Baru memasuki pintu utama perusahaannya sendiri, Suga sudah dikejutkan dengan sesuatu yang seharusnya menjadi kemustahilan. Sosok cantik tengah berjalan begitu tegas sesaat setelah melakukan scan absen. Bagaimana bisa wanita itu masuk hari ini? Pertanyaan itu terlintas di benak Suga bersama pemberhentian laju kakinya.
“Apa rencana itu nggak berhasil?” gumam Suga sembari memicingkan mata memastikan kembali jika wanita itu adalah Ratih Kembang.Namun sama seperti penglihatan Suga, ia memang Ratih!Suga segera menepis keterpanaan itu dan kembali melaju kakinya. Seiring langkah yang ia ambil, pikirannya dibuat kacau atas keberadaan Ratih di perusahaannya. Tampaknya dugaan yang ia berikan memang benar, bahwasanya kedua bawahannya tidak berhasil membawa Ratih.Suga mengira jika ada orang yang menyelamatkan wanita itu ketika misi sedang dijalankan. Hanya saja terlalu mustahil jika tengah malam masih ada orang yang terjaga, kecuali sistem keamanan yang diterapkan merupakan ronda malam. Namun, bukankah menyusup bukan perkara sulit bagi orang yang sudah berpengalaman?“Pagi, Pak,” sapa Nurma pada Suga sembari tersenyum manis.Suga tersentak seketika. Namun ia tetap berusaha bersikap tenang agar tidak jatuh malu di hadapan bawahannya itu. Hanya tatapan sekilas yang ia berikan pada Nurma sebagai balasan. Kemudian, ia kembali mempercepat langkah untuk menuju ruang kerja.Nurma menghela napas. Bukan perkara asing jika Suga tidak ramah. Hanya saja, cukup membuatnya tersinggung. Membalas dengan kata 'ya' saja sepertinya sangat mudah, tetapi Suga tetap tidak melakukannya.Tiba-tiba tubuh Nurma disenggol oleh seseorang, yakni Ratih Kembang.“Judes, ya?” tanya Ratih pada sahabat sekaligus bawahannya itu.Nurma tersenyum kecut. “Udah jadi pamornya dia, Tih, enggak kaget lagi,” jawabnya.“Dan kamu masih tetap menyapa? Aku sih enggak sudi!”“Beliau tetap atasan kita, Tih. Sudah sepatutnya memberi sapa pagi.”“Ah, kamu terlalu baik, Nurma. Hmm ... padahal orang itu enggak sedikit pun menghargai.”“Mm ... aku bersyukur kalau aku masuk dalam kategori baik, Tih.” Nurma mengulas senyuman. “Sampai saat ini, aku masih penasaran sama wajah di Pak Suga tanpa kacamata. Kayaknya lumayan manis.”“Mm? Tunggu! Jangan-jangan kamu naksir dia, ya?”Nurma gelagapan. “En-enggaklah mana ada. Lagian kalau aku suka sama dia, enggak mungkin kemarin bilang ke kamu lama-lama jadi suka.”“Mm ... tapi, kenapa kamu penasaran?”“Entah, aku cuma merasa kalau Pak Suga itu ganteng, Tih. Cuma berrharap saja, semoga beliau mengobati mata yang barangkali ada minus maupun silinder, terus taaaar! Ganteng deh, dengan begitu orang-orang enggak akan menghina tampang dia. Sedih enggak sih, kalau atasan kita dihina sama bawahan sendiri? Padahal dia yang kasih gaji ke kita lho.”“Enggak sih, aku biasa saja tuh!”“Ih, Ratih!”“Sudahlah, ayo. Jangan memikirkan dia, terus Nurma!”Berkat tarikan tangan Ratih di lengannya, Nurma melaju kakinya mengikuti sahabatnya itu. Kedua wanita yang memiliki tipikal berbeda, tetapi bisa berteman dengan baik. Mungkin karena sosok Nurma begitu polos bisa menerima keberadaan Ratih yang palsu. Palsu dalam artian sifat saat di kantor itu, bukan Ratih ketika sedang bersama Gatra atau di rumahnya sendiri.****Suga menggebrak meja kerja setibanya di ruang pribadinya. Keberadaan Ratih pagi ini benar-benar membuatnya tak habis pikir. Mengurus seorang wanita saja kedua anak buahnya tidak becus sama sekali. Lantas, dengan cara apa lagi ia bisa menekan Ratih? Jika wanita itu terus dibebaskan tentu saja identitasnya akan terbongkar!Tidak! Suga tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia harus mencari jalan lain untuk menangani wanita itu. Pun, jika ia harus turun tangan sendiri. Namun untuk jalan keluar terakhir, jika cara lanjutan tetap gagal.Tanpa pikir panjang, Suga segera mengambil ponselnya dari dalam kantong celana. Ia mencari nomor kontak sesuai nomor keanggotaan anak buah yang menangani Ratih semalam.“Kalian tidur, ya?!” tanya Suga dengan nada tegas sesaat setelah panggilan itu dijawab dari kejauhan.“A-anu, Bos, kami semalam melakukan tugas i-itu kok,” jawab sang anak buah dari kejauhan sana.“Lalu? Kalian kepergok warga? Untuk menyusup daerah komplek saja kalian enggak becus?!”“Ti-tidak, Bos, kami tidak ketahuan warga, B-bos.”“Lalu, bagaimana bisa cewek itu masih masuk kerja, hah?! Kalian kerja enggak sih? mengurus satu wanita saja enggak bisa! Haaaa, sial. Persiapkan saja kedua tangan kalian!”“Ma-maaf, Bos, kami mo-mohon ampun. Ta-tapi, se-sepertinya wanita itu pemegang sabuk hitam kelas taekwondo. Kekuatan dan ilmunya bahkan melebihi kami, Bos. Sepertinya dia sudah sering berkelahi.”“Apa ...?”Suga mematikan panggilan itu secara sepihak, bahkan tidak menunggu jawaban dari anak buahnya. Jika informasi yang ia terima adalah suatu kebenaran, maka keberadaan Ratih memang bukan sebuah kemustahilan.Seperti dugaannya di kala bertengkar dengan Ratih, wanita itu memang berbeda. Ada sesuatu yang dimiliki Ratih dan itu jarang dimiliki oleh wanita lain. Seperti sebuah nyali yang begitu besar, Ratih sedikit pun tak gentar ketika menghadapi Suga dengan jabatan tinggi jika pria itu merupakan atasannya.“Ratih ... dia benar-benar merepotkan!” ucap Suga sembari menggertakkan gigi. Entah cara apa lagi yang perlu ia gunakan untuk membungkam wanita itu. Sebab jika hanya berpegang pada rasa percaya, tentu resiko besar kemungkinan akan terjadi. Tanpa ancaman, Ratih bisa membeberkan gosip seputar wajah di balik kacamata tebalnya.Dalam kegemingan itu, tiba-tiba Suga mendengar suara pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Tak lama kemudian, muncullah Belinda ketika pintu telah dibuka. Wanita yang merupakan sekretaris Suga berjalan begitu elegan menghampiri sang atasan.“Selamat siang, Pak Suga,” sapa Belinda seiring senyum yang ia ulas.Namun sama ketika Nurma yang menyapa, Suga hanya menatap sekilas tanpa memberikan jawaban. Hal itu membuat Belinda tersenyum kecut, meski bukan hal asing baginya.Hari ini pun, Pak Culun tetap cuek! Pikir Belinda. Sekian detik tak ada tanggapan, ia lantas menyerahkan sebuah tablet dengan merk dari Daichi Elektronic, dengan kata lain produk perusahaan itu sendiri.“Ini jadwal hari ini, Pak, mohon diperiksa,” ucap Belinda dengan sikap santun.Namun lagi-lagi Suga tidak menjawab. Pria itu justru terpaku dengan sosok Belinda. Tentu saja, Belinda merasa canggung sekaligus salah tingkah. Apakah ada yang salah pada dirinya? Pertanyaan itu terlintas di benaknya.“Pak ...?”“Belinda? Apa kamu ingin memimpin salah satu perusahaanku? Dengan kata lain menjadi seorang direktur dari cabang kantor kami?” tandas Suga atas panggilan Belinda padanya.Belinda reflek membelalakkan mata. “Kok? Kenapa tiba-tiba ...?”“Enggak, aku pikir kamu sudah harus memiliki jabatan itu. Ini akan sulit didapatkan lagi jika saat ini kamu enggak menerima tawaranku.”“Tapi, mm ... cabang di mana?”“Jepang.”“Woaah! Oops ... ma-maaf, Pak.””Bagaimana?”Belinda merasa takjub. Benar seperti yang Suga katakan bahwasanya kesempatan itu tidak akan muncul dua kali. Meski masih merasa bingung karena penawaran itu dikatakan secara tiba-tiba, Belinda tetap menganggukkan kepala.“Baik, Pak, saya akan terima! Saya berjanji akan bekerja dengan baik!” ucap Belinda antusias sembari merundukkan badannya berkali-kali.Suga masih tetap berekspresi datar. “Baiklah, aku beri waktu satu minggu untuk berberes. Dan selama itu, kamu nggak perlu berangkat kerja ke tempat ini.”“Mm? Lalu, yang mendampingi Bapak sebagai sekretaris?”Suga menurunkan pandangan. Ia menelan saliva sebelum memberikan jawaban. “Ratih.”“Ra-ratih?”“Ya, panggil dia untukku. Ajari dia untuk hari ini saja. Ancam dia dengan dua milyar jika memberikan penolakan.”Belinda tertegun sebentar, hingga pada akhirnya ia menyadarkan dirinya. “Ba-baik, Pak!”Setelah itu, Belinda berbalik badan. Wanita itu hendak memenuhi tugas terakhirnya sebagai sekretaris Sugantara, yakni membantu melatih Ratih hari ini. Tak peduli dengan rasa heran yang masih bersarang, yang pasti Belinda tahu jika Suga sedang menghukum Ratih. Di sisi lain, Belinda berterima kasih karena berkat Ratih, ia memiliki kesempatan naik jabatan sekaligus bekerja ke luar negeri.Sementara itu, Suga masih merenungkan keputusan spontannya. Untuk saat ini berhadapan dengan Ratih tentu membuatnya akan tidak nyaman, terlebih ketika sudah berjanji untuk tidak bertemu wanita itu lagi. Namun mengawasi Ratih dari dekat tanpa mengotori tangannya, merupakan cara terakhir.Ya! Keputusan telah Suga ambil untuk mengangkat Ratih sebagai sekretaris pribadinya.****Ratih tidak menyangka jika hidupnya akan semakin sulit setelah terlibat pertengkaran dengan Suga. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan menjadi sekretaris dari pria itu. Bagi Ratih, seorang sekretaris tidak lebih dari seorang pembantu, hanya saja memiliki sebutan dan jaminan yang jauh lebih tinggi. Dengan pemikiran tersebut, tentu saja Ratih menganggap jika saat ini jabatannya telah diturunkan.Kini, Ratih hanya bisa mematung di hadapan Suga. Kendati begitu, matanya terus menatap tajam ke arah pria itu. Ingin sekali, Ratih menghantamkan wajah Suga pada tembok pembatas antar ruangan, atau setidaknya menguliti atasannya tersebut. Bagaimana tidak merasa kesal jika saat ini ia justru dipermainkan tanpa adanya kesempatan untuk melawan.Suga menghela napas sembari bergerak dengan malas. Tak berselang lama, ia melepas kacamatanya.Tentu saja mata elangnya terlihat dengan jelas.“Kenapa?” tanya Suga dengan nada datar.Ratih mengepalkan kedua telapak tangannya demi upaya untuk menahan r
Ratih hanya bisa menghela napas. Bagaimana tidak, baru pukul enam pagi ia justru harus hadir di sebuah apartemen elit. Selain masih sangat enggan untuk bertemu Suga, ia paling malas untuk bangun lebih pagi. Rasanya sungguh memuakkan, tetapi Ratih tidak bisa berbuat apa-apa. Suga selalu mengancamnya dengan dua milyar sebagai ganti rugi jika Ratih menolak perintah dari pria itu.Lalu-lalang beberapa orang yang tidak dikenal oleh Ratih menghiasi suasana pagi ini. Mereka merupakan pemilik sekaligus penghuni unit-unit dari gedung apartemen itu. Tentu saja, mereka orang-orang kaya yang memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, Ratih menjadi ciut hati. Ia merasa seperti pasir di antara berlian yang bersinar.Kebiasaannya yang sering mengumpat masih saja dilakukan, meski Ratih hanya sebatas menggumamkan. “Aku sangat membenci dirinya. Demi Tuhan! Oh, Si Culun Sugantara!” ucapnya.“Hei!” Tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari belakang posisi Ratih.Seruan itu sukses membuat Ratih terkejut
Dengan setia Ratih mendampingi Suga di mana pun pria itu berpijak, dan tentu saja untuk urusan pekerjaan. Kendati masih terbilang baru, nyatanya, Ratih sudah mampu mengatasi semua pekerjaan sekaligus kendala beberapa kendala. Dan saat ini ia mencoba untuk tidak memikirkan perihal niat menolak mengenai jabatan barunya itu. Ratih berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada sang tuan, alih-alih terus merengek. Ratih segera berdiri dari duduknya ketika mendapati Suga baru saja keluar dari ruangan kerja pribadi. Dengan lebih profesional Ratih memutuskan untuk merundukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya. Melihat sikap Ratih yang begitu tunduk, Suga lantas tersenyum bangga seolah sudah mendapatkan kemenangan secara penuh.Bagaimana tidak, musuhnya itu kini dapat ia kendalikan sesuka hati.Suga merasa dirinya sudah mampu mengendalikan wanita yang pemberani itu. “Jadwal selanjutnya? Kamu nggak laporan padaku?” tanya Suga.Ratih menghela napas, kemudian menjawab, “Sore nanti sudah
Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di da
Hanya makan-makan apanya? Itulah yang dipikirkan oleh Suga saat ini. Setelah selesai menyambangi sebuah restoran, ia justru diseret untuk singgah di sebuah pusat perbelanjaan. Tadinya ia ingin menolak, tetapi Nurma dan Egy memintanya untuk ikut saja, tanggung alasannya. Seperti yang Suga sangka bahwa Ratih dan Gatra akan sangat tidak menyukai kehadirannya, seperti acara sebelumnya. Namun apa boleh buat, mereka harus terima tepat ketika Suga mengiyakan ajakan itu. Benar, Suga memang sengaja. Selain hendak mengintimidasi Ratih saat ini, rasanya akan lebih menantang jika ia melakukan sesuatu yang wanita itu benci.“Ngapain sih ke sini segala!” pekik Ratih tiba-tiba setelah asyik menggumamkan umpatan teruntuk Suga yang ada di sampingnya sej
Di dalam apartemen, Suga masih memikirkan sikap baik Ratih pada dirinya dengan perasaan heran. Pasalnya, ketika Ratih benar-benar membencinya, beberapa saat yang lalu Ratih justru memberikan pertolongan untuknya. Bahkan Ratih segera membawa Suga untuk pulang. Dan kini, Ratih tampak sibuk di dapur menyajikan sesuatu, Suga pun tidak tahu.Sekian detik kemudian, akhirnya Ratih menampakkan diri lagi setelah keluar dari dapur mewah milik sang atasan. Ia membawa sebuah nampan berisi teko antik dan satu cangkir kosong. Suga lantas menatap ke arah lain karena ia tidak mau jika Ratih salah paham apalagi sampai menganggapnya sedang memperhatikan.“Saya rasa secangkir teh bisa membuat Anda merasa tenang,” ucap Ratih sembari meletakkan nampan itu di atas meja. Kemudian, ia menyajikan teh dari teko ke dalam cangkir untuk ia berikan Suga.“Apa maumu?” Suga justru melontarkan pertanyaan itu. “Kenapa kamu membantu orang yang kamu benci? Apa ini upayamu agar aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu ke
Masih menggunakan mobil yang sama, Ratih dan Suga tengah bersama. Kecanggungan menyisip di antara mereka, menimbulkan kebisuan tanpa suara selain hela atau embusan napas saja. Sementara, laju kendaraan menggunakan kecepatan standar, tidak cepat ataupun lambat. Sesekali, entah Ratih atau Suga saling melirik. Jika tak sengaja berbarengan, keduanya kompak membuang muka dan kembali didera salah tingkah. Dari Ratih yang cukup tidak nyaman, sekalipun Suga memberikan sikap baik. Tetap saja, hanya sebuah balasan atas pertolongan yang Ratih berikan, jadi tidak mungkin Suga begitu cepat dalam berubah.Sebab, orang sekaku Suga tidak mungkin berubah dalam waktu yang cepat, bahkan beberapa saat yang lalu justru masih mengawasinya dengan tatapan elang.Rintik hujan yang turun di bulan Desember turut menemani kebersamaan tanpa suara itu. Pendingin mobil yang tidak dimatikan atau sekedar dikecilkan oleh Suga, menyebabkan rasa dingin mendera tubuh Ratih. Ingin meminta tolong, Ratih sangat enggan, lebih
Malam ini suasana sangat dingin. Kerap terdengar embusan angin terdengar cukup kencang. Dan Gatra sedang terdiam sembari meringkuk di atas ranjang di dalam kamarnya. Benaknya kembali teringat akan kejadian tadi sore, saat dirinya berkumpul dengan Nurma, Egy, Ratih, sekaligus pria culun yang merupakan CEO dari perusahaan di mana Ratih bekerja. Sejujurnya, Gatra merasa sangat terganggu, terlepas dari fakta bahwa pria culun itu merupakan atasan dari wanita pujaannya. Namun hatinya tetap merasa bahwa sosok Sugantara bukanlah pria biasa, terlepas dari jabatannya sebagai seorang CEO. Pria berkaca mata tebal itu jika diamati lebih saksama ternyata memiliki tatapan mata yang tajam. Wajah Sugantara pun begitu halus tanpa jerawat satu pun, lalu sikap dingin semakin membuat Gatra merasa curiga pada Sugantara. Belum lagi mengenai kejadian di mal tadi, yang mana Suga justru limbung hanya karena insiden kecil. Dan Ratih menjadi penyelamat bagi pria itu. Gatra benar-benar bingung, sepertinya ada ra