Share

Episode 5-Derita

Ratih terpekik ketika kepalanya baru saja dilempar sebuah gelas plastik oleh bibinya. Ia mengusap bekas lemparan itu sembari mengumpat pelan. Kekesalan membuncah di hatinya, menambahi warna kelelahan. Semestinya, ia sudah terbaring dengan nyaman tanpa harus menghadapi wanita paruh baya yang ketus itu.

“Kamu mengumpat lagi sama bibimu sendiri, hah?!” Suara sang bibi begitu lantang penuh amarah. Ia sudah benar-benar tidak habis pikir atas sikap Ratih yang kurang ajar. “Ingat, Ratih, dari kecil siapa yang ngurus kamu!”

“Aaaaa! Stop bahas hal yang sama, Bi Kani!” balas Ratih dengan sengit.

Kani tersentak. Ia memasang wajah memelas seketika. “Nasibku kenapa begini? Ngurus anak adikku yang durhaka ketika sudah besar.” Ia berucap sembari mengelus dadanya.

“Sudah deh, Bibi enggak usah sok menderita lagi. Harusnya Bibi tuh cari kerja, urus paman dan Robi dengan baik. Jangan malah nyusahin aku terus. Lagian, sebentar lagi Robi menikah, masa' iya masih dibiarin nganggur? Sudah berani hamili anak orang juga!”

Lemparan gelas kedua diberikan oleh Kani yang sudah naik pitam. Namun dengan sigap, Ratih menepisnya dengan tangan. Alhasil, gelas itu terlempar jauh ke sisi kiri dari posisi wanita cantik itu.

“Kamu ini makin sukses, kenapa makin kurang ajar begini, Ratih?! Seenggaknya kasihani pamanmu yang terbaring di kasur. Kenapa pula kamu malah beli rumah, sementara sertifikat rumah bapakmu sendiri kamu simpan, hah?! Kenapa nggak pulang dan membalas budi pada kami?!”

Ratih menghela napas beberapa kali. Ia menahan diri untuk tidak emosi. Setidaknya ia masih tahu diri, sehingga tidak menghajar bibinya tersebut. Kendati sebenarnya ia sangat lihai dalam hal bela diri, tetapi ia masih memiliki moral atas rasa hormat.

“Bilang aja, Bibi butuh uang berapa? Dan lekas pulang. Ratih capek, Bi, baru pulang kerja,” ucap Ratih dengan nada lebih lembut. Kendati rasa perih tak bisa ia tepis dari hatinya.

Kani terdiam sembari melipat tangan. Sementara pasang matanya sibuk mengedarkan pandang ke segala arah. Tak lama kemudian, Kani berdeham.

“Bibi ke sini bukan mau minta uang,” ucap wanita berwajah ketus tersebut.

Ratih tersenyum kecut. “Lalu?”

“Bibi mau kamu pulang, itu aja kok.”

“Nggak!” sahut Ratih cepat. Ia menatap tajam ke arah Kani, sehingga tatapan keduanya saling menghunus. “Ratih nggak mau. Ratih tahu kenapa Bibi minta Ratih pulang, buat ngurus paman, 'kan? Paman itu suami Bibi sendiri, kenapa terus melarikan diri sih?!”

“Udahlah, jangan ceramah! Anak kecil mau sok bijak! Seenggaknya serahin surat rumah sama Bibi, lagian kamu udah beli rumah ini, 'kan?”

“Terus kalau udah Ratih serahin, mau dijual, 'kan, rumah itu? Terus Bibi mau pindah ke sini, 'kan? Dengan alasan pengobatan paman, gitu? Setiap bulan Ratih udah kasih uang buat berobat, kenapa masih nggak cukup?”

Kani hanya berdecak, meski sebenarnya ia sudah tersudut oleh semua ucapan keponakannya tersebut. Perihal sang suami yang mengidap penyakit stroke terus saja ia gunakan untuk menekan Ratih. Padahal, setiap bulan ia selalu menerima uang pengobatan dari keponakannya tersebut.

Bagi Kani, Ratih wajib menafkahi atas nama balas budi. Sebab, sepeninggalan orang tuanya, Ratih diurus oleh wanita paruh baya itu. Namun, manusia tidak mungkin memiliki kesabaran tanpa batas. Ratih sudah lelah. Empat tahun yang lalu ia memutuskan pindah, meninggalkan rumah peninggalan ayahnya yang kini dihuni oleh keluarga Kani.

“Ratih, jaga ucapan kamu.” Kani melembutkan suaranya. “Kamu mesti inget jasa kami, Ratih.”

“Iya, Ratih inget teruuuus! Sekaligus sudah kasih duit tiap bulan. Apa lagi? Uang sekolah? Ratih selalu pakai beasiswa, 'kan? Bibi cuma kasih makan, selebihnya maksa Ratih jadi babu, 'kan? Padahal rumah itu atas namaku. Seharusnya, Bibi yang balas budi sama aku!” Ratih tak kalah kesal. Ia sudah tak mampu menepis rasa itu, sehingga masalah lama ia ungkit kembali.

“Ratih! Sudah Bibi bilang jaga bicara kamu! Pa-padahal, Bibi minta kamu pulang karena di sini gosip buruk tentangmu beredar! Kamu ini!”

Ratih tertawa kecil. Sedetik kemudian, ia berkata, ”Halah! Gosip buruk tentang aku 'kan Bibi yang nyebarin. Mau sok jadi pahlawan. Sudah deh, nggak usah gengsi, Bibi butuh duit berapa? Dan lekas pulang.”

“Anak berandal satu ini ...!”

Harga diri Kani seolah sudah hancur oleh setiap ucapan Ratih. Namun kendati begitu, ia tidak bisa pergi begitu saja. Sebab, beras di rumah sudah habis. Uang obat sekaligus belanja tak ada lagi. Niat hati ingin menekan Ratih, kini justru ia yang dipermalukan.

Yang Kani sesalkan sifat keras adiknya menurun ke keponakannya tersebut. Oleh karena itu, sifat keras dari almarhum Subandi—ayah Ratih—membentuk pribadi berandal yang kini melekat pada diri Ratih. Beruntungnya, Ratih merupakan orang yang pintar. Tak hanya di sekolah, melainkan pergaulan. Ia mampu bersikap dan bertutur kata sesuai situasi yang ada. Ia cerdas juga kuat, sehingga membuat Kani tak bisa merampas surat-surat rumah peninggalan Subandi.

Cukup lama tidak diberi jawaban, Ratih lantas berdiri. Ia menuju kamarnya dengan cepat. Mengambil seikat uang satu juta merupakan rencananya.

“Nih!” Ratih melemparkan uang itu di hadapan Kani, bahkan tanpa rasa hormat karena kadung muak. “Itu satu juta, harusnya cukup buat makan satu minggu. Asal Bibi nggak boros, jangan belanja yang nggak perlu. Turunin gengsinya, kalau obat Paman habis, langsung beli. Toh, nggak bayar uang sewa ke aku, 'kan?”

Kani mendengkus. “Durhaka kamu, Ratih!”

“Durhaka apanya lagi? Yang bikin kesulitan 'kan Bibi sendiri. Lagian sok-sokan nggak mau pakai BPJS buat Paman, sudah tahu orang miskin. Mau gegayaan aja.”

Uang mampu membuat orang membisu, sepertinya ungkapan itu benar adanya. Terbukti ketika Kani memilih mengalah. Ia meraih uang tersebut dan lantas berdiri dari sofa yang ia duduki. Tanpa pikir panjang, bahkan tanpa ucapan terima kasih, Kani berangsur melangkah dan keluar dari rumah itu.

Sepeninggalan bibinya, Ratih menundukkan kepala. Ia pasrah atas segalanya. Jika merasakan kepedihan nasibnya, air matanya selalu keluar. Pipinya yang putih nan halus itu lantas basah. Beberapa detik kemudian, ia meluruhkan badan. Ratih menangis sesenggukan, nyatanya kekuatan fisik tak lantas membuat hatinya lebih tabah menghadapi setiap masalah.

****

Di sebuah gedung tua yang merupakan salah satu aset milik Daichi Lesmana, beberapa orang berpakaian serba hitam terkumpul di sana. Kursi yang bagaikan singgasana, duduk seorang pria tampan bermata tajam menggunakan pakaian serupa. Wajahnya berekspresi datar, dengan bibir yang terkatup rapat.

“Senjata itu telah berhasil diselundupkan dan sampai di tangan pelanggan, Bos Dewa,” lapor salah satu anggota dari perkumpulan gelap tersebut.

Suga alias Dewa melirik sekilas. “Bagus, lanjutkan daftar lain dan lakukan dengan hati-hati,” ucapnya.

“Baik, Bos!”

“Nomor 245?”

Seorang pria seusia Suga lantas menghadap. “Hadir, Bos!” jawabnya.

“Tugasmu?”

“Ra-ratih?”

“Memangnya aku memberimu berapa tugas?”

“Sa-satu, Bos.”

“Kenapa harus tanya lagi?” Suga menghela napas. “Asah otakmu dengan baik, kalau nggak kuasah lidahmu dengan belati.”

“A-ampun, Bos, saya akan mengasah otak saya.”

”Bodoh ... utarakan informasi yang kamu dapat.”

Pria itu berdeham, seolah tengah mencari perhatian Suga. Ia menegakkan badan, kemudian berkata, “Ratih Kembang Gayatri, tinggal di komplek perumahan Merpati no-nomor ....” Ia melupakan digit nomor rumah, sehingga meraih sebuah catatan dari kantongnya. “No-nomor 18 EG, Rt—”

“Lanjutkan segi keluarga,” titah Suga.

Si pria 245 itu lantas berdeham. “Ratih merupakan anak semata wayang dari Subandi dan Lastri. Tapi, kedua orang tuanya telah meninggalkan dunia. Dia diasuh oleh bibinya, dan saat ini telah tinggal sendiri.”

“Yatim piatu ...?”

Suga mengusap bibir bawahnya. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Tentu, untuk membuat Ratih bungkam. Jika yatim piatu tidaklah sulit membereskan wanita itu. Bahkan, ketika dibunuh pun tak menimbulkan masalah berdampak besar. Namun, Suga bukanlah seorang pembunuh melainkan monster penyiksa.

Membuat Ratih tertekan tentu saja akan menimbulkan ketakutan itu sendiri bagi wanita tersebut. Dengan begitu, ia tidak akan berani membicarakan perihal wajah Suga pada orang lain. Dan tentu saja, identitas pria itu akan aman selamanya.

“Kirim dua orang dan culik wanita itu. Lakukan dengan hati-hati tanpa ketahuan. Jangan gunakan senjata apa pun, yang kalian hadapi hanya seorang wanita. Dan setiap anggota tubuh kalian yang melakukan kesalahan, maka aku akan memotongnya tanpa belas kasihan,” titah Suga dengan tatapan nanar.

Para anggotanya yang berjumlah puluhan orang merasa terkesiap. Mereka selalu tunduk pada Suga karena kemampuan beringas juga jenius milik pria itu. Selain sisa-sisa bawahan Lesmana, anggota mafia itu sebagian besar merupakan mantan anak jalanan yang diselamatkan oleh Suga.

Tentu, dengan menjaga kesetiaan adalah cara balas budi, ketimbang mati kelaparan di jalanan. Asal selalu menurut, nyawa pun masih melekat dalam raga. Bagi mereka, Suga merupakan sosok Dewa. Sesuai namanya, Suga menyelamatnya hidup orang-orang itu. Yah, itu hanya pemikiran spontan sebagai manusia.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status