Arjuna menyesap gelas vodka itu hingga tandas. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi pagi. Saat ia mengunjungi apartemen mamanya untuk mencari tahu keberadaan adiknya, tapi hasilnya lagi-lagi nihil.
Arjuna sudah terlanjur mentransfer sejumlah uang yang cukup besar pada mamanya, namun sampai sekarang wanita itu belum mengirimkan berkas yang ia janjikan.
Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bukan uang yang ia permasalahkan, tapi ia memikirkan nasib adiknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaanya. Ia bahkan tidak tahu jenis kelamin adiknya itu. Malang sekali nasibnya.
Sejak mamanya menikah dengan 'pria' itu, Arjuna tidak mau lagi berurusan dengan mamanya. Arjuna bahkan tidak mau tahu siapa ayah tirinya, latar belakang ayah tirinya, keadaan ibunya setelah menikah. Arjuna benar-benar tidak mau tahu. Tapi semakin lama hati kecilnya terbuka, ia merasa perlu mencari adik tirinya yang juga kabarnya diterlantarkan juga oleh mamanya.
Sungguh biadab. Ia tidak mau adiknya bernasib sama sepertinya dulu. Tidak. Jangan lagi.
Ditambah fakta yang ia tahu, adiknya memiliki kekurangan fisik membuat hatinya semakin gelisah.
Pria itu mengusap wajahnya gusar. Menyapu pandangan pada lautan manusia yang sibuk berjoget ria. Tiba-tiba tatapan matanya terkunci pada perempuan cantik yang tengah berusaha melewati lautan manusia tersebut. Beberapa kali gadis itu terdorong, tapi ia tetap berusaha melewati gerombolan manusia liar itu.
Musik semakin memekakan telinga. Arjuna masih fokus menatap Julia. Ia bertanya-tanya apa yang dilakukan Julia di sini?
"Hati-hati Bung. Matamu bisa copot kalau kau melihatnya seperti itu." Celoteh pria di sampingnya. "Bung?" panggil pria itu sekali lagi, namun tetap tidak dapat respon dari Arjuna yang masih terpaku. Seseorang yang merasa diabaikan itu memukul pundak Arjuna pelan.
Plaaakk...
"Hei!" umpat Arjuna marah menatap tajam manik mata Jonatan pemilik klub malam yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya.
"Aku bicara padamu dari tadi, sebenarnya siapa yang kau lihat?" tanya pria berbadan kekar itu diselingi tawa lebarnya.
"Dia....."
Jonatan mengikuti arah pandangan Arjuna. Matanya ikut terkunci pada satu titik yang menjadi obyek Arjuna dari tadi.
"Dia memang sering berkunjung," ujar Jonatan pendek.
Arjuna menatap Jonatan sebentar, lalu kembali mencari keberadaan Julia. Di sana perempuan itu tengah digoda oleh beberapa pria hidung belang. Julia hanya melempar senyuman canggung campur risih menanggapi pria yang menggodanya.
"Cih, wanita murahan."
"Hei.. hei, jaga mulutmu. Dia gadis baik-baik, lagipula dia ke sini pasti cuma ingin menemui pemabuk itu," jelas Jonatan menyesap vodkanya.
"Pemabuk?"
Jonatan mengangguk singkat.
"Ayahnya," ujar pria itu lagi. Ia meletakkan gelasnya lalu menatap Arjuna yang masih memerhatikan Julia dengan serius. "Kau menginginkannya? Aku bisa mengurusnya untukmu, tapi aku menginginkan bayaran mahal," tawar Jonatan.
"Cih, kau berkata seolah dia adalah milikmu. Dia tidak mudah ditaklukkan."
"Owww, dia memang bukan milikku Bung. Tapi kebetulan ibunya berhutang banyak padaku karena selalu kalah judi, dan sialnya dia tidak segera melunasi hutangnya," curhat pria pemilik klub malam tersebut meratapi nasib uangnya yang tidak segera dibayar lunas.
"Aku akan membayarmu lebih jika dia datang sendiri padaku," tantang Arjuna dengan senyuman iblisnya.
"Mudah saja. Besok malam keinginanmu akan terkabul, dan kau harus membayar mahal untuk ini."
Arjuna tersenyum remeh. Mendapatkan Julia yang keras kepala tidaklah mudah. Harga diri perempuan itu terlalu tinggi untuk ditaklukkan.
"Tapi kasihan juga dia, memiliki seorang ayah yang pemabuk dan ibu yang tukang judi. Aaaah, hidupnya memang tidak adil." Jonatan menggeleng-geleng menatap Julia yang semakin hilang dari pandangannya. Dan Arjuna sama sekali tidak peduli dengan latar belakang gadis itu. Rasa simpatinya telah musnah semenjak kejadian 'tamparan' di kantor beberapa minggu lalu.
"Besok, aku tunggu janjimu," gumam Arjuna pendek.
Jonatan menatap Arjuna penuh tertarik. Lalu mereka saling berjabat tangan.
"DEAL!!!"
Arjuna menatapnya Julia yang baru saja menghilang dengan senyuman iblisnya.
***
Ruangan dingin yang dipenuhi dengan berbagai berkas penting menjadi runtinitas tempat di mana ia bekerja. Arjuna menatap layar komputer dalam mode off sehingga memantulkan bayangan gedung-gedung besar di belakangnya. Kadang kala pikirannya kosong, memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Sesekali ia juga memainkan cincin perak lambang pertunangannya dengan salah satu anak dari koleganya.
Arjuna tersenyum penuh arti ketika seseorang yang ditungguinya sejak tadi datang dengan membawa map bewarna cokelat di tangannya. Dia Ruben, sahabat Arjuna yang kebetulan kerja di perusahaannya.
"Bagaimana?" Arjuna bertanya tidak sabaran.
"Semuanya ada di sini." Ruben menyerahkan map cokelat tersebut kepada Arjuna.
Arjuna terlihat membuka map tersebut dengan tak sabar. Dengan cepat matanya menelusuri setiap baris informasi penting yang tertera di sana. Informasi yang menunjukkan identitas adiknya. Tahun - tahun sebelumnya, Arjuna sama sekali tidak tertarik untuk mencari informasi ini. Namun entah bagaimana caranya setahun belakangan ini hatinya mulai tergerak untuk mencari jejak adiknya yang belum pernah dikenalnya.
Arjuna merasakan seperti ada benang tak kasat mata yang membuat hatinya tergerak untuk segera mengetahui keberadaan adiknya. Berbulan - bulan ia mencari tahu, namun hasilnya selalu nihil. Semuanya butuh proses. Memiliki kuasa, kedudukan, jabatan tinggi tidak menjamin semuanya akan mudah. Bertanya pada mamanya secara langsungpun tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan. Lauren seolah - olah memang sengaja ingin menutupi keberadaannya, ataupun Lauren memang sengaja menggunakan adiknya untuk memeras dirinya. Sial.
"Adikmu berjenis kelamin laki-laki, berkulit putih bersih. Kira-kira sekarang dia berusia 15 tahun. Dan sebenarnya selama ini dia dirawat Kakak tirinya. Tante Lauren berbohong kalau dia berada di panti asuhan." Ruben menjelaskan secara singkat. Arjuna mengangguk mantap.
"Siapa Kakak tirinya?"
"Aku belum tau pasti namanya. Tapi dia perempuan yang berusia sekitar 23-24 tahun, dan... hanya itu ciri-ciri yang berhasil aku dapatkan."
Arjuna kembali meneliti berkas tersebut. Ia berharap ada titik terang yang membuat hatinya lega. Namun tidak ada. Arjuna kecewa. Berbagai pertanyaan masih mengambang di kepalanya. Informasi yang ia dapatkan sekarang masih buram. Ia masih membutuhkan banyak informasi lagi.
Arjuna melirik Ruben yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
"Bagaimana? Kerja kerasku dalam menyelidiki kasusmu bagus bukan?" Ruben terlihat nyengir membanggakan diri. Padahal bukan dia yang mencari keberadaan seseorang yang dimaksud Arjuna. Arjuna tahu, dalam melaksanakan tugas darinya, Ruben juga menyuruh orang lain. Jadi bisa dikatakan Ruben hanya perantara, yang berarti Ruben hanya perlu memberikan informasi yang sudah ia dapat dari pihak lain.
Arjuna menggeleng tanda ia tidak puas. Belum. "Lain kali bawa informasi yang lengkap. Jangan setengah-setengah. Masalah yang membuatku penasaran seperti ini malah membuatku insomnia. Aku bisa mati penasaran. Kalau perlu suruh mata-matamu untuk memfoto target. Biar lebih jelas dan akurat!" perintah Arjuna tegas.
"Cuma tinggal sedikit lagi Arjuna. Sedikit lagi semuanya akan menemui titik terang. Percayalah padaku. Beri aku waktu setidaknya tiga hari, dan aku jamin kau akan puas dengan kinerjaku."
"Baiklah. Kuserahkan semuanya padamu. Kuharap kau tidak akan mengecewakanku!"
Ruben mengangguk mantap dan langsung pergi meninggalkannya ruangan Arjuna.
Tbc...
Facebook @Sim Prabu.
"Aku di mana?!" Julia berteriak marah ketika seorang pria asing berkemeja putih datang memasuki kamar dan membuka lapban di mulut Julia secara paksa. Gadis itu memekik, mulutnya terasa panas.Julia terus bergerak-gerak gelisah, menatap pria yang tengah memakai masker warna hitam di depannya dengan penuh waspada. Tanganya terikat dari belakang. Gadis itu jelas tidak bisa melakukan perlawanan. Di balik kepasrahannya Julia terus berusaha melepas ikatannya.Pria di depannya tertawa menatap Julia yang malang. Ia membelai pipi Julia pelan. "Tenang saja Nona cantik. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau diam," ujarnya hendak mengecup bibir Julia, tapi Julia segera mengelak sehingga kecupan pria itu berakhir di pipi kiri Julia."Lepaskan aku!" bentak Julia dengan geram. Pria itu terus tertawa tidak peduli."Tidak akan!""Lepaskan, atau aku akan teriak!" ujar Julia sekali lagi dengan marah."Kau teriakpun tidak akan ada yang menolongmu," kata pria itu dengan dingin. Ia mendekat, duduk di ran
"Mama benar-benar keterlaluan!" Arjuna berteriak marah dengan suara yang terdengar nyaring."Apa maksud kamu? Tiba-tiba datang dan langsung marah-marah tidak jelas." Lauren ikut berdiri, bertanya degan intonasi yang sama kerasnya. Tatapannya menatap buas kepada putra kandungnya yang semakin kurang ajar itu. Hati kecilnya tidak terima ketika Arjuna terus-terussan membentaknya.Kali ini Lauren tidak menyuguhi air minum untuk Arjuna seperti biasa saat Arjuna mengunjungi apartemennya. Firasat seorang ibu merasakan kalau anaknya akan berkunjung, dan rasanya itu bukanlah hal yang baik untuk hari ini. Tapi sebelum Lauren bergegas keluar, Arjuna sudah terlanjur membuka pintu dengan kasar dengan kemarahan yang ketara. Masuk ke dalam dan langsung meluapkan emosinya yang sedang meluap - luap. Firasat buruknya benar terjadi. Arjuna sekarang begitu marah padanya."Mama..... Mama kenapa tega menjual putri Mama hah?!" pria itu menatap mamanya dengan nanar. Arjuna mengepalkan tangannya dengan erat. Be
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama itu pula Arjuna tidak pernah lagi melihat batang hidung Julia di perusahaanya. Gadis itu pergi entah ke mana seperti ditelan bumi. Mungkin saja gadis itu bersembunyi atau trauma setelah kejadian yang menimpanya waktu itu.Seharusnya gadis itu sudah mendapatkan sanksi, atau lebih buruk ia dipecat secara tidak terhormat. Bolos bekerja tanpa meminta izin, tentu saja melanggar aturan perusahaan.Tapi Arjuna menyadari dia juga ikut andil dari apa yang menimpa Julia sekarang. Sedikit campur tangannya, ia mudah saja menyelamatkan karir Julia, dan Arjuna bertekat akan menebus kesalahannya.Arjuna sadar ia telah salah menilai Julia selama ini.Arjuna menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul delapan malam. Masih ada waktu untuk bertamu. Meski ia tahu bertamu malam-malam di rumah seorang gadis yang tinggal sendiri itu tidak baik. Tapi tekatnya malam ini sudah bulat, ia harus membujuk Julia untuk kembali bekerja dan meminta maaf.***Arjuna menatap rum
Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.Klik.Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?"Ada apa?""Arjuna, kau tahu....."Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be