Share

Episode 2-Ketahuan

Kekesalan hati Suga yang sudah ada, kini dibuat semakin membuncah saja. Kehadiran Ratih secara tiba-tiba membuatnya tidak menyangka. Karena mendapati keterkesiapan wanita yang tidak ia ketahui namanya itu, Suga segera menyambar kacamatanya dari atas meja. Lalu, ia menata rambutnya ke depan dan kembali culun seperti yang orang tahu!

Suga berjalan tegas menghampiri Ratih yang masih mematung. Ia masih berdecak beberapa kali, bahkan mengumpat. Pria itu benar-benar tidak habis pikir atas ketidaksopanan sang wanita.

“Apakah kamu tidak memiliki sopan santun? Masuk ruangan orang tanpa permisi?” tanya Suga setelah sampai di hadapan Ratih.

Ratih mundur satu langkah. Ia menelan saliva dengan susah payah. Kendati tertutup kacamata tebal, nyatanya wajah Suga masih terlihat sangat seram, ditambah dinginnya sikap atasannya tersebut. Ratih menghela napas beberapa kali untuk meluruhkan ketegangan tubuhnya.

“Maaf, Pak, saya sudah mengetuk pintu tadi,” ucap Ratih sembari merundukkan badannya.

Mata Suga semakin memicing dari balik kacamatanya. “Jadi, maksudmu aku tuli, begitu?” tanyanya sembari memajukan kakinya.

Ratih semakin tersudut, sialnya lagi belakang tubuhnya terbatas dinding.

“Bu-bukan begitu, Pak. Hanya saja ... hanya saja, saya pikir su-sudah cukup dengan ketuk pintu.”

“Ck, siapa dirimu sampai membuat aturan sendiri, hah?! Tanpa izin dariku, semua orang tidak akan bisa masuk ruang kerjaku, paham!”

“Pa-paham, Pak, ma-maafkan atas keteledoran saya. Saya siap dihukum, Pak.”

“Siap dihukum?”

“Mm ....”

“Bagaimana kalau aku memecatmu?”

Rahang Ratih reflek menganga. Ada yang salah dengan pria itu, pikirnya. Hanya kesalahan kecil saja sampai dipecat? Yang benar saja! Ratih benar-benar tidak menyangka, di balik kacamata tebal itu, Suga begitu kejam dalam membuat aturan.

Suga menyentil dahi Ratih, sampai membuat wanita itu terpekik kesakitan.

“Kamu pikir aku memecat dirimu hanya karena insiden ketuk pintu?”

Ratih gelagapan. Bagaimana bisa Suga membaca pikirannya?

“A-anu, Pak, bu-bukan begitu kok!” tukas Ratih salah tingkah.

“Ck, menggelikan! Bodoh!”

“A-apa?!”

“Bodoh!”

Mendengar satu kata tidak sopan itu, Ratih naik pitam. Boleh saja, Suga memecat dirinya sekaligus memarahinya atas kesalahan yang bahkan tidak ia buat. Padahal, Suga sendiri yang tidak mendengar ketukan pintu itu. Hanya saja, jika dikatai ‘bodoh’ bagi Ratih adalah sebuah penghinaan. Dirinya sudah mengabdikan diri selama lima tahun di perusahaan itu, tetapi Suga bersikap seenak jidat dalam memperlakukan kesalahan kecilnya.

“Hei, Culun!” seru Ratih. Saking kerasnya suaranya, sekretaris Suga yang bekerja di depan ruang kerja itu sampai tercengang dan berlari menghampiri kedua orang tersebut.

“Apa?!” balas Suga dengan tatapan sengit.

“Ka-kamu culun! Bo-boleh saja kamu pecat aku, ta-tapi kalau aku dikatai bodoh, aku enggak terima sama sekali!”

“Cihh, kenyataannya kamu memang bodoh, ‘kan? Lalu apa yang salah dari perkataanku, Nona buruk rupa?”

Ratih semakin terkesiap sekaligus dibuat tidak terima. “Haaah ... buruk rupa? Bodoh?” Ia menggigit bibir bawahnya menahan geram. Namun kenyataanya ia tidak bisa menahan gejolak amarahnya. “Kamu sendiri culun, jelek, berani banget ngatain aku buruk rupa!”

Belinda—sekretaris Suga—menahan kedua lengan Ratih. “Nona tolong tenang, hormati Pak Suga,” ucapnya.

“Bel, pergi saja. Ini urusanku dengan wanita bodoh ini.” Suga bertitah.

“Ta-tapi, Pak?”

Tak ada jawaban dari Suga atas ucapan Belinda, selain matanya yang memicing dari balik kacamata. Hal itu membuat Belinda mati kutu, dan berangsur melepaskan tangannya dari lengan Ratih. Kemudian, ia keluar dari ruang kerja tersebut.

Sepeninggalan Belinda, kedua pasang mata tersebut saling bertaut seolah tengah mengibarkan genderang peperangan. Semua kebencian Ratih atas diri Suga selama ini pun semakin bertambah besar, karena insiden yang ia anggap sebagai penghinaan itu.

“Baik! Saya bakal keluar dari perusahaan ini, tapi perlu Anda tandai, selama lima tahun prestasi saya gemilang. Banyak proyek yang saya tuntaskan! Dan Anda tidak berhak mengatai saya bodoh, sekaligus buruk rupa! Karena kenyataannya Anda jauh lebih buruk rupa!” tegas Ratih dengan bahasa kembali formal.

Suga menyeringai. “Aku membatalkan keputusan pemecatan itu,” jawabnya.

“Apa?!” Ratih kembali menggigit bibirnya. Detik berikutnya, ia berkata, “Anda bukan Tuhan yang berhak mengatur hidup saya. Anda tidak bisa membuang lalu memungut saya kembali seperti sampah!”

“Dan kenyataannya kamu memang sampah, ‘kan? Sampah organik yang masih bisa didaur ulang.” Suga memajukan wajahnya berjarak tiga centimeter dari wajah ayu milik Ratih Kembang.

Ratih terdesak. “Sa-saya menolak!”

“Kalau begitu bayar penalti kontrak kamu dengan perusahaan kami sebanyak dua milyar, dengan begitu kamu berhak keluar dari perusahaan ini.”

“Apa?! Itu tidak adil dong! Kan Anda yang memecat saya!”

“Sudah aku bilang, aku membatalkannya.” Suga berucap sembari berbalik badan, ia berjalan pelan untuk kembali ke meja kerja.

“Si Culun ini!”

Ratih yang sudah sangat geram berlari mengejar Suga. Dan ... tubuhnya justru terhuyung karena terpeleset. Suga yang sudah berbalik sejak teriakan maut Ratih, dengan sigap menangkap tubuh wanita itu. karena posisinya merunduk dengan hentakan gerak yang keras, kacamata tebalnya terlepas dan terjun ke lantai.

Mata Ratih semakin dibuat terbelalak, rahangnya pun turut menganga. Beberapa saat yang lalu, samar ia melihat wajah asli milik Suga. Dan kini, wajah tampan itu semakin jelas oleh matanya. Bagaimana bisa CEO culun berhati dingin yang sangat ia benci begitu tampan melebihi oppa Korea? Rahangnya semakin terlihat tegas, mata yang tajam justru terlihat begitu manis.

Karena penasaran, tangan Ratih bergerak menyingkap poni Suga yang menutupi dahi. Sayangnya, tubuhnya justru dihempas oleh pria itu sebelum berhasil menyingkap rambut poni tersebut.

“Auuh! Kalau enggak berniat menolong, enggak usah ditolong dari tadi dong!” gerutu Ratih sembari mengusap siku yang terasa perih.

Suga memungut kacamatanya, kini menatap Ratih dengan tajam. “Ck, sudah bagus-bagus berbicara formal, kenapa kasual lagi? Kamu nggak ada takutnya padaku?” balasnya.

“Ngapain aku takut, lagian kamu bukan monster!”

Suga terkesiap. Memang, bagi wanita di hadapannya itu, ia merupakan CEO culun berkacamata tebal. Padahal di balik penampilan itu, ia bisa dianggap sebagai monster bahkan iblis tak punya nurani oleh beberapa orang yang pernah ia siksa. Ya, seandainya ucapan Ratih benar adanya, pasti Suga akan merasa lega, tetapi ia justru sudah menjadi monster sejak lama.

Melihat Suga yang tiba-tiba diam, Ratih merasa bingung. Dengan susah payah ia berdiri, lalu mengamati wajah pria itu.

“Ma-maaf, sepertinya ucapanku keterlaluan sebagai seorang bawahan. A-aku benar-benar siap untuk keluar dari perusahaan, cuma untuk penalti ...,” ucap Ratih ragu-ragu.

Suga tersadar atas renungan singkatnya. “Nggak! Meski kamu bodoh, kamu harus tetap bekerja di sini! Kalau masih bersikeras ingin keluar, maka bayar penalti bersamaan dengan surat pengunduran diri,” tukasnya.

“Wuaah! Kenapa sih susah banget lepasin aku? Lalu, kamu udah kaya raya, buat apa meras aku yang miskin ini, hah?! Dari dulu kenapa jadi orang ngeselin banget sih?! Iiiiiih, ngeselin!”

“Bekerja saja dengan baik, Nona buruk rupa.”

“Kamu lebih buru ....” Ratih menggantungkan kalimatnya, sebab ia terbayang betapa tampannya wajah Suga.

Suga mendekati wanita itu lagi. “Ini kenapa aku masih menjerat kamu, dan kemungkinan selamanya akan menjeratmu. Karena ....” Ia mendekati telinga Ratih dan berbisik, “Kamu tahu wajahku yang sebenarnya. Aku akan mengawasimu dan akan mencincang tubuhmu yang tipis ini jika kamu bergosip soal wajahku!”

Ratih mengumpat pelan. Namun kendati sudah muak, ia berangsur gentar atas ancaman Suga. Meski begitu, ia tidak ingin terlihat takut di hadapan pria itu, sebab tidak mau jika Suga semakin merendahkan dirinya.

“La-lagipula, wajah kamu kenapa sih? Mau pakai kacamata dan enggak pun, tetap jelek!” Ratih terus memberikan perlawanan untuk melindungi harga dirinya.

Suga menyeringai. “Memangnya aku bilang wajahku tampan? Enggak, ‘kan? Aku hanya enggak mau, wajah asliku terbongkar. Lagipula, sekalipun ada yang bilang aku tampan itu hanya dirimu.”

“Cihh ... enggak bakal!”

“Harga diri yang tinggi sekali, Nona, padahal kamu miskin.”

Napas Ratih tertahan sesaat, dan langsung ia hembuskan dengan kasar. “Baik, aku ah ... enggak, saya tetap akan bekerja di sini. Tapi, sangat berharap tidak menemui Bapak lagi.”

“Baah ... siapa dirimu? Justru aku yang enggak mau menemuimu.”

“Oke! Jangan sampai bertemu, asal gaji saya tetap lancar bahkan dinaikkan!”

“Mata duitan.”

“Saya miskin, jadi itu wajar. Dan satu lagi sekaligus yang terakhir, saya butuh tanda tangan Bapak demi cuti lima hari untuk bulan depan.”

Ratih menyerahkan form permintaan cuti pada Suga. Kemudian, pria itu menyambarnya tanpa sopan santun sekalipun. Mata Suga mulai membaca nama dan alasan dari cuti tersebut. Sebuah pernikahan dari anggota keluarga Ratih.

“Tiga hari,” ucap Suga.

“Dikit banget! Pestanya saja, empat hari empat malam, Pak!” tukas Ratih.

“Mau cuti atau enggak sama sekali? Aku di sini atasannya bukan kamu!”

“Sudah culun, pelit lagi ....” Ratih bergumam lirih.

“Apa?”

“Ti-tidak kok, Pak, baiklah tiga hari.”

Suga tak menyahut lagi. Ia membawa form tersebut menuju mejanya.

Dengan wajah tanpa ekspresi, ia menyoretkan tinta hitam pada tempat tanda tangan atasan. Setelah itu, ia menyerahkan kembali form tersebut pada Ratih.

“Makasih, Pak Culun!” ucap Ratih lantang dan kembali kasual.

Suga membelalak. Namun ketika hendak memarahi wanita itu, Ratih justru berlari dengan cepat menuju pintu keluar.

“Ratih Kembang ...? Aku akan mengawasimu,” gumam Suga sembari memicingkan mata. Ia mendengkus kasar setelahnya. "Kenapa setelah sekian tahun, harus wanita macam dia yang tahu wajahku? Merepotkan!"

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status