Share

9. Papa Ridwan.

Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.

Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya.

"Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.

Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.

Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.

Dia...

"Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.

"Kamu habis pulang ngantor?" Ridwan, papanya yang tengah asik nonton tv menoleh sambil tersenyum hangat. Sudah hampir tiga bulan lebih Ridwan tidak pernan pulang. Biasanya kalau ada perlu mereka hanya akan janjian di suatu tempat.

"Iya. Tumben Papa pulang?"

"Papa ada masalah," ujar Ridwan tersenyum lesu.

Masalah lagi ya, tiba-tiba otaknya kembali pusing.

Dari dapur terlihat Vino yang tengah berjalan membawa beberapa sendok tersenyum melihat mereka berdua. Terutama saat mengetahui sang kakak sudah pulang.

"Kakak sudah pulang? Ayo kak, kita gabung makan nasi pecel," ujar Vino seraya berjalan menuju sofa.

Julia tahu, pasti papanya yang membawakan makanan kesukaan mereka. Setiap kali berkunjung ke rumah, Ridwan tidak pernah lupa membawakan sesuatu. Suatu hal hangat yang masih tersisa dikeluarga ini.

***

Pukul sepuluh malam.

Vino sudah tertidur dari tadi di kamarnya, dia sepertinya lelah karena tugas sekolah yang menguras pikiran. Sedangkan Julia dan Ridwan berada di ruang tamu hendak membicarakan sesuatu yang penting.

Julia menatap papanya yang sudah sangat rapi. Pria paruh baya tersebut mengenakan kemeja hitam dengan setelan jeans biru tua. Tas ransel di sofa. Ridwan terlihat sangat sibuk dengan kegiatannya. Berbeda dengan Julia yang sudah siap dengan baju tidurnya. Ia menatap papanya heran.

"Julia, Papa mau bicara serius sama kamu," ujar pria paruh baya tersebut sambil memasukan beberapa surat dan berkas-berkas penting ke dalam tas yang sebelumnya sudah ia cek beberapa kali.

"Tentang apa, Pa?" tanya Julia seraya duduk di sofa, menghadap papanya.

"Dalam beberapa hari kedepan, rumah ini bakal disita."

Pernyataan dari Ridwan sukses membuat Julia terdiam cukup lama. Rasa bingung dan syok bercampur menjadi satu. Julia berusaha mencerna pernyataan dari papanya barusan.

Iya. Julia cukup paham. Papanya terlibat hutang yang cukup banyak dengan pihak bank.

"Tidak ada cara lain buat mertahaninnya?" tanya Julia setelah kesadarannya kembali utuh.

Ridwan ikut duduk berhadapan dengan Julia, pria paruh baya itu mengusap mukanya lelah, lalu menatap Julia dengan serius.

Julia menatap papanya yang semakin hari terlihat semakin menua dikarenakan stres. Rambut hitam bercampur putih, kerutan halus di wajahnya, juga tubuh sang papa yang semakin kurus. Berbeda sekali ketika mereka masih berjaya.

Julia tidak pernah menyangka nasib mereka akan seperti ini.

Sebelum menikah dengan Lauren, istri kedua papanya, Ridwan termasuk pembisnis yang sukses pada waktu itu. Para kliennya sering puas dengan hasil kerja keras Ridwan. Tapi semenjak ada Lauren, pengeluaran keluarga selalu membengkak. Mereka terlibat hutang sana-sini.

Tiba-tiba kenangan masa lalu berputar dibenak Julia. Saat-saat masalah yang datang mudah diatasi. Saat masalah itu datang bukanlah sesuatu yang harus ditakuti ataupun dihindari. Saat mama kandungnya masih hidup, tempat papa bersandar setiap kali berkeluh kesah, Julia mengintip dari balik pintu yang terbuka. Bagaimana cara mama menguatkan papa, bagaimana cara mama menenangkan papa, bagaimana cara mama menghibur papa. Papa bahagia sekali waktu itu.

Namun semuanya berubah, saat setelah mama pergi tutup usia. Papa menjatuhkan hatinya pada wanita yang salah. Lauren, wanita kedua yang membuat papanya jatuh hati. Wanita yang berhasil membuat papanya tersenyum bahagia setelah berbulan-bulan senyum tangis. Awalnya tak ada masalah. Julia dengan terbuka menerima Lauren sebagai mama tirinya. Namun semakin mengenal Lauren, Ridwan maupun Julia baru sadar, mamanya tidak pernah tergantikan.

Lauren adalah wanita dengan kehidupan yang super mewah. Dia boros dan senang berpesta.

Julia melihat sendiri bagaimana papanya diperas habis-habisan. Bagaimana papanya bekerja keras hanya untuk membayar hutang dari sang istri. Namun ketika Ridwan diambang masalah, Lauren malah pergi. Seolah-olah semua yang terjadi bukanlah hal yang berharga.

Lauren tidak bisa menggantikan posisi mama.

"Uang tabungan Papa sudah habis."

"Kalau Papa butuh uang, Julia ada sedikit."

Ridwan diam. Tidak mungkin dia akan meminjam uang pada Julia. Sedangkan Julia juga harus mengurus Vino yang seharusnya dia urus.

"Apakah Lauren sering meminta uang sama kamu," selidik Ridwan menatap Julia serius.

"Tidak kok, Pa."

"Jawab yang jujur."

Julia tersenyum tulus untuk menyembunyikan bebannya, "Beneran. Mama tidak pernah meminta ke Julia."

Ridwan menghela nafas lega. Setidaknya anak kesayangannya tidak perlu ikut terlibat beban dari Lauren.

"Kalau dia minta yang aneh-aneh, bilang ke Papa!"

"Iya." Julia mengangguk patuh.

"Oh, ya... Kamu kenal yang namanya Prawira di kantormu?"

"Prawira?" Julia mengingat-ingat karyawan yang bernama Prawira. Ada empat orang, "Prawira siapa, Pa?" tanya Julia untuk lebih jelas.

"Kalau tidak salah nama lengkapnya Arjuna Prawira Bais."

Julia tertegun.

Itu...

Pak Arjuna....

"Kalau ada apa-apa, coba kamu minta tolong sama dia."

Julia bingung. Ia mengerutkan keningnya. Menatap papanya dengan serius dan penuh tanda tanya.

"Kenapa harus minta tolong sama dia, Pa?"

"Karena dia kakak tiri kamu," ujar Ridwan sambil menyeruput teh yang sedari tadi belum tersentuh, "dia anak kandung Lauren," tambah Ridwan mantap.

Deg...

"Ap-apa?"

"Iya. Kamu sudah pernah ketemu sama dia?"

Sesaat Julia merasakan tubuhnya kaku. Kepingan peristiwa yang berkaitan dengan Arjuna memenuhi pikirannya. Mengingat hal 'itu' tiba-tiba membuat perutnya mual. Mendadak ia gelisah.

Julia menggeleng.

"Coba kamu cari dia. Kalau ketemu dia, kamu minta tolong sama dia. Semoga dia mau membantu, karena yang Papa tahu dia anak yang baik."

"Aku bisa minta tolong sama teman kantor."

Walaupun akhir-akhir ini Arjuna mulai bersikap baik padanya, tapi siapa juga yang mau minta tolong dengan orang yang sudah berbuat jahat pada kita.

Ah, ingin sekali Julia memeluk papanya sambil menangis lalu memberi tahu apa yang sudah terjadi padanya.

"Iya, Papa tau. Tapi buat jaga-jaga saja."

Ridwan menatap jam tangannya, lalu berdiri.

Julia tahu, waktu untuk bersama papanya sudah habis. Walaupun tidak rela, Ridwan harus segera pergi.

"Papa tidak menginap di sini untuk malam ini saja?" Julia bertanya ketika melihat Ridwan beranjak dari tempat duduknya dan memakai tas ranselnya.

"Papa harus pergi. Banyak orang yang cari Papa. Bahaya." Ridwan berusaha tersenyum.

Memperlihatkan kepada Julia bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Julia mengangguk sebagai jawaban kalau ia mengerti. Mati-matian ia menahan air mata yang akan merembes. Sesungguhnya ia tidak rela kalau papanya pergi lagi. Julia merindukan sosok ayah. Julia ingin papanya tahu tentang masalahnya. Tapi ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbicara.

Julia tidak mau papanya semakin terbebani.

"Julia."

"Iya, Pa?"

"Papa minta maaf." Ridwan menghampiri Julia dan memeluknya erat. Sangat erat, "tolong jaga Vino. Papa pergi dulu, dan jaga diri kamu baik-baik," ujarnya seraya melangkah pergi.

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status