Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan.
“You so look happy today,
“Terpaksa??!!” Nada bicara Dante tiba-tiba berubah meninggi ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal dari mulut Lussi. Untung saja kedua bocah kembar mereka tidak terganggu dengan nada bicaranya barusan. “Om Dante jangan mala-mala.”
Keputusan Olivia meninggalkan kantor ditengah-tengah jalannya rapat dan berdiam diri di kediaman Elok tampaknya bukan suatu keputusan yang tepat. Tiga jam lalu adalah saat-saat di mana dirinya merasakan yang namanya kebebasan. Bahkan sambutan dari Si Kembar ketika mobil miliknya memasuki pekarangan rumah juga penuh kegembiraan. Lussi dan Elok selaku pemilik rumah pun juga ikut merasakan kegembiraan itu selama tiga jam. Ditambah lagi karena kehadiran tamu yang sama sekali tidak Olivia sangka-sangka akan menampakkan sosoknya lagi dihadapannya.Dante berjalan menghampiri Elok guna mencium pungg
Menjelang hari H acara opening ceremony peresmian kantor di cabang Surabaya, Olivia disibukkan dengan berbagai hal. Bersama dengan Lana, Olivia memastikan bahwa tidak akan ada hal-hal yang terlewatkan nantinya. “Ngomong-ngomong kamu lagi perang dingin ya sama Bos Ganteng?” Lana memulai obrolan siang itu dengan antusias. “Maksud, Mbak?” Olivia balas bertanya.
Dante sedang mengamati dua insan tengah terlibat suatu obrolan. Mereka adalah Olivia dan Yusa. Secara kebetulan ia berdiri tidak jauh dari mereka berada. Meskipun begitu sepertinya tidak cukup dekat untuk bisa mendengar perdebatan yang terjadi di sana. Dante tidak tahu masalah seperti apa yang mereka perdebatkan namun terlihat sekali jika pujaan hatinya itu sedang diselimuti dengan amarah. Dante berdecak kesal. Bahkan disaat sedang marah pun dia terlihat begitu cantik, batin Dante.
Sebuah coffee shop di daerah jalan Sulawesi menjadi tempat persinggahan Olivia dan Dante malam ini. Perasaan keduanya seperti bebas tanpa beban setelah pengakuan yang mereka lakukan tadi. Rasa lapar pun tanpa terasa juga hinggap di perut keduanya. Olivia mengikat rambutnya menjadi cepolan sederhana saat makanan yang mereka pesan satu per satu tiba di meja. Suapan pertama langsung memanjakan lidah Olivia. “Dari dulu kamu nggak berubah, Via. Selalu nasi goreng yang menjadi list teratas di daftar menu makananmu,” kata Dante ketika melihat Olivia menikmati suapan keduanya.
Lift dari parkiran basement menuju kantor lumayan sesak pagi ini. Menjelang weekend para pekerja malah semakin giat menyelesaikan pekerjaan mereka jika tidak ingin menghabiskan waktu libur dengan lebur. Olivia melenggang ringan dengan tas jinjing di tangan kanan dan beberapa map di tangan kirinya. “Eh, Bu Bos kita sudah datang,” sapaan pertama langsung menggelitik telinga Olivia. Olivia hanya bisa tertawa sebagai balasan atas candaan rekan kerjanya. Akibat pernyataan Yusa di ballroom waktu itu tentu tidak heran jika dirinya mendapat julukan baru di kantor.
Pulang dari kantor Olivia menyempatkan mampir ke rumah Elok untuk menemui Si Kembar. Namun sayangnya saat Olivia tiba di sana kedua putra Lussi sudah terlelap ke alam mimpi—membuat Olivia harus menelan kekecewaan. “Via, kamu sudah makan malam?” tanya Elok saat bertemu pandang dengan Olivia di ruang tamu. “Kamu malam ini tidur di sini kan, Via? Tante sudah bersihkan kamar tamu yang biasa kamu pakai eits … Tante nggak mau dengar alasan apapun. Mumpung Si Kembar ada di sini. Sering-seringlah kemari.”
Gigitan roti panggang dengan nutella melumer di mulut Olivia. Pagi itu benar-benar menjadi pagi yang sempurna bagi Olivia. Dante duduk di depannya sembari mengedipkan mata. Laki-laki itu sepertinya belum bisa menghilangkan kelakuannya yang suka tidak pandang tempat jika ingin bermain mata. Untung saja hanya ada Elok yang menemani mereka berdua di meja makan karena Lussi dan Reihan jelas baru saja terlelap menjelang subuh setelah memergoki mereka berdua semalam. Ah … Olivia benar-benar malu sekali dibuatnya. “Apa