Share

2

Chapter 2

"Bukankah kau sudah... Ah! Apa apaan ini?!" teriak Jeffrey menunjuk wajah wanita di depannya.

Wanita itu mengernyit dalam. Apanya yang salah sampai sampai pria di depannya berteriak tidak jelas seperti itu.

"Maaf? Kau mengenalku?" tanyanya

Jeffrey terduduk lemas bersandar mobilnya, "Jadi kau mati suri?"

"Hah?!" wanita itu tidak habis pikir. Sejak kapan dirinya mati?

"Aku hampir gila karena memikirkanmu! Gaun pengantinmu tiba tiba di dalam lemariku, dan tadi tidak ada catatan apapun tentangmu di rumah sakit,"

"Gaun pengantin? Mati suri?"

Wanita itu cukup takut dengan Jeffrey. Bagaimana tidak, tiba tiba ia dituduh mati suri, lalu disangkut pautkan dengan gaun pengantin. Apa masalah pria di depannya ini. Buru buru ia memungut sisa belanjaan yang berserakan dan berlari tunggang langgang dari Jeffrey.

Sedangkan Jeffrey hanya bergumam, "Tidak ada kata terimakasih? Bagus,"

Jeffrey melanjutkan perjalanannya pulang. Di rumah, ia membuka lemari dan gaun pengantin itu masih di sana. Ia sempat berfikir ada kekuatan magis atau apapun hingga gaun ini bisa tiba di rumahnya. Sedetik kemudian ia mengangkat bahunya acuh. Ia tidak peduli apapun dan kembali ke kehidupan monotonnya.

Seminggu berlalu...

Jeffrey telah resmi menggantikan tuan Zhong CEO sebelumnya. Tugasnya kini cukup ringan karena tidak sebegitu padat biasanya ia membuat tumpukan laporan. Selain itu pekerjaannya juga akan dibantu oleh skretaris yang terlihat masih muda dan menarik. Pantas saja tuan Zhong betah berlama lama menjabat CEO.

Baru saja terlintas di benaknya gambaran Rosie sekertaris tuan Zhong yang sekarang jadi sekertarisnya, kini wanita itu mengetuk pintu ruangan pribadinya sebelum Jeffrey mempersilahkan masuk.

Wanita itu menyerahkan stopmap dengan tatapan bersalah.

"Surat pengunduran diri?" tanya Jeffrey setelah membuka stopmap yang Rosie beri.

"Maaf, bukannya aku tidak ingin menjadi sekertarismu, tapi aku berani bersumpah, baru tadi malam suamiku memintaku untuk berhenti bekerja,"

"Kenapa?"

"Kandunganku memasuki bulan ke 4,"

Jeffrey mengerjapkan matanya. Rosie terlihat masih muda untuk mengandung.

"Setidaknya bekerjalah untukku sampai aku mendapat sekertaris baru," ucap Jeffrey pada akhirnya.

Rosie mengangguk setuju dan meninggalkan ruangannya.

Kini wanita itu kembali duduk di mejanya dan berkutat dengan schedule Jeffrey yang akan datang. Rosie menghembuskan nafas kasar. Seharusnya ia akan pulang dan bermanja dengan suaminya saat ini. Tapi nyatanya ia kembali disibukkan dengan ribuan huruf yang mengganggu pikirannya.

"Jadwal laporan jadwal laporan, ah malas sekali," gerutu Rosie

"Kenapa tidak pulang? Kukira kau ke ruangan CEO untuk meminta pengunduran diri," ucap Lalice, teman Rosie yang bekerja di bagian editing.

"Aku tetap bekerja sampai dia punya sekertaris baru," ucap Rosie merengut.

Alih alih memberi solusi terlebih dulu, Lalice malah tertawa melihat Rosie yang sudah tidak punya semangat kerja. 

"Kalau menunggu lowongan, Jeffrey akan melakukan seleksi yang membuatmu lebih lama di sini," ucap Lalice memegangi perutnya yang masih keras karena tertawa.

Benar yang dikatakan Lalice. Jeffrey tidak akan serta merta percaya begitu saja dengan orang asing yang bahkan siapapun tidak mengenalnya. Siapa tahu nantinya ia tidak bekerja sesuai target dan tidak bijaksana saat bekerja, ia bisa rugi.

Rosie terlihat berpikir, "Jadi aku harus mencari pengganti?"

"Benar,"

"Bagaimana kalau kau saja. Kenaikan pangkat," ucap Rosie mengedipkan matanya.

"Tapi aku cinta tugasku yang sekarang. Kenapa kau tidak menyeret Yuna saja?"

"Yuna? Kadang aku berpikir, kapan ia beristirahat? Mengurus rumah, mengurus adiknya, neneknya, belum lagi jika ia harus bekerja,"

Diantara 2 orang sahabatnya, hanya Yuna yang tidak bergabung di perusahaan yang sama dengannya maupun Lalice. Satu satunya alasan adalah karena pada saat Lalice dan Rosie melamar pekerjaan ini, Yuna masih enggan bekerja dan merawat adiknya yang baru berumur 1 tahun. Terlebih orang tuanya baru saja meninggal 3 bulan sebelumnya. Meski begitu, mereka tetap saling menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan jalan atau makan bersama.

Lalice mengangguk, "Dengan begitu ia bisa lebih mencukupi kebutuhan keluarganya kan?"

"Benar! Pulang kerja nanti aku akan mampir ke rumahnya. Kau mau ikut?"

"Harus!"

###

"Ayolah Yuna, kau tidak kasihan dengan Rosie? Kandungannya memasuki bulan ke-4 dan kau tega melihatnya kelelahan bekerja?"

Tak henti hentinya Lalice membujuk Yuna untuk menerima tawaran Rosie. Yuna sendiri selalu beralasan ia nyaman dengan pekerjaannya sekarang menjadi buruh di pabrik swasta. Padahal siapapun tau, pekerjaan Yuna terbilang cukup kasar dengan upah relatif rendah.

"Ah, baiklah baiklah. Aku menerima tawaran ini. Tapi kalau tuan CEO menolak, aku tidak akan kembali menginjakkan kakiku di sana," ucap Yuna pada akhirnya.

Baik Lalice maupun Rose, mereka berdua bersorak riang dan memeluk Yuna hangat.

"Untuk merayakannya kita—"

"Rayakan saat aku sudah gajian saja. Aku tidak ingin menghambur hamburkan uang sebelum itu," ucap Yuna menyela Rosie.

Rosie mengusap tengkuknya canggung. "Maaf,"

Hari semakin larut. Lalice dan Rosie memutuskan untuk pulang.

"Ingat, besok pukul 10 pagi jangan sampai terlambat. Berpakaianlah semenarik mungkin," ingat Rosie.

"Siapa tahu tuan CEO akan jatuh hati denganmu," timpal Lalice.

Yuna hanya tersenyum menanggapi. Sudah biasa kedua sahabatnya mengolok oloknya seperti itu.

"Hati hati di jalan!"

Paginya, Yuna cukup bersemangat menyambut hari ini. Ia menyiapkan sarapan, mandi, kemudian duduk di depan meja riasnya.

"Ada beberapa yang sudah menjamur, apa tidak papa?" gumam Yuna.

Pada akhirnya ia tetap menggunakan make up yang berjamur itu karena tidak ada pilihan lain. Berharap semoga kulitnya tidak rusak.

"Kakak mau kemana? Tidak kerja?" tanya Hendery, adik Yuna yang berumur 5 tahun.

Mungkin karena ia melihat kakaknya bersolek. Biasanya jika hanya pergi bekerja Yuna tidak pernah berdandan dan selalu tampil biasa. Tapi kali ini, ia mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok span hitam selutut, ditambah high heels milik ibunya, ia terlihat dewasa dan anggun. Terlebih saat ia mengoles tipis lilstick merah hati di bibirnya yang penuh. Rambutnya ia ikat bawah supaya terlihat rapi.

"Ini kakak mau berangkat. Jaga nenek ya," ucap Yuna mengecup kening adiknya sekilas, kemudian berpamitan dengan neneknya. 

Gadis itu berjalan menyusuri trotoar untuk ke halte terdekat. Mulutnya tidak berhenti bergumam tentang apa apa saja yang sudah ia bawa.

Yuna mendengus, "Sepertinya sudah lengkap. Ya tuhan berikan kelancaran untuk ini. Amin,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status