Arjuna menatap langit-langit kamar. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang entah kemana. Jiwanya masih sepenuhnya terjaga. Kembali teringat empat hari yang lalu di mana Julia mengusirnya dengan tatapan jijik campur benci.
Pria itu mengusap wajahnya gusar. Matanya kembali menatap nyalang. Ia bangun dan duduk bersimpuh di atas kasur, merenungi kesalahannya. Dengan keadaan gelisah ia menatap tanggalan di atas meja yang berada tepat di sebelah kasur.
Tanggal tiga belas, tercoret dengan lingkaran merah. Arjuna menandai pada tanggalannya. Hari saat dia menodainya. Hari di mana kehormatan adik tirinya sendiri ia renggut.
Di tengah keterpurukan rasa bersalah itu, ponselnya berbunyi nyaring.
Klik.
Arjuna menggeser tombol warna hijau. Mengangkat telpon dengan perasaan jengkel.
Siapa malam-malam begini yang berani mengangguku?
"Ada apa?"
"Arjuna, kau tahu....."
Arjuna menjauhkan ponselnya. Ia menatap nama kontak di layar ponselnya. Jonatan. Pria yang sekarang masuk kedaftar salah satu orang yang dibencinya.
"JANGAN MENGHUBUNGIKU LAGI, BAJINGAN!!!"
Klik.
Arjuna kembali menutup teleponnya.
Baru satu detik lagi-lagi ponselnya berdering. Itu dari Jonatan. Walau enggan, Arjuna tetap menggeser tombol hijau dan kembali mendekatkan ponsenya ketelinga.
"Hei, aku belum selesai bicara!"
"Aku mengantuk, dasar peganggu!"
"Hei dengar....." Jonatan terdengar menarik nafas. "Tadi aku melihat Julia, gadis sok suci itu."
Selalu saja. Julia... Julia... Julia yang selalu menghantui pikirannya. Arjuna tahu, hidupnya sekarang tidak akan tenang seperti dulu lagi bila Julia tidak segera memaafkannya, bahkan maaf saja tidak akan cukup. Dan sialnya Jonatan ikut membahas topik Julia malam ini.
"Diam Brengsek, dia memang suci, dan kau seharusnya bertanggung jawab karena sudah membuatku menodainya!" ada rasa tidak terima ketika Jonatan mengoloknya dengan kalimat 'gadis sok suci'.
"A-apaaa? Jadi waktu kau mencabulinya dia masih perawan? Tapi kenapa sekarang Julia bersama orang lain. Kalau dia gadis baik-baik maka kau pasti tidak akan percaya sekarang gadis itu benar-benar sudah menjual tubuhnya lagi."
"Apa..... apa maksudmu?" geram Arjuna.
"Aku melihat dia bersama pria asing berjalan menuju kamar, dan gadismu itu sama sekali tidak memberontak. Dia ada di Klub-ku kau tahu? Kalau kau tidak percaya, aku akan mengirimkan fotonya padamu."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi!"
Arjuna berdiri menyambar jaket kulit bewarna coklat tuanya. Ia berjalan gusar mencari kunci motornya.
"Aku sudah bercerita. Kau saja yang tidak mendengarkan ceritaku sampai selesai. Memangnya kau kenapa?"
"Dia masih di Klub?" tanya Arjuna memastikan.
"Mereka menyewa kamar!"
"SIALAN. CEGAH MEREKA!"
Arjuna berlari menuju garasi setelah menggenggam kunci motornya dengan erat. Tidak ada waktu untuk mengendarai mobil, lebih cepat naik motor.
***
BRAKKK.....
Arjuna melangkah dengan tatapan nyalang setelah berhasil mendobrak pintu. Arjuna masih menggunakan helm full face untuk menutupi wajahnya, sehingga orang - orang di sana tidak mengetahui kalau itu Arjuna.
Arjuna maju dengan langkah lebar menghampiri pria yang tengah menindih tubuh Julia. Sekali sentakan pria bertubuh gempal itu terpelanting jatuh ke pojok ruangan.
Julia memekik ketakutan. Perempuan malang itu segera menutupi bagian tubuhnya yang terekspos, walau hasilnya tetap sia-sia. Ia menangis terisak dengan wajah yang terlihat berantakan.
Arjuna yang tengah meneliti keadaan Julia semakin geram ketika mendapati leher Julia yang memar bewarna merah, juga tatapan syok, dan kosong.
"Berani-beraninya kau sentuh dia!"
Satu pukulan berhasil mengenai rahang pria bertubuh gempal itu. Pria itu memekik kesakitan.
"Si-siapa kau?" tanyanya dengan marah sembari mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. Pria bertubuh gempal itu menatap Arjuna yang masih memakai helm dengan marah.
"Aku calon suaminya, Bedebah!!!" teriak Arjuna ikut marah. Berkali-kali ia nyalangkan tinju pada wajah pria itu. Pria itu hanya bisa menangkis pukulan Arjuna tanpa mampu melawannya lagi.
"Hei, apa yang kau lakukan... hentikan... aku tidak tahu kalau kau calon suaminya!" seru pria bertubuh gempal itu tak berdaya. Wajahnya babak belur, hidungnya patah, nafasnya tersedat-sedat. "Kumohon hentikan!" pria itu terus memohon.
Arjuna menatap Julia prihatin. Perempuan itu berusaha menutupi tubuhnya dengan putus asa. Arjuna maju menghampiri Julia, ia menarik lengan perempuan itu. Menutupi tubuh Julia dengan jaket kulitnya. Lalu mengajaknya pergi.
"Cepat ikuti aku!"
Arjuna melangkah lebar tanpa melepas genggaman tangannya pada Julia. Di belakang, Julia terlihat kesusahan untuk menyamai langkah lebar Arjuna. Langkah kakinya terasa kaku. Lelaki itu terus membawa Julia pergi dari tempat terkutuk itu.Malam ini kebetulan pengunjung Klub sangat ramai. Sesekali tubuh mereka bertabrakan dengan pengunjung yang asyik berjoget heboh. Arjuna menarik Julia, lalu lelaki itu mendekapnya untuk melindungi dari tangan jahil para pria yang terang-terangan menjawil tubuh Julia.
"A-aku takut," bisik perempuan itu sambil menyembunyikan tubuhnya di dalam dekapan Arjuna.
"Jangan takut. Kamu aman bersamaku."
Julia mengangguk. Berkali-kali menoleh kebelakang memastikan pria gempal tadi tidak mengikutinya.
"Apakah dia masih mengejar kita?"
Arjuna menatap Julia. Ia semakin menguatkan genggaman tangannya pada Julia. "Aku tidak tahu, tapi kemungkinan iya. Kita harus cepat."
Arjuna berhenti di depan montor ninja bewarna putihnya.
Julia menatapnya heran. Perempuan itu mengira Arjuna akan menyuruhnya pergi begitu saja setelah menolongnya lolos dari kejaran pria tadi. Tetapi ternyata tidak, Arjuna masih menggengamnya erat.
"Kita akan ke mana?" tanya Julia menatap pria asing yang masih memakai helm di depannya dengan penasaran.
"Ketempatku yang jauh lebih aman." Jawab Arjuna pendek.
"Kamu siapa? Kenapa menolongku sampai sejauh ini?"
Arjuna melepas helmnya. Dan saat itu juga Julia mundur selangkah, matanya melebar sambil menutup mulutnya yang menganga. Tubuhnya terasa lumpuh. Ia masih trauma dengan Arjuna.
"Pak Arjuna?!"
"Dengar, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menolongmu. Jadi jangan berburuk sangka dulu padaku," Arjuna menangkup wajah Julia yang tampak semakin ketakutan.
Gadis itu merespon dengan penolakan, ia mendorong tubuh Arjuna. Membuat jarak di antara mereka lagi. Hendak berlari menjauh. Tetapi Arjuna segera menarik tangannya lagi.
"Saya tidak mau dibantu oleh anda."
Arjuna mengusap rambutnya. Pandangannya menyapu pada sekitar parkiran memastikan tidak ada yang mengikutinya. Kembali menatap Julia dengan gusar. "Lupakan kejadian terkutuk itu. Lupakan rasa bencimu padaku, tolong jangan bersikap seformal itu bila tidak sedang bekerja padaku. Paham!" kata Arjuna dengan kedua tangan yang mencengkram bahu Julia erat.
Julia mengangguk ketakutan. Ia merasa Arjuna tengah mengancamnya. "Kamu mau apa? Aku mau pergi dari sini. Jangan ganggu aku lagi, please!" Julia berkata dengan menahan ketakutannya.
"Hei, kalian!"
Arjuna dan Julia menoleh. Lima pria berbadan besar dengan stelan formal berjalan mendekat. Bisa ditebak mereka adalah bodyguard pria gempal tadi.
"Perintahkan sesuatu padaku. Kamu mau aku menghajarnya, atau kita kabur sekarang?" tanya Arjuna tegas.
"Hei, awas kalian!" kelima pria itu berjalan semakin mendekat.
Julia menatap kaku. Ketakutanya bertambah berkali-kali lipat.
"Cepat perintahkan aku untuk menghajarnya Julia. Lagipula aku sudah lama tidak sesemangat ini!" Arjuna tersenyum miring setelah memberikan penawaran pada Julia.
Perempuan itu sama sekali belum menjawab. Arjuna menarik Julia untuk mundur ketika para bodyguard tadi datang. Arjuna mulai melemaskan tangannya, dan bersiap mengambil angcang-ancang, "baiklah, aku sudah lama tidak bertarung....."
"Kita..... kabur....."
Arjuna menatap kepalan tangannya yang digenggam oleh Julia. Hangat. Perempuan itu menatapnya penuh permohonan juga ketakutan.
"Kita kabur saja."
Arjuna mengangguk dengan senyuman tipis, lalu memakaikan helmnya pada Julia.
"Pakai ini!"
Dan Arjuna melajukan motornya dengan kecepatan penuh meninggalkan tempat terkutuk itu.
Tbc...
Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya."Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.Dia..."Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u
Pukul 06:00"Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang - barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang - barangnya dengan baik."Iya, dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang - barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha
Hari ini pertama kalinya Julia bekerja di toko Dewa. Pagi sekali Julia sudah sangat sibuk. Julia mulai menyiapkan sarapan berdua untuk dirinya dan Vino, juga mempersiapkan diri untuk tampil kerja secara maksimal. Rencananya Julia akan memesan ojek online, tetapi ketika ia dan Vino hendak sarapan tiba-tiba Arjuna muncul dan menawarkan untuk mengantar mereka. Lalu dengan terpaksa Julia mengiyakan ajakkan dari Arjuna. Di perjalanan mereka hampir tidak bersuara sama sekali. Hanya Vino yang sesekali mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu canggung. Julia akan menjawab pendek, sedangkan Arjuna akan berbicara seperlunya saja. Setelah Vino turun dari mobil dan melangkah menuju kelasnya, Julia dan Arjuna kembali dirundung sepi di dalam mobil. Arjuna melirik Julia yang duduk di sampingnya, samping kursi pengemudi. Julia memakai kaos seragam bewarna merah dengan kerah di leher, dan dipadu celana chinos bewarna kream. Santai sekali. Menurut Arjuna itu agak aneh, karena Arjuna terbiasa m