Ketika hendak melakukan absen pulang menggunakan id-cardnya, gerakan Ratih menjadi terhenti karena segerombolan orang yang menabrak dirinya. Awalnya ia ingin marah dan meneriaki mereka, tetapi sosok Suga justru ada di antara gerombolan itu. Tak ada yang bisa Ratih lakukan kecuali mendengkus kesal diam-diam. Bukan tidak berani, tetapi tidak mau mempermalukan dirinya sendiri.
“Ck, sialaaan ...!“ ucap Ratih dengan geram.Tiba-tiba Suga menghentikan langkahnya, sementara enam orang yang mengawal dirinya tetap melanjutkan langkah. Enam orang tersebut merupakan beberapa dewan petinggi sekaligus pemegang saham lain di bawah naungan perusahaan Daichi Lesmana.“A-apaan dia?" gumam Ratih dengan heran, sedangkan matanya saat ini tengah mengamati sosok Sugantara.Beberapa detik kemudian, Suga menengok ke kanan maupun ke kiri dengan gaya elegan. Setelah memastikan sesuatu yang Ratih sendiri tidak tahu, pria itu lantas berbalik setengah lingkar. Suga melirik Ratih dengan tatapan mata yang tajam, ia sengaja menurunkan kacamata tebalnya agar mata elangnya lebih menusuk relung hati milik Ratih Kembang.“Haaah ...? A-apaan dia?" Ratih semakin merasa bingung. Kendati begitu, tatapan Suga berhasil membuatnya tercengang.Melalui gerakan bibirnya yang tanpa suara, Suga bergumam pada Ratih. “Bodoh ...!" Setelah itu ia mengacungkan jari tengah pada wanita cantik itu.Kedua mata Ratih reflek terbuka lebar dengan rahangnya yang sudah menganga. Ia benar-benar tidak percaya ketika Sugantara bersikap sedemikian rupa.“Woooeeee!" seru Ratih.Akibat lantangnya seruan itu, beberapa karyawan lantas memperhatikan Ratih dengan tatapan aneh. Tentu, hal itu membuat Ratih menunduk malu. Ia salah tingkah detik itu juga. Dari tempat yang masih sama, Suga justru tersenyum dengan sinis. Tak lama setelah itu, Suga melanjutkan langkahnya lagi. Ia meninggalkan Ratih yang sudah dalam keadaan malu luar biasa.“Ah ... shiiit!" umpat Ratih, kesal. Ia menghela napas panjang, kemudian berdeham. “Fyuuh ... elegan, Ratih, elegan! Jangan kalah sama si Culun, ingat kamu sudah memegang satu rahasia dia! Ehemm!"Sesaat setelah melakukan scan id-card untuk pulang, Ratih mulai melajukan kakinya dengan sikap lebih tegak. Ia sudah nyaris seperti seorang model yang berjalan di atas catwalk. Beberapa karyawan lain yang sempat memperhatikan Ratih hanya bergidik sembari menatap sinis wanita itu.Sepanjang perjalanannya, Ratih masih terus mengumpat pada sosok Suga dalam ingatan buruknya. Benar kata orang, berurusan dengan orang kaya bukanlah sesuatu yang bagus. Setelah lima tahun berselang, hari ini mungkin adalah akhir dari masa kedamainnya untuk bekerja di perusahaan Daichi Elektronik.“Hei, si Kembang!"Seseorang berseru pada Ratih ketika Ratih sudah sampai di luar gerbang dari gedung elit tersebut.“Gatra?" Ratih tersenyum manis, kemudian menghampiri pria yang bernama Gatra Ganendra itu.Sebuah mobil berwarna putih terpampang di samping Gatra. Ya, mobil tersebut merupakan miliknya. Jabatannya di perusahaan lain hampir sejajar dengan jabatan yang dimiliki oleh Ratih di perusahaan Daichi. Namun Gatra lebih beruntung sekaligus pintar dalam mengolah keuangan, tidak seperti Ratih yang begitu boros, belum lagi harus mengurus tuntutan hidup sang bibi yang ketus. Ratih tidak memiliki apa pun selain sebuah rumah dan peralatan untuk kebutuhan sehari-hari.Ratih melipat kedua tangannya ke depan dengan gaya angkuh. “Tumben kamu menjemput aku?" tanyanya pada Gatra.Gatra menggaruk lehernya salah tingkah. “Si-siapa yang menjemputmu? Enggak ada! Aku kan hanya kebetulan lewat saja kok," jawabnya mencari alasan.Ratih mendesis dengan mata memicing curiga. Sudah bertahun-tahun, tetapi tidak berani menyatakan cinta, pikir wanita itu terhadap sosok Gatra. Meski juga menyukai pria itu, tak lantas membuat Ratih maju lebih dulu untuk mengajak berpacaran. Terlebih, ketika Ratih merupakan tipikal wanita berharga diri tinggi, menyatakan cinta pada seorang pria merupakan sebuah kemustahilan untuk ia lakukan.“Ah!" Gatra mengibaskan tangannya di depan wajah Ratih. “Ayo, ikut enggak? Kalau enggak mau, aku bakal jemput cewek lain saja nih!"Ratih mencibir. Sembari menuju kabin mobil bagian penumpang, ia bertanya, “Sejak kapan ada cewek yang mau sama kamu, Gat?"“Banyak, Tih, Cuma mereka bukan tipeku saja," tandas Gatra sembari memasuki mobilnya.“Alah, ... sok ganteng banget sih, Gat! Sampai sekarang pun buktinya kamu masih jomblo tuh!"“Ye, enggak percaya. Aku cuma enggak mau sombong, dan lagi ... kalau aku sudah punya cewek, memangnya kamu mau sama siapa?"“Temanku banyak, kenapa aku harus bergantung sama kejombloanmu, Gatra?"“Nurma? Dia ada cowok juga tuh!"“A-aku juga ada kok."“Masa?"“I-iya, ca-calon sih."“Ck, ngibulnya kelihatan banget, Tih. Tampang kayak preman mana laku, paling yang mau cuma a....“Ratih tercengang. “A ...?"Gatra menelan saliva. Hampir saja ia keceplosan mengatakan perasaannya dengan situasi tidak indah seperti itu. "A ... an ... an-an ... jing!"Ratih reflek mengumpat. “Halah, Sialan!"“Hei! Preman kampung!" Mendengar umpatan itu, Gatra lantas mengusap wajah Ratih dengan sedikit kasar.“Apaan sih?! Enggak jelas banget! Sudahlah, setir mobilnya."“Iya, iya."Cuma ngomong ‘aku' saja enggak becus! Sialannya, malah dipelesetin ke binatang! Awas saja kalau aku sudah menjadi milik orang lain. Bakal menyesel kamu, Gatra! Batin Ratih lalu mendengkus kesal.Tanpa pikir panjang lagi, Gatra segera melajukan mobilnya. Kebisuan tercipta, kecanggungan pun turut menerpa kebersamaan kedua sejoli itu. Deru mobil sudah seperti musik pengantar sekaligus kawan melawan penat.Gatra dan Ratih selalu bersama dalam waktu empat tahun. Bukan artian saudara atau hubungan khusus di antara mereka, melainkan bertetangga di komplek perumahan yang sama. Satu tahun di perkenalan awal, mereka hanya sebatas teman. Namun tiga tahun terakhir batasan itu berangsur rusak ketika muncul rasa saling menyukai. Sayangnya tak ada yang tersampaikan hingga saat ini. Keduanya sama-sama memendam perasaan yang sudah mereka sadari dengan jelas.“Bukan hanya dia yang bertampang bodoh, kekasihnya pun sama saja. Ya, satu tipe memang perlu disatukan," gumam Suga dari sisi lain dari gerbang gedung perusahaannya tersebut. Kedua mata tajamnya masih mengamati laju mobil yang Ratih dan Gatra tumpangi.Setelah mobil itu menghilang dari pandangan matanya, Suga berangsur menghela napas. Dengan sikap santainya, ia pun bergegas. Ke area parkir mobil merupakan rencana tunggalnya saat ini.Sementara benak Suga masih saja terbayang pertengkarannya dengan Ratih tadi siang. Meski bersikap tenang, ia tetap khawatir jika wanita itu membuat gosip di antara banyak orang. Suga tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Jika gosip mengenai wajah aslinya merambat, bukan mustahil identitas gelapnya juga bisa diketahuiolej banyak orang. fatalnya, ia akan dikecam oleh Daichi Lesmana, dan kedua adiknya bisa berada dalam bahaya.“Ratih Kembang ... aku harus mengawasinya selama dua puluh empat jam," gumam Suga sembari meluruskan pandangan ke depan. Sesampainya di area parkir pribadi sekaligus sudah masuk ke dalam mobilnya, ia berangsur melepas kacamata dan menyibak rambut poninya. “Jika perlu aku bisa menyiksamu untuk menutup mulutmu selamanya," lanjutnya sembari tersenyum sinis.Sesampainya di area parkir pribadi di basemen gedung perusahaan, Suga berangsur melepas kacamata dan menyibak rambut poninya. Suga bergerak membuka pintu mobil yang memiliki merek salah satu terbaik di dunia. Dengan kegagahan tanpa kacamata, ia masuk ke dalam mobilnya itu. Kharismanya tentu sangat luar biasa, kendati saat ini ia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap.“Ratih Kembang ... aku harus mengawasinya selama dua puluh empat jam," gumam Suga sembari meluruskan pandangan ke depan. “Jika perlu, aku akan menyiksamu untuk menutup mulutmu selamanya," lanjutnya sembari tersenyum sinis.Sembari melajukan mobilnya, Suga menekan tombol-tombol ponselnya yang telah menempel di dashboard mobil. Ia melakukan panggilan pada salah satu anak buahnya dengan nomor yang bahkan tidak ia ketahui milik siapa.“Siap, Bos," jawab seseorang dari kejauhan sana.“Ini siapa?" tanya Suga.“Nomor 245, Bos, ada yang bisa saya kerjakan?"“Mm ... cari info seputar Ratih Kembang Gayatri general manager dari perusahaan Daichi Electronik. Dengan nomor id 50075061, tinggi badan sekitar 161 centimeter, berat badan nggak lebih dari 50 kilogram wajahnya ... lumayan, ya, lumayan."“Wuah! Bos Dewa benar-benar jenius."“Cari tempat tinggalnya, anggota keluarganya, temannya, bahkan kekasihnya."“Ta-tapi bukankah perusahaan itu milik Bos Dewa sendiri. Kenapa?"“Mau kupotong lidahmu? Jika enggak mau, tak usah banyak tanya."“Ti-tidak, Bos."“Lakukan apa yang aku suruh, jangan banyak bertanya dan cepat kabari diriku. Jangan buat masalah yang enggak berguna!"“Ba-baik, Bos!"Suga lantas menutup panggilan tersebut. Matanya kembali berfokus pada jalan, bahkan ia menambah laju kecepatan kendaraannya. Ia sudah bertekad untuk memberikan hukuman pada Ratih yang sudah tidak sopan sekaligus sampai mengetahui wajahnya tanpa kacamata tebal.****Ratih melambaikan tangannya pada Gatra, sesaat setelah turun dari mobil pria itu. Tak berselang lama, ia bergegas memasuki pekarangan rumah sederhananya. Sementara Gatra, ia menuju rumahnya sendiri yang berlantai dua di samping rumah Ratih.Setiap kali berhasil menjemput Ratih, perasaan Gatra seketika menghangat. Meski ia tahu jika sampai saat ini, perasaannya tak tersampaikan dengan baik. Namun dengan begitu, tentu tidak ada kecanggung ketika sedang bersama Ratih. Hubungan baik itupun akan terjalin dalam kurun waktu yang lama, tanpa mengkhawatirkan perihal perpisahan karena cinta.Baru saja turun dari mobilnya, Gatra sudah dihadang oleh ibu tercinta. Hesvi namanya. Wanita paruh baya itu tengah berkacak pinggang dengan raut yang penuh kemarahan.“Gatra! Mama 'kan udah bilang, jangan deket-deket sama Ratih. Kamu ngeyel banget, sih!” omel Hesvi pada putra pertamanya tersebut.
Ratih terpekik ketika kepalanya baru saja dilempar sebuah gelas plastik oleh bibinya. Ia mengusap bekas lemparan itu sembari mengumpat pelan. Kekesalan membuncah di hatinya, menambahi warna kelelahan. Semestinya, ia sudah terbaring dengan nyaman tanpa harus menghadapi wanita paruh baya yang ketus itu.“Kamu mengumpat lagi sama bibimu sendiri, hah?!” Suara sang bibi begitu lantang penuh amarah. Ia sudah benar-benar tidak habis pikir atas sikap Ratih yang kurang ajar. “Ingat, Ratih, dari kecil siapa yang ngurus kamu!”“Aaaaa! Stop bahas hal yang sama, Bi Kani!” balas Ratih dengan sengit.Kani tersentak. Ia memasang wajah memelas seketika. “Nasibku kenapa begini? Ngurus anak adikku yang durhaka ketika sudah besar.” Ia berucap sembari mengelus dadanya.“Sudah deh, Bibi enggak usah sok menderita lagi. Harusnya Bibi tuh
Hujan deras turun ketika malam telah larut. Dingin menerpa tubuh Ratih yang saat ini meringkuk di atas kasurnya. Tak ada penghangat selain selimut tebal yang ia beli sejak satu tahun yang lalu. Tak ada teman pengisi sepi kecuali bisingnya suara hujan itu.Dalam kesendirian itu, Ratih tengah merindu. Bukan pada seorang kekasih, melainkan kedua orang tuanya. Pengandaian pun ia lakukan di dalam otaknya, andai ayah dan ibunya masih ada. Ah, tentu saja hidupnya tak sesepi sekaligus semiris sekarang ini. Ia tidak perlu bersikeras menyempurnakan diri hanya untuk melindungi diri sendiri.“Ayah, Ibu, Ratih kangen," gumam wanita itu sembari meneteskan air mata.Terkadang nasib seseorang memang tidak seberuntung orang lain. Pun pada Ratih yang selalu menanggung nestapa hidup sendirian. Masih hangat dalam ingatan ketika ia mendapat cerca karena tidak punya orang tua. Cemoohan anak-anak sebaya tak terlewat untuk ia alami, bahkan hanya karena yatim piatu ia kerap dipukuli. Menginjak usia empat belas
Baru memasuki pintu utama perusahaannya sendiri, Suga sudah dikejutkan dengan sesuatu yang seharusnya menjadi kemustahilan. Sosok cantik tengah berjalan begitu tegas sesaat setelah melakukan scan absen. Bagaimana bisa wanita itu masuk hari ini? Pertanyaan itu terlintas di benak Suga bersama pemberhentian laju kakinya. “Apa rencana itu nggak berhasil?” gumam Suga sembari memicingkan mata memastikan kembali jika wanita itu adalah Ratih Kembang.Namun sama seperti penglihatan Suga, ia memang Ratih!Suga segera menepis keterpanaan itu dan kembali melaju kakinya. Seiring langkah yang ia ambil, pikirannya dibuat kacau atas keberadaan Ratih di perusahaannya. Tampaknya dugaan yang ia berikan memang benar, bahwasanya kedua bawahannya tidak berhasil membawa Ratih.Suga mengira jika ada orang yang menyelamatkan wanita itu ketika misi sedang dijalankan. Hanya saja terlalu mustahil jika tengah malam masih ada orang yang terjaga, kecuali sistem keamanan yang diterapkan merupakan ronda malam. Namun,
Ratih tidak menyangka jika hidupnya akan semakin sulit setelah terlibat pertengkaran dengan Suga. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan menjadi sekretaris dari pria itu. Bagi Ratih, seorang sekretaris tidak lebih dari seorang pembantu, hanya saja memiliki sebutan dan jaminan yang jauh lebih tinggi. Dengan pemikiran tersebut, tentu saja Ratih menganggap jika saat ini jabatannya telah diturunkan.Kini, Ratih hanya bisa mematung di hadapan Suga. Kendati begitu, matanya terus menatap tajam ke arah pria itu. Ingin sekali, Ratih menghantamkan wajah Suga pada tembok pembatas antar ruangan, atau setidaknya menguliti atasannya tersebut. Bagaimana tidak merasa kesal jika saat ini ia justru dipermainkan tanpa adanya kesempatan untuk melawan.Suga menghela napas sembari bergerak dengan malas. Tak berselang lama, ia melepas kacamatanya.Tentu saja mata elangnya terlihat dengan jelas.“Kenapa?” tanya Suga dengan nada datar.Ratih mengepalkan kedua telapak tangannya demi upaya untuk menahan r
Ratih hanya bisa menghela napas. Bagaimana tidak, baru pukul enam pagi ia justru harus hadir di sebuah apartemen elit. Selain masih sangat enggan untuk bertemu Suga, ia paling malas untuk bangun lebih pagi. Rasanya sungguh memuakkan, tetapi Ratih tidak bisa berbuat apa-apa. Suga selalu mengancamnya dengan dua milyar sebagai ganti rugi jika Ratih menolak perintah dari pria itu.Lalu-lalang beberapa orang yang tidak dikenal oleh Ratih menghiasi suasana pagi ini. Mereka merupakan pemilik sekaligus penghuni unit-unit dari gedung apartemen itu. Tentu saja, mereka orang-orang kaya yang memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, Ratih menjadi ciut hati. Ia merasa seperti pasir di antara berlian yang bersinar.Kebiasaannya yang sering mengumpat masih saja dilakukan, meski Ratih hanya sebatas menggumamkan. “Aku sangat membenci dirinya. Demi Tuhan! Oh, Si Culun Sugantara!” ucapnya.“Hei!” Tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari belakang posisi Ratih.Seruan itu sukses membuat Ratih terkejut
Dengan setia Ratih mendampingi Suga di mana pun pria itu berpijak, dan tentu saja untuk urusan pekerjaan. Kendati masih terbilang baru, nyatanya, Ratih sudah mampu mengatasi semua pekerjaan sekaligus kendala beberapa kendala. Dan saat ini ia mencoba untuk tidak memikirkan perihal niat menolak mengenai jabatan barunya itu. Ratih berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada sang tuan, alih-alih terus merengek. Ratih segera berdiri dari duduknya ketika mendapati Suga baru saja keluar dari ruangan kerja pribadi. Dengan lebih profesional Ratih memutuskan untuk merundukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya. Melihat sikap Ratih yang begitu tunduk, Suga lantas tersenyum bangga seolah sudah mendapatkan kemenangan secara penuh.Bagaimana tidak, musuhnya itu kini dapat ia kendalikan sesuka hati.Suga merasa dirinya sudah mampu mengendalikan wanita yang pemberani itu. “Jadwal selanjutnya? Kamu nggak laporan padaku?” tanya Suga.Ratih menghela napas, kemudian menjawab, “Sore nanti sudah
Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di da