati karena menyukai unggahan foto Lussi tersebut. Hingga akhirnya jemari Olivia terhenti pada sebuah foto yang baru saja diunggah oleh pemiliknya beberapa jam yang lalu. Foto sederhana yang menampilkan gedung pencakar langit sebagai background pemilik akun i*******m membuat Olivia tanpa sadar menekan tanda hati pada foto itu. Sejurus kemudian seseorang mengirimi Olivia pesan. Pesan singkat yang membuat Olivia menutup mulutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status