Arjuna mencengkram kemudi mobilnya dengan erat. Rahangnya mengetat. Pintu mobilnya dibukanya dengan keras. Ia berjalan ke belakang dengan langkah lebar. Menatap lampu mobilnya yang pecah dan beberapa goresan lecet menghiasi bodi belakang mobil BMW-nya. Itu mobilnya keluaran terbaru. Dan Arjuna baru membelinya beberapa hari yang lalu.
"Bisa dijelaskan Nona, apa yang sudah terjadi?" celetuk Arjuna marah sambil memandangi pemilik mobil Jazz putih yang baru saja menabrak mobil sportnya tanpa sebab. Teledor, tentu saja.
Gadis yang diketahui bernama Julia itu mendekat takut-takut. Ia menatap Arjuna dengan raut penuh penyesalan. Wajah gadis itu terlihat kusut mungkin karena kelelahan. Tapi Arjuna tak mau peduli. Di luar sana banyak orang yang memang sengaja memperhatikan wajah melas supaya bebas dari hukum dan tanggung jawab.
"Pak, Arjuna?! Maaf, saya-"
"Kamu mengenalku?" Arjuna memotong pembicaraan Julia. Alisya saling menaut menatap gadis di depannya dengan rasa penuh ingin tahu.
"Saya staf anda-"
"Bagus aku bisa dengan mudah mengeluarkanmu dari kantor," potong Arjuna lagi dengan geram karena ia bisa menebak ke mana arah pembicaraan Julia. Sangat beruntung bagi Arjuna karena ternyata gadis di depannya ini adalah salah satu karyawannya di kantor. Mudah saja memecat gadis itu, hanya dengan kuasanya dan beberapa bumbu yang mengandung 'tuduhan', maka besok Arjuna pastikan gadis itu tidak akan muncul di kantor lagi.
Julia maju selangkah. Ia menatap Arjuna dengan tampang lelah bercampur melasnya. Kedua telapak tanganya saling menyatu sejajar dengan wajahnya, membuat gerakan memohon pengampunan pada Arjuna. Lelaki itu balas dengan meludah di aspal. Tak peduli.
Arjuna menatap wajah gadis kusam itu tak tertarik. Malahan ia membuang muka karena muak menatap Julia yang terus memohon meminta maaf. Arjuna paling benci bila ada seseorang yang melakukan kesalahan hanya cuma bisanya mengemis minta maaf.
"Pak Arjuna tolong, Pak. Jangan pecat saya. Saya janji saya akan membayar ganti rugi. Saya benar-benar ti-"
"Dengan apa? Dengan apa kamu menggantinya? Dengan gajimu yang tidak seberapa itu?" bentak Arjuna dengan intonasi tingginya, "dengarkan baik-baik Nona, bahkan dengan bekerja selama sepuluh tahun di perusahaanku, itu tidak akan cukup untuk menggantikan kerusakannya," lanjut Arjuna lagi dengan kemarahan yang sudah tak bisa ditahannya. Telapak tangannya juga ikut menggebrak kap mesin mobil Jazz milik Julia, menyalurkan kemarahan.
"Pak, saya moh-"
"Kamu tahu apa kesalahannmu?" lagi-lagi Arjuna memotong pembicaraan Julia dengan geram.
"Saya telah menabrak mob-"
Arjuna mencengkram dagu gadis itu. Memaksanya untuk menatap ke dalam matanya yang tajam. Julia menatap Arjuna dengan ketakutan. Cengkraman pria itu sangat kuat. Sang bos tidak main-main saat marah.
Arjuna sungguh geram karena dari tadi Julia terus menunduk tak berani bertatapan dengan matanya langsung. Beruntung hari masih terlalu pagi. Jalanan masih sangat sepi. Seandainya saja kalau jalanan ramai, Arjuna akan habis dihakimi massa karena telah menganiaya seorang perempuan di jalan.
"Kalau memang sedang mengantuk, jangan mengemudikan mobil di jalan. Kamu bisa saja membunuh orang lain! Kamu tahukan, betapa menyebalkannya ketika kita sudah berhati-hati, tapi malah orang lain yang teledor dan merugikan kita," bentak Arjuna marah.
Arjuna melonggarkan cengkraman tangannya. Merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang terus berbunyi nyaring. Sangat mengganggu. Sembelum mengangkat telpon tersebut, Arjuna menatap Julia tajam.
"Tunggu sebentar. Urusan kita belum selesai." Arjuna pergi menjahui Julia. Lalu beberapa menit kemudian ia kembali dengan wajah yang lebih seram. "Sepertinya kamu kali ini sangat beruntung Nona. Tapi lihat saja aku akan membuat perhitungan denganmu lain kali."
Seusai mengatakan itu, Arjuna memasuki mobilnya dengan langkah tergesa-gesa. Meninggalkan Julia yang masih terpaku di tempat dengan jantung yang masih berpacu dengan cepat. Setelah mobil Arjuna menghilang dari pandangannya, barulah Julia dapat bernafas lega disertai cairan bening yang merembes di matanya.
***
Hari Minggu seharusnya hari untuk merefresingkan pikiran. Namun tidak dengan Julia. Setiap hari dia diberi tekanan oleh dunia yang kejam untuk terus-terusan menghadapi masalah yang begitu menyebalkan. Rasanya menyebalkan sekali menjadi manusia yang selalu dirundung masalah bertubi-tubi.
Julia menghembuskan nafas lelah. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu rumahnya.
"Loh, Kak. Kapan sampai rumah?" Vino, adiknya yang berusia 15 tahun tertatih-tatih menghampirinya dengan sepiring nasi di tanganya. Dia ikut duduk di sofa ruang tamu bersama Julia, lalu menyalakan tv.
Julia tersenyum, "belum ada lima menit."
Vino mengangguk. Dia menggigit krupuk beserta tempe lalu memasukan nasi ke dalam mulutnya. Vino mengunyah dengan nikmat. Julia mencuri pandang, lalu kembali fokus ke tv menonton berita.
"Kak Julia, sudah sarapan?"
"Tadi sudah."
"Kak Julia berbohong. Nasinya masih utuh sebelum Vino ambil. Jangan diet Kak. Nggak perlu."
"Siapa yang diet. Kakak cuma nggak selera mau makan."
"Lah... katanya Kakak sudah sarapan. Kakak ada masalah lagi ya?" tanya Vino penuh perhatian.
"Cuma masalah sepele. Kamu nggak perlu tahu. Fokus saja sama sekolahmu. Cepat atau lambat masalah Kakak bakal selesai kok. Tenang saja, kamu nggak perlu khawatir." Julia mengusap rambut Vino dengan sayang. Ingin sekali Vino menepis tangan Kakanya karena geli. Bagaimanapun juga Vino kan sudah puber. Masih saja diperlakukan seperti adik kecil.
Vino memang cukup mengerti dengan berbagai masalah yang ada pada keluarga mereka. Tetapi dia lebih memilih diam, sebagai anak yang paling muda dia memang belum terlalu berhak ikut campur. Ia tidak mau sok mengerti dengan berbagai masalah yang dihadapi keluarga. Walaupun begitu sebenarnya Vino terus memikirkan keluarganya. Diam-diam dia selalu berdoa supaya keluarganya baik-baik saja. Dia juga selalu perhatian dengan Julia. Dia juga berjuang untuk mendapat peringkat pertama di sekolah agar kelak menjadi orang sukses dan berguna untuk keluarganya. Untuk sekarang, cukuplah bagi Vino agar tidak berbuat masalah supaya tidak memperburuk keadaan.
"Iya. Vino nggak akan ikut campur. Tapi setidaknya Kakak berbagilah sedikit masalah yang Kakak punya. Entah sekedar cerita. Yah... walaupun Vino belum bisa memberikan solusi seperti orang dewasa, setidaknya beban Kakak akan berkurang sedikit," balas Vino, ia kembali menyendok makanan ke mulut sambil fokus melihat acara di tv.
"Makannya cepatlah tumbuh besar biar bisa bantu Kakak dalam hal ini itu."
"Memangnya Vino masih kecil? Vino udah SMA loh Kak. Udah pubertas juga. Nih, bukti kalau Vino udah pantes dipanggil mas-mas." Vino menunjuk jerawat yang meradang di pipi kirinya.
"Iya deh... iya. Habiskan dulu makanan kamu."
Vino mengangguk dan menyuap sampai habis tidak tersisa makanannya.
"Tadi Vino lihat lampu mobil depan Kakak pecah. Kakak nggak apa-apakan?" tanya Vino setelah meletakkan piring di atas meja.
"Enggak. Cuma nyerempet pagar orang tadi pagi."
"Beneran?" tanya Vino curiga. Pasalnya apa yang Vino lihat tadi, itu lebih mirip mobil tertabrak mobil dibandingkan ketabrak pagar orang.
Sepertinya Vino harus terpaksa pura-pura percaya lagi dengan apa yang Julia katakan.
"Bener. Udah, jangan banyak tanya. Kakak mau ke kamar dulu. Jangan lupa piringnya sekalian dicuci," perintah Julia seraya pergi dengan langkah lelah.
Vino tidak menyahut. Ia tahu Julia sedang menyembunyikan berbagai hal. Vino tahu kakaknya lebih memilih menyimpan semuanya sendiri daripada berbagi cerita. Vino menatap kepergian kakaknya dengan perasaan campur aduk, lebih tepatnya ia sedih.
***
Di dalam kamar, Julia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Air matanya merembes lagi. Ia meratapi nasibnya sendiri. Ia tidak mau membuat Vino khawatir padanya. Cukuplah dia yang menanggung beban ini, tak mengapa. Di tempat ini, di kamarnya juga Julia selalu menangis sendiri. Berharap tidak ada yang tahu beban yang ia tanggung di pundaknya. Lalu nanti ketika ia keluar, ia akan tersenyum pada dunia seolah-olah dia baik-baik saja.
Tbc...
Sebelumnya, bagi yang berkenan silakan mampir ke akun facebook saya @Sim Prabu.
Julia melebarkan bola matanya syok. Memandang dua manusia yang sedang melakukan aksi mesum itu di ruangan CEO. Perempuan itu menjadi salah tingkah ketika Arjuna si pemeran utama pria yang lebih dulu tersadar tengah balas menatapnya dengan tajam. Bersiap-siap Arjuna akan mengamuk. "Pak Arjun eh, maaf saya tadi sudah mengetuk pintu tapi and-" "KELUAR!!!" teriakkan Arjuna menggema memenuhi ruangan itu. Julia sadar kalau Arjuna akan semakin marah padanya setelah ini. Dengan raut menyesal karena telah menganggu 'aktifitas' sang atasan, Julia pamit undur diri dengan gerakan tubuh yang masih sangat sopan. Walaupun sebenarnya ia mati-matian menahan ketegangan. Leher belakangnya tiba-tiba merinding. Bulu halus di sekujur tubuhnya sepertinya ikut berdiri. Julia berkomat-kamit memohon ampun kepada Sang Kuasa karena matanya sudah mulai ternodai untuk aksi tidak senonoh yang tidak sengaja ia lihat tadi. Gadis itu menungu di luar dengan gelisah. Kata-kata 'pecat' dari tadi terus terngiang di
"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan di mana adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak perduli terhadap tumbuh kembang anaknya.Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamanya. Sem
Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang wanita itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya.Sejak mamanya menikah dengan 'pria' itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan ibunya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya diterlantarkan juga oleh mamanya.Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib sama
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ran
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya."Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Be
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.