Julia melebarkan bola matanya syok. Memandang dua manusia yang sedang melakukan aksi mesum itu di ruangan CEO. Perempuan itu menjadi salah tingkah ketika Arjuna si pemeran utama pria yang lebih dulu tersadar tengah balas menatapnya dengan tajam.
Bersiap-siap Arjuna akan mengamuk.
"Pak Arjun eh, maaf saya tadi sudah mengetuk pintu tapi and-"
"KELUAR!!!" teriakkan Arjuna menggema memenuhi ruangan itu.
Julia sadar kalau Arjuna akan semakin marah padanya setelah ini. Dengan raut menyesal karena telah menganggu 'aktifitas' sang atasan, Julia pamit undur diri dengan gerakan tubuh yang masih sangat sopan. Walaupun sebenarnya ia mati-matian menahan ketegangan. Leher belakangnya tiba-tiba merinding. Bulu halus di sekujur tubuhnya sepertinya ikut berdiri.
Julia berkomat-kamit memohon ampun kepada Sang Kuasa karena matanya sudah mulai ternodai untuk aksi tidak senonoh yang tidak sengaja ia lihat tadi.
Gadis itu menungu di luar dengan gelisah. Kata-kata 'pecat' dari tadi terus terngiang di otaknya. Tetapi sesekali Julia merutuki bosnya yang sebenarnya lebih salah. Kenapa harus di kantor, sudah begitu pintu tidak dikunci. Memangnya si bos ingin karyawan lain lihat? Pamer? Di rumah, hotel, atau apartemen kan bisa. Kalau di kantor malah menganggu tata tertib. Enak sekali jadi bos, melanggar aturan seenaknya tapi tidak akan pernah mendapat hukuman, kecuali kena sanksi moral. Ya, semoga dia cepat sadar dan terkena sanksi moral, atau kalau tidak azab dari Sang Kuasa saja sekalian.
Setelah ini pasti Arjuna akan memecatnya secara tidak terhormat. Julia merutuki kecerobohannya yang selalu saja berakhir dengan sial. Ada saja kejadian aneh yang selalu berhubungan dengan bosnya itu. Andai dia mempunyai kekuatan untuk menghilangkan diri, sepertinya Julia akan menghilang dari tadi. Huh, sial.
"Pak Arjuna menyuruhmu masuk!" wanita cantik yang tadi bersama Arjuna tengah kepergok melakukan perbuatan mesumnya itu keluar menatap Julia marah.
Julia balas menatap penampilan wanita itu dengan ngeri. Rambut yang acak-acakan. Kemeja yang kusut dengan beberapa kancing atas yang masih terbuka. Bibir yang bengkak dengan lipstik yang tercoret kemana-mana. Juga rok span yang sangat pendek bewarna hitam itu terdapat bekas menurut Julia itu adalah bekas sperma? Mungkin. Oh, astaga mengerikan sekali.
"Apa yang kamu lihat. Cepat pergi sana!" usirnya.
Julia menggeleng kuat, lalu melangkah tergesa masuk ke dalam ruangan CEO dengan langkah was-was. Baik, ia sudah sangat ketakutan sekarang. Ruang yang seharusnya membuatnya segan ketika masuk ke dalam, kali ini terasa sama persis seperti ruangan eksekusi tahanan penjara. Ia berharap nasibnya tidak seperti wanita tadi.
Suhu dingin AC membuat langkahnya berjalan lambat dan kaku. Keringat dingin bertambah lebih dingin. Julia berharap ia tidak akan masuk angin setelah keluar dari sini. Tadi sebelum masuk ke dalam sini, ia sudah memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh supaya hidupnya selamat setelah ini. Amin.
"Permisi?" gadis itu berjalan mengendap-ngendap. Ia berhenti menahan nafasnya ketika melihat tampilan bosnya dari belakang yang tengah sibuk memakai kemeja warna hitam. Julia melirik ke bawah tidak berani menatap atasannya itu secara langsung.
Astaga jantungku, seram sekali, batin Julia dalam hati.
Arjuna terlihat sangat menarik dengan tubuh yang berotot dilapisi kemeja hitam yang membentuk tubuhnya dengan pas. Tidak kebesaran, dan tidak juga kekecilan. Otot-otot bossnya terlihat sangat keras sempurna. Pasti akan sakit sekali jika ia kena tinju. Juga terlihat dada bidang yang lebar dan tubuhnya yang kekar.
"Silahkan duduk!" Arjuna berbalik badan dengan jemari yang masih sibuk mengancingi kemejanya satu persatu. Pria itu menatap Julia penuh minat. Julia yang sekarang jauh berbeda ketika terakhir kali mereka bertemu saat kecelakaan kecil waktu itu. Tiga bulan yang lalu.
Julia yang sekarang lebih fresh tanpa wajah kusut, kelelahan, dan juga cengkungan hitam itu berganti dengan tatapan mata yang cerah. Gadis itu terlihat putih bersih natural. Hidungnya memang tidak mancung, tapi di mata Arjuna gadis itu memiliki hidung yang mungil. Bibir gadis itu bewarna merah, bukan merah mencolok seperti wanita penggoda yang sering bersamanya, tapi bibir gadis ini merah lembut. Juga yang selalu mejadi perhatian Arjuna adalah saat gadis di depannya ini tengah menatapnya dengan mulut agak terbuka. Dia berkomat-kamit.
Julia sungguh menggemaskan.
Julia melempar pandangannya ke jendela berusaha bersikap biasa saja ketika secara terang-terangan sang atasan menatapnya buas. Menilai tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Julia merasa pakaian di tubuhnya dilucuti dengan paksa. Dan itu tidak sopan menurut Julia.
"Baiklah aku tidak mau basa-basi lagi. Dan kamu sudah terlanjur membuatku marah-"
"Maaf Pak, tapi tadi itu-"
"Jangan menyelaku. Aku belum selesai bicara!" teriak Arjuna marah dengan gebrakan tangan pada meja kerjanya. Cukup kuat untuk membuat Julia terkejut dan ketakutan setengah mati. Lagi-lagi Julia memilih menunduk setelah mengangguk singkat.
"Lain kali lebih sopanlah padaku!"
Julia mengangguk lagi tanpa berani memandang wajah atasannya.
"Jadi, kapan kamu akan membayar ganti rugi, hah? Sudah tiga bulan aku menunggunya. Kamu tidak lupakan dengan kesalahanmu?" tanya Arjuna. Ia masih berdiri dengan kedua tangan yang menumpu pada meja, memandang Julia rendah.
"Maaf Pak Arjuna, saya belum memiliki uang. Tapi saja janji akan membayar ganti rugi itu. Tolong beri saya waktu lagi," mohon Julia meminta keringanan. Lagi-lagi Julia harus memperhatikan wajah melasnya yang sama sekali tidak berpengaruh pada Arjuna.
Arjuna mengitari mejanya. Berdiri di sebelah Julia dengan tangan kanan yang menumpu pada meja, dan tangan kiri yang tertekuk memegang pinggannya. Tidak lupa dengan senyuman manisnya. Sengaja dibuat manis. Arjuna memang memperlihatkan wajah santainya supaya Julia tidak berasa teritimidasi ataupun terancam.
Julia harus mendongak untuk menatap Arjuna.
"Tenanglah Julia. Aku bukanlah bos yang kejam. Tapi aku akan memotong lima puluh persen dari gajimu selama dua tahun," ucap Arjuna enteng, dan jelas-jelas Julia malah menampilkan wajah syok yang terlihat lucu untuk Arjuna.
"Tapi, Pak!"
"Shtttt, jangan banyak protes!"
"Pak Arjuna, saya membutuhkan banyak uang untuk-"
"Dan satu lagi, Nona Julia." Arjuna menjulurkan tangannya menggapai nota kecil di tepi mejanya.
"Menurut catatan yang diberikan asistenku, kamu beberapa kali telah meminjam uang dengan nominal yang bisa dibilang tidak sedikit pada perusahaan. Untuk apa uang itu, hm?" Arjuna menutup nota tersebut cepat dengan satu gerakan tanganya.
Julia menunduk berusaha berpikir keras. Tubuhnya bergetar hebat dengan situasi yang tidak bersahabat. Mana mungkin Julia akan memberitahukan alasannya. Karena bagaimanapun juga itu adalah aib keluarganya, dan Julia mati-matian akan menjaga rahasia keluarganya.
"Saya sangat membutuhkan uang itu. Maaf saya tidak bisa memberitahu anda," ia menggeleng, menyesal.
"Untuk apa? Shopping, SPA, liburan, mempercantik diri, atau membeli barang mewah?" tanya Arjuna penuh gertakan. Rasa penasarannya semakin menjadi. Ia tidak terima ketika Julia memilih bungkam. Tentu itu bukan jawaban yang bagus yang sesuai dengan yang Arjuna harapkan.
Julia tetap kukuh diam membisu.
"Dengar, Nona Julia. Aku akan memberikanmu penawaran yang menarik. Kamu boleh meminjam uangku berapapun yang kamu mau tanpa perlu menggantinya. Asalkan kamu-" Arjuna tiba-tiba menarik dagu Julia. Mengecup bibir lembut perempuan itu dengan ganas. Julia terkejut dan mendorong dada Arjuna dengan kuat, membuat pria itu terpaksa mengakhiri ciuman sepihaknya, "-menjadi milikku."
PLAAAKKK...
Pipi Arjuna terasa panas. Ia mengusap pipinya dan menatap Julia tajam.
"Saya memang membutuhkan uang itu, tapi saya bukan wanita murahan yang mau menjual diri hanya untuk mendapatkan uang dengan mudah. Cam kan itu baik-baik, Pak Arjuna yang terhormat!"
"Cih, beraninya kamu-" Arjuna menarik Julia, lalu mendorong tubuh Julia dan menghimpitnya ke tembok. Pria itu berusaha mencium Julia untuk yang kedua kalinya. Tapi Julia berusaha memberontak. Aksi saling mendorongpun terjadi. Tenaga Arjuna tentu lebih unggul. Julia sampai kewalahan untuk menyelamatkan dirinya.
"Pak, tolong lepaskan saya!"
"Sekuat apapun kamu berteriak tidak akan ada yang menolongmu!" gertak Arjuna marah dengan tangan yang berusaha menarik lepas kemeja Julia.
Brekkk...
"Pak, jangan lakukan ini, saya mohon..." Julia semakin berteriak menjadi-jadi. Ia berusaha menutupi tubuhnya yang terekpos. Air matanya meluncur deras seiring katakutannya.
"DIAM!!!"
"Lephaaasss..." Julia berusaha mendorong tubuh Arjuna. Hanya ini kesempatan terakhirnya, membuat pria brengsek di depannya sadar. Julia berpikir akan menendang bagian tertentu Arjuna dengan kuat.
Dug...
"Arghhh, perempuan sialan!"
Julia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu ketika Arjuna lengah sibuk memegang selangkangannya yang nyeri sambil menggerang kesakitan. Dengan langkah tergesa-gesa Julia berlari keluar meninggalkan ruangan terkutuk itu.
Arjuna terus mengumpat melihat Julia yang lolos dari ruangannya.
Tbc...
"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan di mana adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak perduli terhadap tumbuh kembang anaknya.Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamanya. Sem
Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang wanita itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya.Sejak mamanya menikah dengan 'pria' itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan ibunya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya diterlantarkan juga oleh mamanya.Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib sama
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ran
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya."Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Be
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara