Share

10. Positif Hamil.

Pukul sembilan pagi.

Seharusnya Arjuna masih berada di kantor. Berkutat dengan beberapa dokumen penting yang harus segera diteliti dan ditanda tangani. Tetapi akal budinya tak bisa diajak untuk fokus. Otaknya terus meneriakkan sebuah nama, Julia. 

Tapi tidak untuk pagi ini. Kali ini untuk yang kedua kalinya ia datang berkunjung ke rumah Julia.

Arjuna cuma ingin memastikan kalau Julia baik-baik saja. Karena di kantor ia tidak melihat kehadiran Julia, dan Julia juga tidak mengkonfirmasi perihal dia tidak masuk hari ini. Hal itu membuat Arjuna agak was-was.

Tidak ada satupun yang tahu kalau Arjuna datang ke sini. Termasuk Ruben. Dia hanya bilang kepada Ruben bahwa ia memiliki urusan sebentar, lalu pergi ke luar. 

Pintu tidak terkunci saat Arjuna hendak mengecek rumah Julia yang sepi tersebut. Bisa dipastikan si pemilik rumah ada di dalam. Tanpa permisi Arjuna main masuk begitu saja. Dirinya berharap tak akan ada orang yang menuduhnya pencuri jika ketahuan masuk ke rumah orang sembarangan. 

"Julia?" panggil Arjuna pelan. Ia masih ingat sopan-santun untuk tidak berteriak di rumah orang lain. Sembari melangkahkan kakinya, pandangannya menyapu seluruh isi ruangan. 

Ruang tamu sepi. Arjuna mencari keberadaan Vino yang siapa tahu berada di rumah. Sepi. Berarti Vino sedang berada di sekolah. Nihil. Rumah ini kosong. 

"Julia, apa kamu di rumah?" panggil  Arjuna sekali lagi, dengan agak menaikkan sedikit volume suaranya. 

Arjuna terus berjalan mondar-mandir. Ia sudah memeriksa hampir semua ruangan, tetapi tetap saja kosong tak ada orang. 

Apakah dia sedang tidak ada di rumah? Tetapi kalau dia pergi, kenapa pintunya tidak dikunci? pikir Arjuna. 

Satu-satunya tempat yang belum diperiksanya adalah dapur. Arjuna terus berjalan mencari letak dapur di dalam rumah yang masih asing ini. Sampai langkah kakinya berhenti ketika ia menemukan Julia yang tengah duduk di kursi membelakanginya.

Julia terlihat sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Blouse yang dilengkapi dengan blezer juga rok span di atas lutut.

Arjuna menghampiri Julia dengan tergesa. Hatinya tiba-tiba merasa senang karena telah berhasil menemukan Julia. Perempuan itu terlihat seperti tertidur. Arjuna mencoba membangunkan Julia dengan cara menepuk bahunya pelan, tetapi perempuan itu tidak kunjung bereaksi apapun. Membuat Arjuna heran. 

"Julia? Hei bangun. Kamu kenapa?" Arjuna mengguncang tubuh Julia pelan. Gadis itu tetap tak sadarkan diri. Dan itu membuat Arjuna langsung diserang perasaan khawatir. 

Astaga apakah dia pingsan, berapa lama dia pingsan di sini? 

Arjuna menyusuri benda apapun yang dapat menolong Julia. Dan secara acak matanya menangkap keberadaan minya kayu putih di atas meja dapur. Keberuntungan yang sangat kebetulan sekali. Arjuna segera mengambilnya dan menguapkan aroma minyak kayu putih itu ke indra penciuman Julia. Seketika Julia tersadar, namun kondisinya masih terlalu lemah. 

Aku harus membawanya ke rumah sakit, pikir Arjuna.

***

Arjuna menatap lurus jalan raya di depannya. Berusaha untuk fokus menyetir. Tetapi fikiran setengahnya buyar. Ia teringat pernyataan dokter tadi kalau Julia sedang hamil muda. Sesuai prediksi Arjuna. Kejadian itu juga sudah lewat berminggu-minggu.

"Kita harus segera menikah," ujar Arjuna memecah keheningan.

Perkataannya bagaikan pernyataan yang tak boleh dibantah. Arjuna membanting stir dengan lihai setelah lampu hijau di perempatan menyala. Menjalankan mobilnya dengan stabil mengingat ada seorang perempuan yang tengah hamil muda di sampinya. 

"Menikah?" Julia yang berada di samping kemudi menatap Arjuna dengan tatapan yang sulit diartikan, "aku belum mau menikah secepat ini, dan kalaupun saya menikah bukan dengan anda," tolak Julia cepat. Ia memasang wajah benci untuk Arjuna. 

"Tapi kamu hamil Julia. Perut kamu bakal membesar." Arjuna menangkap ekspresi Julia yang terlihat kesal, "bayangkan bagaimana pendapat masyarakat yang menilaimu nanti. Hamil di luar nikah." Perkataan Arjuna itu penuh penekanan dan cemooh. Sehingga Julia merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali menampar lelaki di sebelahnya saat itu dengan membabi buta. 

Kenapa perkataan Arjuna terkesan memojokkanya. Kenapa dirinya juga ikut disalahkan atas hal yang bukan kehendaknya. Kenapa dunia seolah tak adil padanya. Di sini Julia adalah korban. Dan Arjuna adalah pelaku. Dalam kasus seperti ini selalu saja korban yang selalu dirugikan secara mental dan emosional. 

Padahal bisa saja Julia meraporkan Arjuna atas tindakan pemerkosaannya waktu itu dan masalah akan selesai. Tidak, tidak semudah itu. Akan ada banyak orang di luar sana yang akan mencemoohnya, dan tapi tidak sedikit orang juga akan bersimpati padanya. Hanya saja dalam posisi seperti ini Julia, si korban pemerkosaan tidak butuh rasa simpati dari orang lain. Belum lagi seandainya si anak itu lahir dia juga akan mendapat beban mental karena orang tua yang tidak jelas. 

Julia hanya berharap semuanya baik-baik saja. Semoga. Dan semoga dia kelak bisa membesarkan anaknya dengan baik. 

"Aku tidak siap. Andai saja kamu tidak melakukan hal itu padaku, masalah seperti ini tidak akan pernah terjadi," sergah Julia. Perempuan itu menatap perutnya yang masih datar itu dengan tatapan kosong. Di situ ia baru sadar kalau blazernya sudah tidak ada. "Ah, blazerku ketinggalan."

"Ada di rumahmu. Tadi sengaja aku lepas supaya kamu tidak sesak." Arjuna berkata datar.

Berbeda dengan Julia yang kini tengah meraba-raba tubuhnya dengan panik. Ketakutannya akan Arjuna yang mengambil kesempatan ketika ia tidak berdaya memenuhi pikirannya lagi.

"Aku hanya melepas blazernya. Selanjutnya membawamu ke rumah sakit, Julia," seru Arjuna acuh menjawab ketakutan Julia.

Julia melirik Arjuna dengan sinis berusaha menyembunyikan keterkejutanya. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Arjunalah yang sudah membawanya ke rumah sakit, ia tidak akan sudi satu mobil dengan Arjuna si bos brengsek. Sekali brengsek tetaplah brengsek.

"Kita langsung ke kantor saja," ujar Julia.

"Kamu tidak dengar dokter tadi menyuruhmu apa? Kamu harus banyak istirahat."

Arjuna memarkirkan mobilnya di depan restoran. Ia ingat Julia belum sarapan sama sekali.

"Aku harus kerja. Aku butuh banyak uang untuk hidup." Julia memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. Bahkan mengeluarkan suarapun membuatnya lemas entah bagaimana. 

Arjuna meraih tangan Julia di genggamannya. 

"Menikah denganku. Behentilah bekerja. Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu," ujar Arjuna tegas menatap ke dalam mata Julia.

Julia menarik tangannya agak kasar. 

"Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai."

Arjuna tahu kalau Julia masih membencinya karena kejadian itu. "Sekali lagi aku minta maaf, Julia." Arjuna melirik Julia. "Masa lalu tidak bisa diubah. Tapi masa depan masih bisa kita perbaiki. Kalaupun aku tahu kamu itu adalah...," Arjuna menghentikan perkataannya. Hampir saja ia keceplosan.

"Adalah apa? Kamu mau bilang sesuatu?" ditatapnya Arjuna.

"Mau tidak mau kamu harus menikah denganku, Julia. Untuk sekarang kita berhenti berdebat. Turunlah, kita sarapan dulu, aku tahu dari tadi kamu belum sempat sarapan." 

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status