Jam 6 pagi aku terbangun, tanganku meraba ke badan di sampingku. Aku merasa Drey sudah bangun dari tidurnya, dugaanku benar. Aku mengeryit dahi ketika tidak ada Drey, hanya ada satu lembar kertas putih bertulis pesan entah apa.
Aku mulai membaca kertas itu, mataku menyipit khas orang bangun tidur. "Maaf, Ryn. Aku berangkat ke kampus sangat pagi. Ada sesuatu yang membuatku harus berangkat pagi. Anna memintaku untuk bertemu di kampus. Aku hanya membantu Anna karena dia sekarang menjadi dosen baru."
Sepagi ini Drey berangkat ke kampus hanya untuk membantu Anna?
Aku merobek-robek kertas itu menjadi kepingan kertas yang tidak terbentuk. "Huh." Aku menghela napas kasar dengan bibir cemberut.
Anna lagi dan L A G I.
Kenapa, sih! Drey sekarang berubah, lebih mementingkan Anna daripada aku. Haruskah aku mencoba untuk lebih sabar lagi?
Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi, aku masih memikirkan Drey dengan Anna. Drey semakin menjauh dari
Aku melamun, menompangkan daguku. Aku sadar sejak tadi sahabatku, Viola dan Jessica memandang punggungku dari jauh dengan ekspresi penuh curiga.Bagaimana tidak curiga? Yang biasanya di kampus selalu bersikap calm down tiba-tiba aku berubah menjadi Auryn suka melamun dan sering diam di kelas. Satu kelas saja menyadari perubahanku, mereka selalu bertanya kepadaku."Ada apa?""Apa kamu baik-baik saja?""Kamu punya masalah?""Ayo katakanlah, jangan dipendam sendiri, Ryn."Aku menjawab hanya gelengan kepala dan senyuman palsu dari bibir pucatku. Aku dulu ramah senyum, sekarang menjadi cuek dengan orang sekitar. Aku kemarin sengaja bolos mata kuliah, moodku buruk!Viola mendengar kabar dari mahasiswa lain, bahwa aku datang ke ruangan dosen Drey tapi setelah itu wajahku tampak sendu berjalan keluar kampus. Viola Dan Jessica tahu, hubunganku dengan Drey sangat dekat hingga menikah, tapi siapa sangka semua berubah semenjak menikah.
[ Author POV ]Selesai memberi materi kepada mahasiswa. Drey kembali ke ruangannya dan duduk di kursi, merebahkan badannya untuk mengambil waktu istirahat. Perut kosong karena sejak tadi pagi belum mengisi perutnya. Rasanya tidak napsu untuk sarapan. Sekarang cacing di perut mulai berdemo. Jadi, Drey tidak perlu menunggu perut sakit baru makan. Rasa lelah dan lapar, dia hempasan jauh dari perasaan bayang-bayang Anna mulai mengusik pikirannya. Drey akui, dia masih memikirkan wanita itu. Wanita yang menjadi cinta pertamanya dan dulu berjanji akan menikah.Anna memilih menempuh pendidikannya di Inggris dan terpaksa meninggalkan Drey, sementara Drey kuliah di Jakarta.Beribu pertanyaan membentuk gundukan piramid yang tidak berujung. Hingga sebuah pertanyaan, kenapa memilih menikah dengan Auryn bukan Anna? Setiap kali Drey melihat Auryn, dia teringat dengan seseorang, namun Drey sudah berusaha melupakan Anna. Tetapi cintanya bersemi kembali kala ke
Aku merasa Drey tidak akan mengakhiri pernikahan kita, pernikahan baru berjalan satu minggu. Tidak mungkin Drey meminta cerai secepatnya. Sementara Drey dan Aku tidak ingin menyakiti ibuku dan ibunya. Bila kita berpisah, bukan hanya aku yang tersakiti, namun Ibu Drey.Ngomong-ngomong, umurku masih 20 tahun, sedangkan Drey 25 tahun. Drey lebih tua dariku. Sekarang, aku kuliah jurusan psikologi dan Drey menjadi dosen departemen ekonomi.“Drey ..." panggilku. "Kamu sudah pulang?” Mataku sudah berkaca-kaca melihat Drey pulang ke rumah.Aku menyambut kedatangan Drey yang baru saja masuk ke kamar dan meletakan tas punggung. Wajahnya terasa lelah dan letih itu menoleh ke arahku.Dheg. Aku tercengang melihat sorot mata Drey. Tatapannya sangat berbeda dan lebih dingin. Aku terpaksa menarik sudut bibir membentuk senyuman.
“Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, ya, Ryn!” pesan Drey kepadaku saat kita sudah berdiri di halaman kampus. “Hari ini aku nggak ada jadwal mengajar di kampus kok, Ryn. Jadi, sedikit banyak waktu luang.”Aku mengangguk paham. Rumah tangga kita adem ayem. Aku pikir, Drey sebisa mungkin memperhatikan dan peduli denganku. Mungkin satu alasan, aku istrinya. Sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab suami."Oke, deh. Aku ke kelas dulu, ya."Drey mengecup keningku lalu. “Jangan kebanyakan melamun, kuliah dengan serius supaya cepet wisuda,” nasihat Drey Dan menyentil dahiku dengan jarinya."Aw ..., Sakit," ringisku sembari mengelus keningku."Sudah sana, kamu ke kelas," usir Drey.Aku mengangguk dan meninggalkan Drey di sana. Baru saja berjalan lima langkah, ada seseorang yang memanggil namaku. Aku hapal siapa gerangan pemilik suara yang memanggilku.“Kenapa Drey?” tanyaku bingung. Drey menghampiriku. Berdiri dihadapanku.Drey menyo
Lima belas menit berlalu .... Belum ada tanda-tanda Profesor psikolog Pak Raffa tak kunjung datang. Hingga menit ke dua puluh, ada seseorang masuk ke kelas. Sontak seluruh mahasiswa yang berada di kelas seketika menghentikan kegiatan mereka.“Selamat pagi semua!”Selamat pagi? Tumben sekali Profesor Raffa mengucapkan selamat pagi, biasanya datang selalu menyapa dengan, apakah kalian sudah siap dengan materi hari ini? Eh bentar, suara Profesor Raffa berubah menjadi lembut? Jangan-jangan yang datang seorang bidadari? Eh ralat, maksudnya seorang wanita.Tapi siapa?Jessica menyenggol lenganku. “Angkat kepala, Ryn. Liat di depan siapa yang masuk ke kelas kita,” bisik Jessica.Aku menurut, sesaat badanku kaku melihat wanita di depan sana. Kak Anna, kenapa dia masuk ke kelas ini? Kenapa harus bertemu di saat aku berusaha menyembuhkan luka hatiku dan belajar menjadi istri yang baik. Rasanya seperti ada busur panah menusuk hatiku, wanita yang aku sengaja menjau
Kelas sudah selesai lima menit lalu. Aku mengingat perkataan Drey, dia bilang kepadaku jika kelas selesai menghubunginya. Baiklah, aku akan meminta Drey pulang bersama.“Sayang, kamu dimana? Jadi pulang bersama?” tanyaku ketika sambungan telepon tersambung. Dia berdiri di tepi halaman fakultas psikolog. “Kelasku sudah selesai nih," tambahku.Drey menjawab sangat lama, aku tetap menunggu jawaban darinya. Detik ke sepuluh, Drey menjawab, “Maaf, Ryn. Tiba-tiba aku ada urusan di luar jam kuliah, nggak bisa pulang bersama. Nanti aku pesenin go car aja, ya?”Kakiku mendadak berdiri lemas seakan tidak kuat menompang tubuhku. Urusan mendadak? Umm... Aku menjadi penasaran.“Urusan apa, Drey?” tanyaku kepo. Sejujurnya, aku ingin pulang bersama dengan Drey. Tapi ... Ah sudahlah, tidak apa.“Pokoknya ada urusan. Aku pesankan go car sekarang, ya,” jawab Drey cepat.Aku mendengar jelas suaranya seperti sedang teramat buru-buru dan ingin memutuskan panggil
“An?” panggil Drey mencari ke sudut ruangan apartement tapi Anna tidak kunjung keluar. “Di mana kamu?” Mata Drey mengedar sampai melihat seseorang keluar dari kamar mandi.Di sana Añna hanya memakai handuk. Drey tidak berkedip memandangi Anna, sedangkan Anna menghampiri Drey.“Kamu pindah ke apartemen?” tanya Drey ketika sadar Anna telah membawa semua barang ke apartemen, sekarang Anna tidak lagi tinggal bersama orang tuanya. “Kenapa?”“Aku hanya ingin hidup sendirian," jawab Anna.Drey menunjuk barang-barang tergeletak di lantai. “Apa yang telah kamu lakukan? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Drey khawatir.Anna mengangguk singkat. “Ya, aku sudah tenang setelah bertemu denganmu,” jawabnya.“Aku sudah ada di sini, ceritakan apa yang terjadi denganmu?”“Karena aku merindukanmu. Aku ingin berkencan denganmu.”Kencan? Mata Drey membelalak kemudian mengacak rambut frustasi. Bingung, perasaan campur aduk, jujur dia mencintai Anna tapi ....
Setelah pulang dari kampus, aku menyibukan diri di dapur. Bahan-bahan sudah tersedia lengkap di atas meja, tinggal siap di olah dan di masak. Dengan penuh semangat, aku mulai memasak untuk suamiku tercinta.Rumah ini sangat luar biasanya indah dengan dekorasi unik dan dinding berwarna biru.Kalau mengingat beberapa hari yang lalu, aku, aku nyaris merasa bahwa diriku baru saja menempati rumah baru Drey. Aku bahkan belajar membuat kue-kue kering yang dipanggang dan menyiapkan banyak makanan.Setiap Drey pulang telat, aku selalu menyambut hangat. Aku memeluknya, walaupun dia tidak membalas pelukanku, hanya sorot mata dingin dari Drey. Aku pikir, Drey sedang berada dalam masalah, mungkin masalah pekerjaan. Saat Drey dengan begitu saja mengabaikanku, aku berdiri tidak berkutik."Tidak apa-apa, jangan cemas," lirihku. Tapi saat itu suaraku bergetar.Kejadian itu terjadi beberapa hari yang lalu.