Share

3

Chapter 3

"Tenang saja bos. Kau tidak akan kecewa dengan ini. Dia gadis yang bertanggung jawab dan punya etos kerja yang tinggi," ucap Rosie menggebu gebu di ruangan CEO.

Jeffrey mengangguk sekilas, "Aku penasaran dengan pilihanmu. Sebagus itukah dia?"

"Tentu saja! Kalau tidak bagus, aku tidak akan mengajaknya turut serta ke sini,"

Suara telepon kantor berbunyi nyaring, sudah bisa di tebak, pasti dari resepsionis.

"Ya?"

...

"Bawa langsung kemari,"

Rosie menatap Jeffrey curiga, "Dari siapa?"

"Resepsionis. Sebentar lagi ia akan datang. Kembalilah ke tempatmu. Untuk selanjutnya aku akan kembali memanggilmu kemari,"

"Siap bos,"

Rosie berjalan menuju biliknya kembali. Dalam hati ia berharap semoga Yuna lolos interview dan diterima saat ini juga.

"Psstt, gimana?" kepala Lalice menyembul melihat Rosie yang nampak gelisah.

"Semoga lancar. Sepertinya sekarang interview sedang berlangsung," ucap Rosie.

Lalice mengangguk paham. Ia juga berharap Yuna diterima di sini. Melihat kondisinya maupun keluarganya, ia cukup prihatin. Yuna jelas menekan keuangan di rumahnya untuk bertahan hidup. Bohong jika ia mengatakan semua baik baik saja.

Di sisi lain, Yuna melangkah mengikuti resepsionis dengan gugup. Lebih tepatnya, ia tidak sabar melihat seperti apa wajah bosnya. Dia tidak naif. Itu normal. Dari yang Rosie bilang kemarin, CEO nya berumur 25 tahun.  Cukup muda bukan? Sedang Yuna sendiri baru berusia 22 tahun.

Resepsionis mengetuk pintu ruangan bosnya hingga muncul kata 'masuk' dari dalam.

"Semoga berhasil," ucap Resepsionis menepuk pundak Yuna pelan.

Perlahan, gadis itu membuka pintu. Ditatapnya sang CEO yang tengah sibuk dengan laptopnya. Pandangan mereka bertemu saat Jeffrey mendongak.

"Pengantin?!" teriak Jeffrey

Yuna mematung di tempat. Lagi lagi pria itu memanggilnya pengantin. Oh ayolah, dia masih lajang. Sedetik kemudian Jeff menggeleng pelan dan mempersilahkan Yuna masuk.

"Ini, berkas berkas beserta identitas saya," ucap Yuna menyerahkan stopmap biru.

"Umur 22?"

"Benar tuan,"

"Terlalu muda untuk mati. Syukurlah ternyata kau mati suri,"

Oke, sudah cukup Yuna pusing. Ia memberanikan diri memberi penjelasan kepada bos nya.

"Mohon maaf sebelumnya. Saya belum pernah mati dan saya belum pernah menikah. Bahkan saya tidak punya kekasih," ucap Yuna pelan di akhir.

"Well, bagus. Kekasih hanya akan menghambat pekerjaanmu. Punya pengalaman?"

"Tidak, saya bekerja di pabrik tekstil sebelum ini,"

Jeffrey mengangguk, ia melempar beberapa pertanyaan dan syukurlah Yuna bisa melaluinya dengan lancar. Akhir kata, Jeffrey menjabat tangan Yuna.

"Bekerjalah mulai sekarang. Sepertinya Rosie sangat ingin bermanja dengan suaminya. Tunjukkan yang terbaik hari ini dan seterusnya supaya aku bisa mempercayaimu. Good luck,"

"Terimakasih pak,"

Yuna segera memulai mengerjakan tugasnya. Awalnya gadis itu merasa kesulitan karena pengetahuannya tentang 'digital' cukup minim. Tapi dengan senang hati Lalice meluangkan waktunya untuk mengajari beberapa cara mengoperasikan komputer. Sedang Rosie sudah pulang sejak posisinya digantikan oleh Yuna. Ia keluar kantor dengan sedikit berjingkat yang berakhir mendapat pelototan dadi Lalice dan Yuna karena tidak memperdulikan janin dalam kandungannya.

"Ini, rumus excel. Cepat atau lambat kau akan membutuhkannya," ucap Lalice menyodorkan buku kecil berisi rumus rumus Ms. Excel. 

"Ah, terimakasih. Bekerja seperti ini jauh melelahkan dari pabrik," bisik Yuna.

Lalice sedikit tergelak, "Kalau sudah mahir pasti nyaman kok. Jauh lebih baik dari bekerja serabutan,"

Yuna tersenyum kecut. Padahal dirinya waktu bekerja di pabrik tekstil sudah menjadi karyawan tetap. Hari ini ia mengambil cuti di pabrik untuk melakukan interview. Berjaga jaga siapa tau nanti tidak sesuai ekspektasi jadi ia tetap bisa bekerja di pabrik.

###

Hari ini tidak terlalu melelahkan bagi Yuna. Jeffrey tidak ada pertemuan yang harus melibatkan dirinya, dan sepanjang hari ia hanya duduk di depan komputer. Beruntung ia punya teman —orang dalam— yang bisa membawanya masuk ke perusahaan besar hanya dengan ijazah SMA.

Yuna berjalan pelan menuju rumahnya. Yah sekarang pukul 4 sore. Sengaja gadis itu tidak naik angkot, lagipula sedari tadi ia hanya duduk di kursi dalam ruangan sejuk. Katakan saja berolahraga. Dirinya bisa lemas jika sepanjang ia bekerja hanya duduk dan menatap komputer.

"Hey Yuna!"

Gadis itu berbalik, mendapati bosnya tengah berlari ke arahnya. Ia menghela nafas kasar, bahkan sudah siap jika tiba tiba bosnya mengamuk. Bukannya Yuna berbuat salah, tapi biasanya bos memanggil untuk 2 hal. Buruk atau baik.

"Ada apa bos?" tanya Yuna.

Jeffrey masih terengah engah, "Huh... Sebentar biarkan aku bernapas,"

Kemudian ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, "Baik. Jangan panggil aku bos. Kita tidak berada di kantor. Kau paham?"

"Lalu?"

"Panggil Jeff. Aku tau umur kita berbeda 2 tahun. Tapi, terdengar akrab kan?"

Yuna mengangguk paham, "Kenapa kau berlarian?"

"Ah! Benar. Mau makan malam denganku?" tawar Jeffrey.

"Sebagai salam perkenalan. Kau sekertarisku dan kita akan sering bersama. Aku tidak ingin mati canggung dengan sekertarisku," lanjutnya.

Yuna tersenyum ringan. Rupanya Jeffrey tidak mau Yuna salah paham. Tanpa ragu dan karena alasan pengakrab-an diri, Yuna mengangguk dan mengikuti Jeffrey yang berjalan di depannya.

"Tadi aku sudah memesan makanan di sana," tunjuk Jeff di sebuah tempat makan cepat saji.

"Lalu aku melihatmu, jadi ku ajak sekalian saja," lanjutnya.

"Begitu? Terimakasih,"

Jeffrey mengernyit, "Untuk apa?"

"Telah mengajakku bergabung,"

Jeffrey tergelak sesaat. Ia berjalan mundur untuk melihat Yuna dengan jelas. Sudah cukup lama ia merasa kesepian seorang diri. Tapi kini, ia bahkan tidak menyangka gelak tawanya kembali. Yuna sangat polos di matanya.

"Jangan berjalan mundur," ucap Yuna

"Kenapa?"

"Kalau jatuh kau sendiri yang malu,"

Lagi lagi Jeffrey terkikik. Ia berjalan sejajar dengan Yuna dan mengamati gadis itu dari samping.

"Sangat mirip," gumam Jeffrey.

"Siapa yang mirip?"

Jeffrey menggeleng dan menunjukkan meja tempat makanannya. Ia membiarkan Yuna untuk memesan beberapa makanan atau minuman.

"Apa yang kau lihat saat mati? Bagaimana bisa hidup lagi?" tanya Jeffrey.

Yuna mendesah gusar, "Sudah cukup kau menuduhku mati suri lah, pengantin wanita lah. Aku sudah bilang tadi, aku belum pernah menyentuh gaun pengantin, dan aku belum pernah merasakan mati. Tidak perlu jauh jauh, bahkan aku belum pernah pingsan,"

"Jangan mengelak Yuna, jelas jelas aku yang membawamu ke rumah sakit. Kau menyuap mereka?"

"Menyuap? Untuk apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status