Share

Episode 7-Tak Menyangka

Baru memasuki pintu utama perusahaannya sendiri, Suga sudah dikejutkan dengan sesuatu yang seharusnya menjadi kemustahilan. Sosok cantik tengah berjalan begitu tegas sesaat setelah melakukan scan absen. Bagaimana bisa wanita itu masuk hari ini? Pertanyaan itu terlintas di benak Suga bersama pemberhentian laju kakinya.

“Apa rencana itu nggak berhasil?” gumam Suga sembari memicingkan mata memastikan kembali jika wanita itu adalah Ratih Kembang.

Namun sama seperti penglihatan Suga, ia memang Ratih!

Suga segera menepis keterpanaan itu dan kembali melaju kakinya. Seiring langkah yang ia ambil, pikirannya dibuat kacau atas keberadaan Ratih di perusahaannya. Tampaknya dugaan yang ia berikan memang benar, bahwasanya kedua bawahannya tidak berhasil membawa Ratih.

Suga mengira jika ada orang yang menyelamatkan wanita itu ketika misi sedang dijalankan. Hanya saja terlalu mustahil jika tengah malam masih ada orang yang terjaga, kecuali sistem keamanan yang diterapkan merupakan ronda malam. Namun, bukankah menyusup bukan perkara sulit bagi orang yang sudah berpengalaman?

“Pagi, Pak,” sapa Nurma pada Suga sembari tersenyum manis.

Suga tersentak seketika. Namun ia tetap berusaha bersikap tenang agar tidak jatuh malu di hadapan bawahannya itu. Hanya tatapan sekilas yang ia berikan pada Nurma sebagai balasan. Kemudian, ia kembali mempercepat langkah untuk menuju ruang kerja.

Nurma menghela napas. Bukan perkara asing jika Suga tidak ramah. Hanya saja, cukup membuatnya tersinggung. Membalas dengan kata 'ya' saja sepertinya sangat mudah, tetapi Suga tetap tidak melakukannya.

Tiba-tiba tubuh Nurma disenggol oleh seseorang, yakni Ratih Kembang.

“Judes, ya?” tanya Ratih pada sahabat sekaligus bawahannya itu.

Nurma tersenyum kecut. “Udah jadi pamornya dia, Tih, enggak kaget lagi,” jawabnya.

“Dan kamu masih tetap menyapa? Aku sih enggak sudi!”

“Beliau tetap atasan kita, Tih. Sudah sepatutnya memberi sapa pagi.”

“Ah, kamu terlalu baik, Nurma. Hmm ... padahal orang itu enggak sedikit pun menghargai.”

“Mm ... aku bersyukur kalau aku masuk dalam kategori baik, Tih.” Nurma mengulas senyuman. “Sampai saat ini, aku masih penasaran sama wajah di Pak Suga tanpa kacamata. Kayaknya lumayan manis.”

“Mm? Tunggu! Jangan-jangan kamu naksir dia, ya?”

Nurma gelagapan. “En-enggaklah mana ada. Lagian kalau aku suka sama dia, enggak mungkin kemarin bilang ke kamu lama-lama jadi suka.”

“Mm ... tapi, kenapa kamu penasaran?”

“Entah, aku cuma merasa kalau Pak Suga itu ganteng, Tih. Cuma berrharap saja, semoga beliau mengobati mata yang barangkali ada minus maupun silinder, terus taaaar! Ganteng deh, dengan begitu orang-orang enggak akan menghina tampang dia. Sedih enggak sih, kalau atasan kita dihina sama bawahan sendiri? Padahal dia yang kasih gaji ke kita lho.”

“Enggak sih, aku biasa saja tuh!”

“Ih, Ratih!”

“Sudahlah, ayo. Jangan memikirkan dia, terus Nurma!”

Berkat tarikan tangan Ratih di lengannya, Nurma melaju kakinya mengikuti sahabatnya itu. Kedua wanita yang memiliki tipikal berbeda, tetapi bisa berteman dengan baik. Mungkin karena sosok Nurma begitu polos bisa menerima keberadaan Ratih yang palsu. Palsu dalam artian sifat saat di kantor itu, bukan Ratih ketika sedang bersama Gatra atau di rumahnya sendiri.

****

Suga menggebrak meja kerja setibanya di ruang pribadinya. Keberadaan Ratih pagi ini benar-benar membuatnya tak habis pikir. Mengurus seorang wanita saja kedua anak buahnya tidak becus sama sekali. Lantas, dengan cara apa lagi ia bisa menekan Ratih? Jika wanita itu terus dibebaskan tentu saja identitasnya akan terbongkar!

Tidak! Suga tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia harus mencari jalan lain untuk menangani wanita itu. Pun, jika ia harus turun tangan sendiri. Namun untuk jalan keluar terakhir, jika cara lanjutan tetap gagal.

Tanpa pikir panjang, Suga segera mengambil ponselnya dari dalam kantong celana. Ia mencari nomor kontak sesuai nomor keanggotaan anak buah yang menangani Ratih semalam.

“Kalian tidur, ya?!” tanya Suga dengan nada tegas sesaat setelah panggilan itu dijawab dari kejauhan.

“A-anu, Bos, kami semalam melakukan tugas i-itu kok,” jawab sang anak buah dari kejauhan sana.

“Lalu? Kalian kepergok warga? Untuk menyusup daerah komplek saja kalian enggak becus?!”

“Ti-tidak, Bos, kami tidak ketahuan warga, B-bos.”

“Lalu, bagaimana bisa cewek itu masih masuk kerja, hah?! Kalian kerja enggak sih? mengurus satu wanita saja enggak bisa! Haaaa, sial. Persiapkan saja kedua tangan kalian!”

“Ma-maaf, Bos, kami mo-mohon ampun. Ta-tapi, se-sepertinya wanita itu pemegang sabuk hitam kelas taekwondo. Kekuatan dan ilmunya bahkan melebihi kami, Bos. Sepertinya dia sudah sering berkelahi.”

“Apa ...?”

Suga mematikan panggilan itu secara sepihak, bahkan tidak menunggu jawaban dari anak buahnya. Jika informasi yang ia terima adalah suatu kebenaran, maka keberadaan Ratih memang bukan sebuah kemustahilan.

Seperti dugaannya di kala bertengkar dengan Ratih, wanita itu memang berbeda. Ada sesuatu yang dimiliki Ratih dan itu jarang dimiliki oleh wanita lain. Seperti sebuah nyali yang begitu besar, Ratih sedikit pun tak gentar ketika menghadapi Suga dengan jabatan tinggi jika pria itu merupakan atasannya.

“Ratih ... dia benar-benar merepotkan!” ucap Suga sembari menggertakkan gigi. Entah cara apa lagi yang perlu ia gunakan untuk membungkam wanita itu. Sebab jika hanya berpegang pada rasa percaya, tentu resiko besar kemungkinan akan terjadi. Tanpa ancaman, Ratih bisa membeberkan gosip seputar wajah di balik kacamata tebalnya.

Dalam kegemingan itu, tiba-tiba Suga mendengar suara pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Tak lama kemudian, muncullah Belinda ketika pintu telah dibuka. Wanita yang merupakan sekretaris Suga berjalan begitu elegan menghampiri sang atasan.

“Selamat siang, Pak Suga,” sapa Belinda seiring senyum yang ia ulas.

Namun sama ketika Nurma yang menyapa, Suga hanya menatap sekilas tanpa memberikan jawaban. Hal itu membuat Belinda tersenyum kecut, meski bukan hal asing baginya.

Hari ini pun, Pak Culun tetap cuek! Pikir Belinda. Sekian detik tak ada tanggapan, ia lantas menyerahkan sebuah tablet dengan merk dari Daichi Elektronic, dengan kata lain produk perusahaan itu sendiri.

“Ini jadwal hari ini, Pak, mohon diperiksa,” ucap Belinda dengan sikap santun.

Namun lagi-lagi Suga tidak menjawab. Pria itu justru terpaku dengan sosok Belinda. Tentu saja, Belinda merasa canggung sekaligus salah tingkah. Apakah ada yang salah pada dirinya? Pertanyaan itu terlintas di benaknya.

“Pak ...?”

“Belinda? Apa kamu ingin memimpin salah satu perusahaanku? Dengan kata lain menjadi seorang direktur dari cabang kantor kami?” tandas Suga atas panggilan Belinda padanya.

Belinda reflek membelalakkan mata. “Kok? Kenapa tiba-tiba ...?”

“Enggak, aku pikir kamu sudah harus memiliki jabatan itu. Ini akan sulit didapatkan lagi jika saat ini kamu enggak menerima tawaranku.”

“Tapi, mm ... cabang di mana?”

“Jepang.”

“Woaah! Oops ... ma-maaf, Pak.”

”Bagaimana?”

Belinda merasa takjub. Benar seperti yang Suga katakan bahwasanya kesempatan itu tidak akan muncul dua kali. Meski masih merasa bingung karena penawaran itu dikatakan secara tiba-tiba, Belinda tetap menganggukkan kepala.

“Baik, Pak, saya akan terima! Saya berjanji akan bekerja dengan baik!” ucap Belinda antusias sembari merundukkan badannya berkali-kali.

Suga masih tetap berekspresi datar. “Baiklah, aku beri waktu satu minggu untuk berberes. Dan selama itu, kamu nggak perlu berangkat kerja ke tempat ini.”

“Mm? Lalu, yang mendampingi Bapak sebagai sekretaris?”

Suga menurunkan pandangan. Ia menelan saliva sebelum memberikan jawaban. “Ratih.”

“Ra-ratih?”

“Ya, panggil dia untukku. Ajari dia untuk hari ini saja. Ancam dia dengan dua milyar jika memberikan penolakan.”

Belinda tertegun sebentar, hingga pada akhirnya ia menyadarkan dirinya. “Ba-baik, Pak!”

Setelah itu, Belinda berbalik badan. Wanita itu hendak memenuhi tugas terakhirnya sebagai sekretaris Sugantara, yakni membantu melatih Ratih hari ini. Tak peduli dengan rasa heran yang masih bersarang, yang pasti Belinda tahu jika Suga sedang menghukum Ratih. Di sisi lain, Belinda berterima kasih karena berkat Ratih, ia memiliki kesempatan naik jabatan sekaligus bekerja ke luar negeri.

Sementara itu, Suga masih merenungkan keputusan spontannya. Untuk saat ini berhadapan dengan Ratih tentu membuatnya akan tidak nyaman, terlebih ketika sudah berjanji untuk tidak bertemu wanita itu lagi. Namun mengawasi Ratih dari dekat tanpa mengotori tangannya, merupakan cara terakhir.

Ya! Keputusan telah Suga ambil untuk mengangkat Ratih sebagai sekretaris pribadinya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status