Share

3. Mama Lauren.

"Di mana adikku, Ma?" Arjuna menatap Lauren mamanya yang baru saja muncul dari dapur sambil sibuk membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.

Wanita itu meletakkan dua gelas jus jeruk itu di atas meja. Di depan Arjuna dengan hati-hati. "Kamu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen Mama hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu pada Mama?" tanya wanita itu menunjukkan muka sedih yang sengaja dibuat-buat.

Arjuna mendengus muak. Sudah berkali-kali dia datang menanyakan di mana adiknya. Tetap saja hasilnya nihil. Berkali-kali juga mamanya seolah menghindari topik pembicaraan seputar adik yang belum pernah ia ketahui itu.

Semenjak Lauren bercerai dengan Anton, papa kandung Arjuna, Arjuna diasuh oleh papanya. Lauren yang notabene adalah mama kandungnya sendiri sangat cuek kepada Arjuna sejak kecil. Wanita itu seakan tidak perduli terhadap tumbuh kembang anaknya.

Arjuna tumbuh besar tanpa kasih sayang dari seorang mama, hal itu yang membuat Arjuna juga tidak terlalu dekat oleh mamanya. Semua sifat yang dimilikinya adalah warisan dari sang papa. Terlebih alasan Lauren bercerai dengan Anton karena ia ketahuan selingkuh dengan saingan bisnis Anton sepuluh tahun yang lalu.

Saat ini Arjuna telah berusia dua puluh delapan tahun. Ia semakin dewasa. Semenjak kematian papanya tiga tahun yang lalu, Arjuna hidup mengurusi perusahaanya warisan papanya dibantu oleh pamannya.

"Arjuna tanya sekali lagi. Apa Mama juga menelantarkan adikku sama seperti ketika Mama menelantarkan Arjuna dulu?" tandas Arjuna dengan nada tinggi. Menatap tajam pada mamanya yang sama sekali tidak terpengaruh dengan bentakan anaknya itu.

Lauren duduk di sofa. Mereka saling berhadapan. Wanita itu bersedekap sambil menyilangkan kaki dengan santai. Menatap Arjuna penuh penilaian. "Arjuna, kamu mewarisi sifat pemarah Papamu ya." Seru Lauren sambil tersenyum basa-basi. "Ya, soal adikmu itu tenang saja. Mama sudah mengirim dia ke panti asuhan, dia pasti dirawat dengan baik di sana," lanjut Lauren santai sambil mengaduk jus jeruknya dengan sedotan. Seolah ia tidak memiliki dosa besar sama sekali.

"Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa Mama tidak menitipkannya padaku?" bentak Arjuna marah.

"Memangnya kenapa, anak itu cacat, dan Mama tidak sudi memiliki anak cacat seperti dia. Lagipula buat apa Mama titipkan dia padamu, kamu saja tidak pernah mau bertemu dengan Mama!" Lauren ikut membentak Arjuna, ia kali ini menatap Arjuna tidak suka. Arjuna selalu saja menyalahkannya dalam hal apapun, dan itu membuat Lauren muak.

"Dia anak Mama juga!"

"Apa gunanya memiliki anak cacat!"

"Di mana?" guman Arjunan dengan giginya yang gemeletuk. Ia berusaha mengontrol emosinya yang tinggal di ubun-ubun. "Di mana alamat panti asuhannya?" ujarnya sekali lagi dengan masih menahan amarahnya.

Lauren menyeruput jus jeruknya anggun, gerakan yang sensual. Setengah gelas jusnya tandas. Jemari lentiknya bergerak mengetuk pelipisnya. "Tunggu Mama ingat-ingat dulu." Wanita itu terlihat berpikir keras. Jari telujuknya menjentik ke atas. "Aaaaa..... Mama tahu. Mama tidak akan memberitahumu sebelum kamu mentransfer Mama uang sebanyak tiga ratus juta," ujarnya kemudian dengan santai.

Arjuna mengepalkan tangannya erat. Uang uang uang dan uang. Selalu saja uang yang dipikirkan oleh mamanya. Kalau saja wanita di depannya bukanlah seorang mama kandungnya yang harus ia hormati, sudah dari tadi Arjuna menamparnya dengan keras.

"Untuk apa Mama membutuhkan uang sebanyak itu?"

"Kamu tahu sendirikan kehidupan Mama bagaimana setelah bercerai dari Papamu. Dan sekarang Papa tirimu hanyalah seorang pemabuk setelah dia bangkrut. Oh, dia benar-benar tidak bisa diandalkan. Mama menyesal telah menikahinya." Lauren mendengus. Mengusap pelipisnya kasar berusaha menunjukkan wajah melasnya pada Arjuna.

"Itu karma yang setimpal untuk Mama," seru Arjuna dengan pedas.

"Huh, Mama tidak percaya dengan karma," balas Lauren santai sambil melihat cat kukunya yang mulai terkelupas, lalu mengusapnya pelan membuat kukunya kembali mengilat.

"Arjuna sudah mentransfer uang yang Mama minta ke rekening Mama. Sekarang beri tahu Arjuna di mana adik Arjuna." Arjuna memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya lagi. Sebelumnya ia telah mengirimkan pesan kepada asistenya untuk mentransfer uang sebanyak yang disebutkan Lauren tadi.

Lauren tampak menatap Arjuna dengan wajah berbinar. Kemudian wanita itu menggeleng prihatin. "Astaga, dia cuma adik tirimu. Kenapa kamu peduli sekali padanya dibandingkan dengan Mama, Sayang," ujar mamanya dengan nada merajuk yang dibuat-buat.

"Ma....!"

Wanita itu menghela nafas panjang. Ia tampak pasrah seraya mengangkat kedua telapak tangannya. "Oke-oke, Mama kasih tahu. Dia sekarang dirawat oleh anak Papa tirimu. Mama tidak tahu kenapa dia mau saja merawat anak cacat itu. Nanti Mama akan mengirimkan berkas dan alamatnya sama kamu. Kamu boleh pegang kata-kata Mama." Lauren berhenti berbicara setelah menjelaskan panjang lebar. Ia kembali menyeruput jus jeruknya sampai tandas. Lalu menatap jam tangan mewahnya. "Oh, ya Mama tiba-tiba ada urusan mendadak. Mama harus pergi. Bay Sayang, jangan lupa kunci pintunya. Mama mencintaimu."

Arjuna mengusap kening bekas ciuman singkat mamanya barusan. Telapak tangannya memerah, lipstik mamanya menempel di sana. Lalu pandangannya beralih pada pintu apartemen yang masih terbuka. Kosong. Mama sudah pergi meninggalkannya lagi dengan alasan sibuk. Selalu saja seperti itu. Menghindar.

***

Arjuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menyugar rambut hitamnya yang sedikit memanjang secara asal sehingga terlihat acak-acakkan. Jaket kulit bewarna hitam pekat dipadu celana jeans hitam membalut tubuhnya dengan sempurna. Lalu ia berjalan keluar kamar, memakai sepatu boots kasual bewarna coklat. Seharusnya ia terlihat keren ala badboy, tapi karena wajahnya yang ditekuk kusut sepertinya akan ada banyak orang yang memilih menghindar ketika berpapasan dengannya.

Arjuna memakai helm hitamnya. Selanjutnya ia berjalan menuju bagasi untuk mengambil motor sportnya.

Arjuna melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Pikirannya hari ini sedang kacau. Emosi yang bergejolak terus menguasai dirinya. Diikuti rasa sesak di dada, Arjuna menambah kecepatan laju motornya. Menembus asap polusi sore hari yang semakin hari semakin susah untuk diatasi.

Ketika hidupnya ada diposisi titik terendah seperti ini, Arjuna selalu pergi ke suatu tempat yang tenang dan asri sendirian. Ia membutuhkan waktu untuk berkomunikasi dengan alam.

Menghabiskan waktu di sana adalah salah satu ide liburan terbaiknya. Tempat sejuk nan jauh dari hirup pikuk perkotaan yang kejam. Di sana akan sangat tenang dan damai.

Di atas bukit itu Arjuna dapat melihat pepohonan hijau yang menyegarkan mata. Mereka kebetulan tumbuh dengan subur. Arjuna mamakirkan motornya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa meter di depanya ada sebuah danau, dan terdapat beberapa orang yang masih memancing di sana dengan suara gelak tawa candaan dari salah satu temannya yang juga memancing. Tempat ini membuat ingatannya tergiring kemasa lalu yang penuh dengan cinta keluarga. Ya, itu dulu sekali.

Arjuna samar-samar mengingat tempat dan kejadian yang indah itu. Tempat inilah yang paling berarti untuknya. Saat ia berusia delapan tahun, papa dan mamanya masih akur. Mereka masih harmonis. Yaaaah, walaupun sebenarnya mamanya kebanyakan lebih sibuk sendiri dengan teman-teman. Waktu itu Arjuna kecil sangat bahagia. Setiap liburan, tempat ini adalah tempat favorit mereka. Arjuna pernah mendapatkan ikan dengan ukuran besar hasil ia memancing, dan mama langsung memujinya dengan bangga karena waktu itu papa sama sekali belum mendapatkan ikanya. Tetapi semuanya berubah ketika mamanya secara terang-terangan memilih berpaling dan meninggalkan keluarganya demi pria lain. Mama melupakan semua kenangan indah mereka. Menganggap semuanya tidaklah penting. Keluarga Arjuna hancur. Waktu ketika orangtuanya memilih untuk bercerai adalah saat Arjuna berusia tiga belas tahun.

Papa yang ditinggalkan mama mulai sakit-sakitan. Tetapi ia tidak pernah memperlihatkan wajah terlukanya di depan Arjuna. Papa selalu berusaha menunjukkan semuanya akan baik-baik saja. Padahal sesuatu yang baik itu tidak pernah ada. Sampai ketika usianya dewasa, papa mulai mengajarkannya untuk memimpin perusahaan. Beberapa tahun kemudian papa wafat. Selanjutnya Arjuna dibantu oleh pamanya untuk memimpin perusahaan.

Mengingat papanya tiba-tiba membuatnya sedih.

Arjuna melempar batu kerikil secara asal. Seolah-olah emosinya ikut terbuang. Sesak.

"Papa, apa kabarmu di sana semoga Papa baik-baik saja di surga. Aku rindu duduk berdua sambil melepas penat. Aku merindukan Papa!" ujarnya setengah berteriak kepada angin kencang yang berembus, diikuti matanya yang berkaca-kaca.

Tbc...

SIM

Facebook @Sim Prabu.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status