Pukul sembilan pagi.
Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia.
Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia.
Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was.
Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar.
Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembarangan.
"Julia?" panggil Arjuna pelan. Ia masih ingat sopan-santun untuk tidak berteriak di rumah orang lain. Sembari melangkahkan kakinya, pandangannya menyapu seluruh isi ruangan.
Ruang tamu sepi. Arjuna mencari keberadaan Vino yang siapa tahu berada di rumah. Sepi. Berarti Vino sedang berada di sekolah. Nihil. Rumah ini kosong.
"Julia, apa kamu di rumah?" panggil Arjuna sekali lagi, dengan agak menaikkan sedikit volume suaranya.
Arjuna terus berjalan mondar-mandir. Ia sudah memeriksa hampir semua ruangan, tetapi tetap saja kosong tak ada orang.
Apakah dia sedang tidak ada di rumah? Tetapi kalau dia pergi, kenapa pintunya tidak dikunci? pikir Arjuna.
Satu-satunya tempat yang belum diperiksanya adalah dapur. Arjuna terus berjalan mencari letak dapur di dalam rumah yang masih asing ini. Sampai langkah kakinya berhenti ketika ia menemukan Julia yang tengah duduk di kursi membelakanginya.
Julia terlihat sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Blouse yang dilengkapi dengan blezer juga rok span di atas lutut.
Arjuna menghampiri Julia dengan tergesa. Hatinya tiba-tiba merasa senang karena telah berhasil menemukan Julia. Perempuan itu terlihat seperti tertidur. Arjuna mencoba membangunkan Julia dengan cara menepuk bahunya pelan, tetapi perempuan itu tidak kunjung bereaksi apapun. Membuat Arjuna heran.
"Julia? Hei bangun. Kamu kenapa?" Arjuna mengguncang tubuh Julia pelan. Gadis itu tetap tak sadarkan diri. Dan itu membuat Arjuna langsung diserang perasaan khawatir.
Astaga apakah dia pingsan, berapa lama dia pingsan di sini?
Arjuna menyusuri benda apapun yang dapat menolong Julia. Dan secara acak matanya menangkap keberadaan minya kayu putih di atas meja dapur. Keberuntungan yang sangat kebetulan sekali. Arjuna segera mengambilnya dan menguapkan aroma minyak kayu putih itu ke indra penciuman Julia. Seketika Julia tersadar, namun kondisinya masih terlalu lemah.Aku harus membawanya ke rumah sakit, pikir Arjuna.
***
Arjuna menatap lurus jalan raya di depannya. Berusaha untuk fokus menyetir. Tetapi fikiran setengahnya buyar. Ia teringat pernyataan dokter tadi kalau Julia sedang hamil muda. Sesuai prediksi Arjuna. Kejadian itu juga sudah lewat berminggu-minggu.
"Kita harus segera menikah," ujar Arjuna memecah keheningan.
Perkataannya bagaikan pernyataan yang tak boleh dibantah. Arjuna membanting stir dengan lihai setelah lampu hijau di perempatan menyala. Menjalankan mobilnya dengan stabil mengingat ada seorang perempuan yang tengah hamil muda di sampinya.
"Menikah?" Julia yang berada di samping kemudi menatap Arjuna dengan tatapan yang sulit diartikan, "aku belum mau menikah secepat ini, dan kalaupun saya menikah bukan dengan anda," tolak Julia cepat. Ia memasang wajah benci untuk Arjuna.
"Tapi kamu hamil Julia. Perut kamu bakal membesar." Arjuna menangkap ekspresi Julia yang terlihat kesal, "bayangkan bagaimana pendapat masyarakat yang menilaimu nanti. Hamil di luar nikah." Perkataan Arjuna itu penuh penekanan dan cemooh. Sehingga Julia merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali menampar lelaki di sebelahnya saat itu dengan membabi buta.
Kenapa perkataan Arjuna terkesan memojokkanya. Kenapa dirinya juga ikut disalahkan atas hal yang bukan kehendaknya. Kenapa dunia seolah tak adil padanya. Di sini Julia adalah korban. Dan Arjuna adalah pelaku. Dalam kasus seperti ini selalu saja korban yang selalu dirugikan secara mental dan emosional.
Padahal bisa saja Julia meraporkan Arjuna atas tindakan pemerkosaannya waktu itu dan masalah akan selesai. Tidak, tidak semudah itu. Akan ada banyak orang di luar sana yang akan mencemoohnya, dan tapi tidak sedikit orang juga akan bersimpati padanya. Hanya saja dalam posisi seperti ini Julia, si korban pemerkosaan tidak butuh rasa simpati dari orang lain. Belum lagi seandainya si anak itu lahir dia juga akan mendapat beban mental karena orang tua yang tidak jelas.
Julia hanya berharap semuanya baik-baik saja. Semoga. Dan semoga dia kelak bisa membesarkan anaknya dengan baik.
"Aku tidak siap. Andai saja kamu tidak melakukan hal itu padaku, masalah seperti ini tidak akan pernah terjadi," sergah Julia. Perempuan itu menatap perutnya yang masih datar itu dengan tatapan kosong. Di situ ia baru sadar kalau blazernya sudah tidak ada. "Ah, blazerku ketinggalan."
"Ada di rumahmu. Tadi sengaja aku lepas supaya kamu tidak sesak." Arjuna berkata datar.
Berbeda dengan Julia yang kini tengah meraba-raba tubuhnya dengan panik. Ketakutannya akan Arjuna yang mengambil kesempatan ketika ia tidak berdaya memenuhi pikirannya lagi.
"Aku hanya melepas blazernya. Selanjutnya membawamu ke rumah sakit, Julia," seru Arjuna acuh menjawab ketakutan Julia.
Julia melirik Arjuna dengan sinis berusaha menyembunyikan keterkejutanya. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Arjunalah yang sudah membawanya ke rumah sakit, ia tidak akan sudi satu mobil dengan Arjuna si bos brengsek. Sekali brengsek tetaplah brengsek.
"Kita langsung ke kantor saja," ujar Julia.
"Kamu tidak dengar dokter tadi menyuruhmu apa? Kamu harus banyak istirahat."
Arjuna memarkirkan mobilnya di depan restoran. Ia ingat Julia belum sarapan sama sekali.
"Aku harus kerja. Aku butuh banyak uang untuk hidup." Julia memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Bahkan mengeluarkan suarapun membuatnya lemas entah bagaimana.
Arjuna meraih tangan Julia di genggamannya.
"Menikah denganku. Behentilah bekerja. Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu," ujar Arjuna tegas menatap ke dalam mata Julia.
Julia menarik tangannya agak kasar.
"Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai."
Arjuna tahu kalau Julia masih membencinya karena kejadian itu. "Sekali lagi aku minta maaf, Julia." Arjuna melirik Julia. "Masa lalu tidak bisa diubah. Tapi masa depan masih bisa kita perbaiki. Kalaupun aku tahu kamu itu adalah...," Arjuna menghentikan perkataannya. Hampir saja ia keceplosan.
"Adalah apa? Kamu mau bilang sesuatu?" ditatapnya Arjuna.
"Mau tidak mau kamu harus menikah denganku, Julia. Untuk sekarang kita berhenti berdebat. Turunlah, kita sarapan dulu, aku tahu dari tadi kamu belum sempat sarapan."
Tbc...
Dua mangkuk mie ayam berserta dua gelas es teh tersaji di atas meja. Arjuna mencicipi bagiannya tanpa sungkan. Tadi sebenarnya Arjuna hampir mengajak Julia makan di restoran langganannya, namun Julia menolak mentah-mentah. Malahan Julia memaksanya untuk makan di sini, warung mie ayam milik Pak Budi. Di sini cukup ramai, hanya saja kebanyakan pembeli dari kalangan pelajar yang masih memakai baju putih abu-abu. Sesekali mereka terdengar heboh dengan canda tawa bagi mereka yang datang bergerombolan."Cepat dimakan!" perintah Arjuna. Julia sama sekali belum menyentuh makanannya, padahal tadi dia yang paling ngotot mengajak ke sini.Julia melirik Arjuna, lalu mengangguk. "Iya."Lima menit berlalu.Mie ayam milik Arjuna sudah habis, sedangkan Julia masih menyantapnya dengan malas. Sesekali Julia asyik melamun. Sesekali juga dia mamaksakan untuk fokus, walau tatapannya kadang terlihat kosong. Kesabaran Arjuna benar-benar diuji kali ini."Kenapa? Tidak enak?" tanya Arjuna menaikkan alis kanann
Julia berjalan was-was menuju pintu ketika mendengar seseorang mengetuk pintu dengan brutal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Julia sendiri hampir tidak pernah menerima tamu selarut ini. Biasanya kalaupun memang penting, si penamu akan menghubunginya dulu lewat telepon atau sekedar kirim pesan.Sebelum meraih gagang pintu, Julia berdoa, "semoga bukan penagih hutang." Julia juga menyempatkan diri untuk mengambil balok kayu kecil yang cukup panjang untuk memukul, di sebelah pintu. Kayu itu memang sudah dipersiapkan untuk berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya maling. Itu kata papanya.Julia membuka pintu pelan."Hai.....," kepala seseorang langsung muncul dari balik pintu."Kamu?"Tatapan mata Julia mengekor Arjuna yang main masuk begitu saja. Di tangan kanan-kiri lelaki itu juga tengah menenteng plastik lumayan besar yang berisi makanan hingga membuat plastik itu penuh. Lalu dengan santai Arjuna meletakkannya di atas meja, menatap Julia dan be
Hari Minggu pagi, Arjuna kembali berkunjung ke rumah Julia untuk yang kesekian kalinya. Ia juga menenteng dua plastik yang berisi brownies cokelat, pandan, stoberi, vanila, dan juga buah apel untuk Julia. Arjuna tidak tahu apa makanan kesukaan Julia, jadi dia hanya berharap Julia suka.Arjuna mengetuk pintu rumah Julia, namun ia agak heran melihat sepatu yang seukuran pria dewasa berada di sebelah sepatunya, di mana ia berdiri saat ini. Jelas sekali itu bukan sepatu milik Vino dilihat dari ukurannya saja sudah jelas.Arjuna mengalihkan pandangannya ketika pintu terbuka.Lima detik Arjuna masih terpaku di tempatnya."Kamu siapa?" tanya Arjuna menatap heran lelaki berkulit gelap di depannya yang tidak seharusnya membukakan pintu untuknya. Arjuna menaruh curiga. Pikirannya bertanya-tanya kenapa pintu sampai harus ditutup. Apa yang mereka lakukan di dalam. Mengapa sepi sekali.Arjuna melirik ke sana-sini, atau jangan-jangan Julia diperkosa, pikirnya."Saya Herlambang, mas ini siapa?" tanya
"Kita harus cepat-cepat menikah Julia.""Aku belum siap.""Kapan kamu siap?"Julia menarik nafas panjang. Tidak akan pernah siap.Mereka kembali terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing. Baru saja Arjuna akan mengeluarkan suaranya, namun suara seseorang dari luar mendahuluinya.Mereka menoleh bersamaan. Lalu kembali saling bertukar tatap, dengan pikiran penuh tanya. Arjuna seperti bertanya lewat isyarat mata, namun Julia menggeleng tidak tahu.Di luar terdapat tiga orang pria dengan pakaian formal dengan kemeja dan memakai jas. Sepertinya memang tamu yang ingin berkunjung ke rumah Julia. Mereka terlihat sedang celigukan mengintip dan mencari-cari pemilik rumah.Julia melirik was-was, ia menatap Arjuna, lelaki itu mengangguk meyakinkan Julia kalau tidak akan terjadi apa-apa dan dia akan menunggu Julia di belakang. Arjuna mengira mereka orang atau teman papanya Julia. Padahal Julia yakin, Arjuna dapat mengetahui sorot ketakutan dalam Julia saat ini.Arjuna terus meyakinkan Julia u
Pukul 06:00"Kak, lihat buku teks biologiku nggak?" tanya Vino. Wajah Vino menyembul dari balik pintu kamar yang terbuka. Dia sedari tadi sibuk mencari buku pelajarannya yang entah di mana dengan muka panik."Biar Kakak bantu cari," Julia berjalan masuk ke kamar Vino. Ikut mencari dengan membuka beberapa kardus yang berisi barang - barang milik adiknya itu. "Memangnya mata pelajaran hari ini biologi ya?" tanya Julia yang masih sibuk mencari. Acara pindahan yang terlalu mendadak membuat Julia tak sempat untuk menata barang - barangnya dengan baik."Iya, dan guru sudah pesan supaya hari ini membawa buku teks itu," ujar Vino sembari tersenyum. Vino berusaha bersikap santai supaya kakaknya membantu tanpa harus ikutan panik. Vino sendiri juga sangat kasihan dengan kakaknya yang hampir belum istirahat sama sekali karena sibuk mengurus barang - barang yang akan dibawa.Hari ini adalah hari pertamanya Julia menempati rumah kontrakan barunya. Kemarin dia dibantu Arjuna dan beberapa orang suruha
Hari ini pertama kalinya Julia bekerja di toko Dewa. Pagi sekali Julia sudah sangat sibuk. Julia mulai menyiapkan sarapan berdua untuk dirinya dan Vino, juga mempersiapkan diri untuk tampil kerja secara maksimal. Rencananya Julia akan memesan ojek online, tetapi ketika ia dan Vino hendak sarapan tiba-tiba Arjuna muncul dan menawarkan untuk mengantar mereka. Lalu dengan terpaksa Julia mengiyakan ajakkan dari Arjuna. Di perjalanan mereka hampir tidak bersuara sama sekali. Hanya Vino yang sesekali mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu canggung. Julia akan menjawab pendek, sedangkan Arjuna akan berbicara seperlunya saja. Setelah Vino turun dari mobil dan melangkah menuju kelasnya, Julia dan Arjuna kembali dirundung sepi di dalam mobil. Arjuna melirik Julia yang duduk di sampingnya, samping kursi pengemudi. Julia memakai kaos seragam bewarna merah dengan kerah di leher, dan dipadu celana chinos bewarna kream. Santai sekali. Menurut Arjuna itu agak aneh, karena Arjuna terbiasa m
Seorang perempuan berjas putih tampak berjalan anggun dengan pandangan lurus ke depan. Rambutnya pendek seleher berjuntai lurus. Kulitnya putih bersih. Bibirnya bewarna merah dengan senyuman yang merekah. Perempuan itu tampak berbicara dengan salah satu karyawan De Wallin Bakery. Lalu sesekali ia tampak melirik ke arah Julia. Di tengah kesibukannya menata beberapa roti, Julia tahu kalau ada yang memperhatikannya dari tadi. Dia melirik perempuan itu dengan cuek. Julia tidak mengenalnya. Jadi biarkan saja. Beberapa menit kemudian perempuan tadi berjalan lurus menghampiri Julia. Ia berhenti dan menatap Julia dengan tatapan menilai. Julia menghentikan kegiatannya. Berdiam mematung, menatap perempuan itu bingung. "Kamu siapa?" tanya perempuan itu. Merasa terpanggil, Julia berusaha memberikan senyuman ramahnya. "Saya Julia, Mbak. Karyawan baru di sini," jawabnya. "Kamu sudah interview?" tanya perempuan itu. "Sudah, Mbak." "Kapan kamu interview?" Julia hendak menjawab. Tetap
"Dewa, aku masih penasaran sama kamu. Apa yang udah ngebuat kamu menerima dia jadi karyawan kamu?" Cellin baru saja masuk ke ruangan Dewa, tetapi perempuan itu sudah memberondong dengan segelintir pertanyaan panjang. Pertanyaan beberapa hari lalu yang belum sempat dijawab Dewa dengan jelas. "Kamu masih mau bahas itu lagi?" Dewa hanya menoleh cuek. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Cellin berdiri sambil bersedekap di depan Dewa yang tengah berkutat pada pekerjaannya. "Kan kemarin kamu ngehindar terus, Wa. Aku cuma nanya," sungut Cellin. "Dia lagi nganggur. Dan lagi butuh pekerjaan banget. Kebetulan kitakan lagi butuh karyawan, jadi ya aku terima dia jadi karyawan kita." Jelas Dewa dengan sabar. "Bener? Kamu nggak ada tujuan lainkan?" Dewa menghela nafas beratnya. Sebelumnya, Cellin bukanlah perempuan pecemburu. Dia tidak mudah terpedaya. Tetapi ini baru pertama kalinya Cellin terlalu repot mengusutnya sampai sejauh ini. Dewa tertawa dalam hati, mungkin karena Julia itu s