Cuaca sore hari ini sangat cerah. Tetapi tak secerah hati perempuan yang berkali-kali dirundung masalah. Justru dia menganggap semua hari sama saja.
Julia memakirkan motornya di bagasi seperti biasa. Dia sudah tidak memiliki mobil karena sudah dijualnya untuk menutupi kebutuhan. Kendaraan satu-satunya yang dia punya sekarang hanyalah motor matic kesayangannya.
"Lemas sekali," ujarnya lirih seraya membuka jaket dan helm. Ia melihat pada kaca spion, berusaha tersenyum untuk dirinya, namun yang terlihat hanya senyuman keletihan.
Hari ini, akhir bulan. Pekerjaan di kantor lumayan melelahkan. Semua tubuhnya terasa lesu. Berbagai masalah yang terus menghampiri semakin membuat mentalnya down. Dia benar-benar merasa seperti zombie yang dipaksa untuk hidup.
Julia baru saja berjalan lima langkah menuju pintu yang sudah terbuka. Sampai kehadiran seseorang membuat semua bebannya bagai terangkat, hilang dan lenyap.
Dia...
"Papa?" Julia memanggil setengah tak percaya. Cepat-cepat ia masuk ke rumah.
"Kamu habis pulang ngantor?" Ridwan, papanya yang tengah asik nonton tv menoleh sambil tersenyum hangat. Sudah hampir tiga bulan lebih Ridwan tidak pernan pulang. Biasanya kalau ada perlu mereka hanya akan janjian di suatu tempat.
"Iya. Tumben Papa pulang?"
"Papa ada masalah," ujar Ridwan tersenyum lesu.
Masalah lagi ya, tiba-tiba otaknya kembali pusing.
Dari dapur terlihat Vino yang tengah berjalan membawa beberapa sendok tersenyum melihat mereka berdua. Terutama saat mengetahui sang kakak sudah pulang.
"Kakak sudah pulang? Ayo kak, kita gabung makan nasi pecel," ujar Vino seraya berjalan menuju sofa.
Julia tahu, pasti papanya yang membawakan makanan kesukaan mereka. Setiap kali berkunjung ke rumah, Ridwan tidak pernah lupa membawakan sesuatu. Suatu hal hangat yang masih tersisa dikeluarga ini.
***
Pukul sepuluh malam.
Vino sudah tertidur dari tadi di kamarnya, dia sepertinya lelah karena tugas sekolah yang menguras pikiran. Sedangkan Julia dan Ridwan berada di ruang tamu hendak membicarakan sesuatu yang penting.
Julia menatap papanya yang sudah sangat rapi. Pria paruh baya tersebut mengenakan kemeja hitam dengan setelan jeans biru tua. Tas ransel di sofa. Ridwan terlihat sangat sibuk dengan kegiatannya. Berbeda dengan Julia yang sudah siap dengan baju tidurnya. Ia menatap papanya heran.
"Julia, Papa mau bicara serius sama kamu," ujar pria paruh baya tersebut sambil memasukan beberapa surat dan berkas-berkas penting ke dalam tas yang sebelumnya sudah ia cek beberapa kali.
"Tentang apa, Pa?" tanya Julia seraya duduk di sofa, menghadap papanya.
"Dalam beberapa hari kedepan, rumah ini bakal disita."
Pernyataan dari Ridwan sukses membuat Julia terdiam cukup lama. Rasa bingung dan syok bercampur menjadi satu. Julia berusaha mencerna pernyataan dari papanya barusan.
Iya. Julia cukup paham. Papanya terlibat hutang yang cukup banyak dengan pihak bank.
"Tidak ada cara lain buat mertahaninnya?" tanya Julia setelah kesadarannya kembali utuh.
Ridwan ikut duduk berhadapan dengan Julia, pria paruh baya itu mengusap mukanya lelah, lalu menatap Julia dengan serius.
Julia menatap papanya yang semakin hari terlihat semakin menua dikarenakan stres. Rambut hitam bercampur putih, kerutan halus di wajahnya, juga tubuh sang papa yang semakin kurus. Berbeda sekali ketika mereka masih berjaya.
Julia tidak pernah menyangka nasib mereka akan seperti ini.
Sebelum menikah dengan Lauren, istri kedua papanya, Ridwan termasuk pembisnis yang sukses pada waktu itu. Para kliennya sering puas dengan hasil kerja keras Ridwan. Tapi semenjak ada Lauren, pengeluaran keluarga selalu membengkak. Mereka terlibat hutang sana-sini.
Tiba-tiba kenangan masa lalu berputar dibenak Julia. Saat-saat masalah yang datang mudah diatasi. Saat masalah itu datang bukanlah sesuatu yang harus ditakuti ataupun dihindari. Saat mama kandungnya masih hidup, tempat papa bersandar setiap kali berkeluh kesah, Julia mengintip dari balik pintu yang terbuka. Bagaimana cara mama menguatkan papa, bagaimana cara mama menenangkan papa, bagaimana cara mama menghibur papa. Papa bahagia sekali waktu itu.
Namun semuanya berubah, saat setelah mama pergi tutup usia. Papa menjatuhkan hatinya pada wanita yang salah. Lauren, wanita kedua yang membuat papanya jatuh hati. Wanita yang berhasil membuat papanya tersenyum bahagia setelah berbulan-bulan senyum tangis. Awalnya tak ada masalah. Julia dengan terbuka menerima Lauren sebagai mama tirinya. Namun semakin mengenal Lauren, Ridwan maupun Julia baru sadar, mamanya tidak pernah tergantikan.
Lauren adalah wanita dengan kehidupan yang super mewah. Dia boros dan senang berpesta.
Julia melihat sendiri bagaimana papanya diperas habis-habisan. Bagaimana papanya bekerja keras hanya untuk membayar hutang dari sang istri. Namun ketika Ridwan diambang masalah, Lauren malah pergi. Seolah-olah semua yang terjadi bukanlah hal yang berharga.
Lauren tidak bisa menggantikan posisi mama.
"Uang tabungan Papa sudah habis."
"Kalau Papa butuh uang, Julia ada sedikit."
Ridwan diam. Tidak mungkin dia akan meminjam uang pada Julia. Sedangkan Julia juga harus mengurus Vino yang seharusnya dia urus.
"Apakah Lauren sering meminta uang sama kamu," selidik Ridwan menatap Julia serius.
"Tidak kok, Pa."
"Jawab yang jujur."
Julia tersenyum tulus untuk menyembunyikan bebannya, "Beneran. Mama tidak pernah meminta ke Julia."
Ridwan menghela nafas lega. Setidaknya anak kesayangannya tidak perlu ikut terlibat beban dari Lauren.
"Kalau dia minta yang aneh-aneh, bilang ke Papa!"
"Iya." Julia mengangguk patuh.
"Oh, ya... Kamu kenal yang namanya Prawira di kantormu?"
"Prawira?" Julia mengingat-ingat karyawan yang bernama Prawira. Ada empat orang, "Prawira siapa, Pa?" tanya Julia untuk lebih jelas.
"Kalau tidak salah nama lengkapnya Arjuna Prawira Bais."
Julia tertegun.
Itu...
Pak Arjuna....
"Kalau ada apa-apa, coba kamu minta tolong sama dia."
Julia bingung. Ia mengerutkan keningnya. Menatap papanya dengan serius dan penuh tanda tanya.
"Kenapa harus minta tolong sama dia, Pa?"
"Karena dia kakak tiri kamu," ujar Ridwan sambil menyeruput teh yang sedari tadi belum tersentuh, "dia anak kandung Lauren," tambah Ridwan mantap.
Deg...
"Ap-apa?"
"Iya. Kamu sudah pernah ketemu sama dia?"
Sesaat Julia merasakan tubuhnya kaku. Kepingan peristiwa yang berkaitan dengan Arjuna memenuhi pikirannya. Mengingat hal 'itu' tiba-tiba membuat perutnya mual. Mendadak ia gelisah.
Julia menggeleng.
"Coba kamu cari dia. Kalau ketemu dia, kamu minta tolong sama dia. Semoga dia mau membantu, karena yang Papa tahu dia anak yang baik."
"Aku bisa minta tolong sama teman kantor."
Walaupun akhir-akhir ini Arjuna mulai bersikap baik padanya, tapi siapa juga yang mau minta tolong dengan orang yang sudah berbuat jahat pada kita.
Ah, ingin sekali Julia memeluk papanya sambil menangis lalu memberi tahu apa yang sudah terjadi padanya.
"Iya, Papa tau. Tapi buat jaga-jaga saja."
Ridwan menatap jam tangannya, lalu berdiri.
Julia tahu, waktu untuk bersama papanya sudah habis. Walaupun tidak rela, Ridwan harus segera pergi.
"Papa tidak menginap di sini untuk malam ini saja?" Julia bertanya ketika melihat Ridwan beranjak dari tempat duduknya dan memakai tas ranselnya.
"Papa harus pergi. Banyak orang yang cari Papa. Bahaya." Ridwan berusaha tersenyum.
Memperlihatkan kepada Julia bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Julia mengangguk sebagai jawaban kalau ia mengerti. Mati-matian ia menahan air mata yang akan merembes. Sesungguhnya ia tidak rela kalau papanya pergi lagi. Julia merindukan sosok ayah. Julia ingin papanya tahu tentang masalahnya. Tapi ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbicara.
Julia tidak mau papanya semakin terbebani.
"Julia."
"Iya, Pa?"
"Papa minta maaf." Ridwan menghampiri Julia dan memeluknya erat. Sangat erat, "tolong jaga Vino. Papa pergi dulu, dan jaga diri kamu baik-baik," ujarnya seraya melangkah pergi.
Tbc...
Pukul sembilan pagi. Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia. Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was. Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembara
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u
Pukul 06:00"Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang - barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang - barangnya dengan baik."Iya, dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang - barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha
Hari ini pertama kalinya Julia bekerja di toko Dewa. Pagi sekali Julia sudah sangat sibuk. Julia mulai menyiapkan sarapan berdua untuk dirinya dan Vino, juga mempersiapkan diri untuk tampil kerja secara maksimal. Rencananya Julia akan memesan ojek online, tetapi ketika ia dan Vino hendak sarapan tiba-tiba Arjuna muncul dan menawarkan untuk mengantar mereka. Lalu dengan terpaksa Julia mengiyakan ajakkan dari Arjuna. Di perjalanan mereka hampir tidak bersuara sama sekali. Hanya Vino yang sesekali mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu canggung. Julia akan menjawab pendek, sedangkan Arjuna akan berbicara seperlunya saja. Setelah Vino turun dari mobil dan melangkah menuju kelasnya, Julia dan Arjuna kembali dirundung sepi di dalam mobil. Arjuna melirik Julia yang duduk di sampingnya, samping kursi pengemudi. Julia memakai kaos seragam bewarna merah dengan kerah di leher, dan dipadu celana chinos bewarna kream. Santai sekali. Menurut Arjuna itu agak aneh, karena Arjuna terbiasa m
Seorang perempuan berjas putih tampak berjalan anggun dengan pandangan lurus ke depan. Rambutnya pendek seleher berjuntai lurus. Kulitnya putih bersih. Bibirnya bewarna merah dengan senyuman yang merekah. Perempuan itu tampak berbicara dengan salah satu karyawan De Wallin Bakery. Lalu sesekali ia tampak melirik ke arah Julia. Di tengah kesibukannya menata beberapa roti, Julia tahu kalau ada yang memperhatikannya dari tadi. Dia melirik perempuan itu dengan cuek. Julia tidak mengenalnya. Jadi biarkan saja. Beberapa menit kemudian perempuan tadi berjalan lurus menghampiri Julia. Ia berhenti dan menatap Julia dengan tatapan menilai. Julia menghentikan kegiatannya. Berdiam mematung, menatap perempuan itu bingung. "Kamu siapa?" tanya perempuan itu. Merasa terpanggil, Julia berusaha memberikan senyuman ramahnya. "Saya Julia, Mbak. Karyawan baru di sini," jawabnya. "Kamu sudah interview?" tanya perempuan itu. "Sudah, Mbak." "Kapan kamu interview?" Julia hendak menjawab. Tetap